Potret kemiskinan negeri ini selalu menjadi hiasan yang memperburuk citra bagi pengambil kebijakan baik di eksekutif maupun di legislatif. Kinerja pemerintahan dalam pengentasan kemiskinan setiap saat dipertanyakan. Dalam konteks anggaran, program pengentasan kemiskinan tidak pernah alpa dalam APBD di beberapa sektor program pada beberapa SKPD. Namun dalam implementasinya, baik dalam pengalokasian anggaran maupun dalam penggunaannya selalu tidak berkorelasi terhadap pengurangan angka kemiskinan di daerah. Bahkan program pemerintah pusat dalam bentuk BLT (Bantuan Langsung Tunai) dianggap sebagai program yang membuat masyarakat semakin tak berdaya. Terkesan memanjakan masyarakat yang memang sudah apatis atas kehidupan mereka. Jika bantuan tersebut dianggap sebagai insentif kepada warga untuk semakin kreatif dan menambah produktifitas mereka, maka uang tersebut bukan hanya habis untuk dimakan, tetapi juga tidak cukup untuk menjadi modal usaha yang berkelanjutan.
Kemiskinan di Indonesia juga bukan hanya menjadi persoalan bangsa yang harus ditangani pemerintah, tapi persoalan ini juga menjadi tanggung jawab negara-negara maju atas komitmen mereka terhadap dunia ketiga dalam pengentasan kemiskinan. Hanya saja, kepedulian mereka terhadap masalah ini jangan sampai sekedar menunggangi isu kemiskinan sebagai alat kapitalisme global di Indonesia. Atas dasar itu pula, pada tanggal 7 – 9 Agustus 2010 di Ciloto dalam kegiatan Lokakarya Nasional Organisasi Masyarakat Sipil terkait dengan Pelayanan Publik mengeluarkan resolusi yang salah satu isinya adalah “Mendesak Seluruh Lembaga-Lembaga Internasional Untuk Tidak Menunggangi Isu Pelayanan Publik Sebagai Alat Kapitalisme Global Di Indonesia” .
Meskipun demikian isu kemiskinan ini tetap menjadi “hiasan” negara-negara donor untuk mengucurkan dananya ke republik ini. Beberapa lembaga donor yang masuk ke Indonesia untuk dan antara lain membawa misi pengentasan kemiskinan bagi negara-negara dunia ke tiga sebagai komitmen negara maju untuk membantu negara dunia ketiga menyukseskan MDGs. Salah satu point penting dari MDGs ini adalah pengentasan kemiskinan yang direncanakan di indonesai dapat tercapai pada tahun 2015.
Jika kita mencermati, bahwa kesadaran pemerintah atas kondisi kemiskinan di Idonesia sudah muncul berbarengan dengan berbagai kasus-kasus kemiskinan yang ada menjadi gayung bersambut dengan komitmen negara-negara maju untuk membantu, seharusnya kemiskinan dapat dientaskan dengan cepat dari target MDGs. Namun hal ini tidak bisa sekedar gagasan, akan tetapi perlu sebuah program yang terintegrasi dan lintas sektor. Tanggung jawab pengentasan kemiskinan bukan hanya urusan Departemen atau Dinas Soaial, akan tetapi juga dengan sektor-sektor lain, misalnya pada sektor pendidikan, agama, tenaga kerja, dan sebagainya.
Munculnya Sebuah Ide Baru
Bagaimana dengan lembaga DPRD dalam pengentasan kemiskinan? DPRD dengan fungsi yang dimiliki seharusnya mampu memproteksi masyarakat melalui regulasi, dengan fungsi anggaran, DPRD dapat mengalokasikan anggaran yang berpihak kepada masaraat miskin melalui program-progran strategi di setiap SKPD. Demikian juga dengan fungsi pengawasan, DPRD memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan atas kebijakan pemerintah. Karena itu fungsi-fungsi DPRD ini harusnya diarahkan kepada pemenuhan hak-hak bagi masyarakat miskin dan bagaimana pemerintah memberikan kemudahan bagi mereka untuk hidup lebih layak.
Karena kompleksitasnya penanganan masalah kemiskinan, maka tidak hanya persoalan teknis belaka yang harus diurus oleh masing-masing SKPD bedasarkan sektor dan bidang masing-masing, akan tetapi ini sangat terkait dengan kebijakan dan komitmen para penentu kebijakan di daerah, khususnya pihak pemerintah daerah dalam hal ini walikota dan bupati bersama dengan anggota DPRD.
Penanganan masalah kemiskinan tidak bisa dilakukan secara parsial-parsial. Misalnya dalam anggaran SKPD tertentu yang hanya sekedar mencantumkan program yang mengarah pada pengentasan kemiskinan yang dalam implementasinya juga hanya dilakukan dan dikerjakan oleh SKPD yang bersangkutan. Perlu ada sinergitas sebuah program unggulan yang tujuannya mengarah pada pengentasan kemiskinan, dengan mengarahkan semua SKPD untuk mengintegrasikan programnya pada program tersebut dan harus mendapat dukungan semua pihak termasuk Bupati/Walikota dan DPRD.
Bagaimana gagasan dan ide baru ini kaitannya dengan fungsi-fungsi DPRD? DPRD dengan 3 fungsi utamanya dapat mendorong atau memperkuat gagasan ini dengan melahirkan sebuah regulasi, pengalokasian anggaran yang cukup dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah dan segala implementasi kebijakan yang mengarahkan pemerintah daerah dalam pengentasan kemiskinan dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Jika anggota DPRD memiliki kerangka pikir tentang pengentasan kemiskinan dan memaksimalkan peran dan fungsinya di DPRD dengan sumber daya yang dimiliki, maka kemiskinan tidak lagi sebagai hiasan yang dipertontonkan dan penanganannya sekedar wacana, akan tetapi hal ini dengan nyata dapat terwujud.
Dengan dasar apa kita berkeyakinan bahwa dengan dorongan DPRD dan maksimalisasi peran dan fungsinya, kemiskinan dapat terkikis? DPRD sebagai representasi wakil rakyat memiliki konstituen yang jelas, latar belakang kehidupan ekonomi keluarga masing-masing konstituennya, memiliki struktur Partai Politik hingga tingkat kecamatan dan bahkan desa. Ini semua adalah potensi yang dimiliki untuk mengukur sejauh mana masyarakat sebuah wilayah dapat diketahui tingkat kesejahteraannya oleh anggota DPRD. Belum lagi pedataan-pendataan yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan program yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan serta komitmen masing-masing SKPD dalam mengintegrasikan program mereka dalam upaya pengentasan kemiskinan. Jika semua komponen dan stakeholder dapat mensinergikan diri untuk masalah ini, maka tidak menjadi sulit kemiskinan tersebut dapat dientaskan.
Berdasarkan UU nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 341 dan 342 menjelaskan bahwa DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota Partai Politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.
DPRD memiliki fungsi budgeting, legislasi dan pengawasan. Dalam menjalankan fungsi tersebut, dipertegas dalam undang-undang bahwa fungsi tersebut dijalankan dalam kerangka representasi rakyat yang diwakilinya di kabupaten/kota (pasal 343 ayat 2). Dapat dikatakan, bila anggota DPRD memandang bahwa masyarakat di daerahnya banyak yang hidup serba kekurangan, gizi buruk merajalela, penyakit mewabah, kelaparan masih ada di antara penduduk di daerahnya, maka anggota DPRD dengan fungsi-fungsi DPRD yang dimiliki mampu mengambil langkah-langkah strategis untuk penangannya. Bisa melalui PERDA dalam penanganannya, kebijakan pemerintah lainnya yang harus didorong oleh anggota DPRD dan sebagainya.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh anggota DPRD terkait dengan keberadaannya sebagai wakil rakyat untuk membantu masyarakat miskin keluar dari kehidupan yang selama ini melilitnya. Hanya saja tidak semua anggota DPRD paham akan hal ini. Bila melihat tugas dan wewenang anggota DPRD berdasarkan undang-undang, sebenarnya anggota DPRD bisa dengan cerdas memanfaatkannya dalam upaya percepatan pengentasan kemiskinan di daerahnya. Dalam konteks pengentasan kemiskinan di daerah dapat dilakukan dengan memaksimalkan tugas-tugasnya serta wewenang yang dimiliki.
Berdasarkan UU No 27 tahun 2009 pasal 344, DPRD kabupaten/kota memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota
membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota;
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupatilwalikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan;
memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan Jabatan wakil bupati/wakil walikota;
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sarana internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
meminta laporan keterangan pertanggungJawaban bupati/walikota dalarn penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah•.
mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada fungsi legislasi, DPRD cukup kuat untuk mendorong berbagai regulasi untuk memberikan perlindungan pada masyarakat miskin. Sebagai anggota DPRD yang merepresentasikan rakyat yang diwakilinya, sudah selayaknya peraturan dan kebijakan harusnya banyak yang lahir dari ide dan gagasan anggota DPRD. Apalagi dengan undang-undang nomor 27 tahun 2009 sekarang yang mengatur tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, badan legislasi sudah menjadi alat kelengkapan DPRD. Peluang ini harus dimanfaatkan oleh anggota DPRD untuk melahirkan Peraturan Daerah (PERDA) yang lebih responsif dan bertanggung jawab secara sosial. Kajian atas persoalan sosial di masyarakat harus digiatkan. Identifikasi persoalan-persoalan yang bisa menimbulkan kerawanan sosial dapat dilakukan oleh alat kelengkapan DPRD ini. Kajian tersebut akan melahirkan penting tidaknya sebuah perilaku bermasalah di masyarakat untuk dibuatkan sebuah PERDA.
Untuk melahirkan sebuah perda yang bertanggung jawab secara sosial (Socially Responsible), Anggota DPRD harus memahami peranan PERDA dalam konteks otonomi daerah yang memiliki 5 fungsi .
Pertama; Perda sebagai instrumen kebijkan (beleids instruments) dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab. Pada fungsi ini, PERDA sebagai sarana hukum merupkan alat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi (UUD 1945) dan UU Pemerintahan Daerah. Sebagai alat kebijakan daerah tentu tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah melalui pembangunan daerah yang berkesinambungan (sustainable development).
Kedua; Perda merupakan pelaksana peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Perda tunduk pada asas hierarki peraturan perundang undangan dimana Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang undangan di tingkat pusat.
Ketiga; Penangkap dan penyalur aspirasi masyarakat daerah. Dalam fungsi ini, Perda merupakan sarana penyaluran kondisi daerah dalam konteks dimensi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Peran serta masyarakat secara aktif sangat dibutuhkan agar semua pihak terkait dan berkepentingan dapat tertampung semua aspirasinya dengan baik.
Keempat; Sebagai alat transformasi perubahan bag daerah. Dalam fungsi ini Perda ikut menentukan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan daerah. Sebagai alat transformasi dan perubahan daerah, Perda memegang peranan penting dalam mencapai sistem pemerintahan dan kinerja pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Perda bukan sekedar alat bagi jalannya pemerintahan dan roda pembangunan daerah, akan tetapi sebagai pengarah atas cita-cita daerah dalam menuju arah kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Kelima; Harmonisator berbagai kepentingan. Dalam fungsi ini, rda merupakan produk perundangan undangan yang mempertemukan erbaikan kepentingan. Oleh karena itu, dalam pembentukan Perda, DPRD dan Pemerintah Daerah, harus memperhitungkan kepentingan-kepentingan, baik pada tataran daerah yang bersangkutan, lingkungan antar daerah, maupun pada tataran nasional.
Agenda masyarakat yang dapat ditangkap oleh anggota DPRD masuk sebagai agenda DPRD lebih mempercepat proses dari sebuah gejala sosial yang harus ditangani melalui sebuah regulasi. Kebutuhan penanganan yang diagendakan oleh masyarakat dan menjadi gayung bersambut oleh DPRD dapat mensinergikan kualitas produk PERDA yang digagas baik oleh pemerintah daerah maupun yang menjadi hak inisiatif anggota DPRD. Demikian halnya pada konsultasi publik untuk pembahasan drafnya maupun pada saat sosialisasi setelah penetapan. Relatif tidak menimbulkan resistensi jika Badan Legislasi DPRD sudah dapat memetakan kondisi masyarakat yang membutuhkan penanganan secara khusus melalui sebuah regulasi, ketimbang DPRD bekerja sendiri, menetapkan Perda yang harus dibentuk dalam waktu periode tertentu tanpa melakukan kajian atas kondisi sosial msyarakat.
Pada tingkatan pembahasan pun, anggota DPRD tidak terlalu sulit untuk menghadirkan kelompok kepentingan pada saat rapat dengar pendapat atau hearing publik terkait dengan perda yang dibahas.
Bagan Pembahasan PERDA di DPRD
Pada fungsi budgeting, DRD dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sejak dari perencanaan pembangunan dengan turut serta hadir dalam setiap pelaksanaan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) di daerah pemilihannya yang dilaksanakan oleh eksekutif melalui panitia-panitia yang dibentuk di desa/kelurahan, kecamatan hingga ke kabupaten/kota. Dengan demikian, anggota DPRD memiliki data based kebutuhan masyarakat di tingkat bawah yang pada saat pembahasan anggaran dapat disingkronisasikan dengan apa yang diaspirasikan oleh masyarakat. Anggota DPRD dapat mencocokkan usulan aspirasi masyarakat dengan usulan draf Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) yang disusun oleh BAPPEDA. Demikian halnya pada saat pembahasan RAPBD, anggota DPRD dapat mempertanyakan aspirasi masyarakat lewat Musrenbang tersebut kepada dinas yang terkait.
Dalam pembahasan anggaran dengan SKPD terkait, anggota DPRD dapat memilah-milah program yang diusulkan oleh SKPD. Pada tahapan ini anggota DPRD dapat mengusulkan program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan atau program untuk kepentingan masyarakat rentang atau yang berkebutuhan khusus. Untuk menangkap ruh keberpihakan anggota DPRD terkait dengan fungsi budgeting dalam pengentasan kemiskinan, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh anggota DPRD, antara lain:
- Pemangkasan anggaran untuk program yang tidak berdampak langsung bagi kepentingan masyarakat atau publik. Misalnya perjalanan dinas, makan dan minum, ATK dan anggaran pada kelompok belanja tidak langsung;
- Melakukan relokasi anggaran terkait dengan program-program yang dinilai tidak efektif dan cenderung memboroskan kas daerah dalam pengimplementasiannya;
- Mengusulkan program kepada SKPD-SKPD untuk memprogramkan kegiatan yang terkait dengan pengentasan kemiskinan atau kepentingan publik yang masing-masing kegiatan tersebut bersentuhan langsung dengan SKPD yang bersangkutan;
- Mensingkronisasikan program-program antar satu SKPD dengan SKPD yang lain untuk sebuah program pengentasan kemiskinan yang terintegrasi ke dalam program kegiatan setiap SKPD.
Ketika anggaran mencerminkan keberpihakan pada kelompok masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya atau kelompok yang berkebutuhan khusus, maka percepatan pengntasan kemiskinan dapat segera terwujud. Artinya, komitmen anggota DPRD untuk memaksimalkan fungsi budgeting dengan mendorong keberpihakan anggaran tersebut kepada kepentingan masyarakat miskin dapat mempercepat pemenuhan hak-hak bagi masyarakat miskin.
Ruang-ruang untuk mereka berpartisipasi juga harus dibuka. Program yang terkait dengan kepentingan dan pemenuhan hak mereka diberikan ruang baginya untuk bisa mengakses, mengelola, melaksanakan kegiatan dan sebagainya.
Pada fungsi pengawasan, anggota DPRD memiliki kekuatan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan SKPD dan lain-lain kebijakan pemerintah yang berpotensi terjadinya penyimpangan. Pengertian sederhananya pengawasan bermakna sebagai proses pengukuran kinerja dan pengambilan tindakan untuk menjamin hasil (output and outcames) sesuai dengan yang diinginkan serta menjamin sesuatu berjalan sebagaimna mestinya sesuai dengan standar yang telah ditentukan (on the right track).
Bila demikian, bagaimana anggota DPRD melakukan pengawasan? Dalam melakukan pengawasan, anggota DPRD lebih banyak bermain pada ranah kebijakan makro tidak masuk pada hal teknis. Batasan kewenangan pengawasan anggota DPRD ini hingga sekarang masih menjadi perdebatan, termasuk di internal DPRD. Ada yang berpendapat bahwa kewenangan pengawasan DPRD sebatas pada pengawasan kebijakan yang lebih makro srategik sebagaimana diatur dalam PP 79 tahun 2005 tentang pedoman pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Sementara pendapat yang lain berpandangan bahwa perlunya anggota DPRD melakukan pengawasan yang lebih teknis, rinci dan menyeluruh termasuk dalam konteks managemen internal SKPD.
Anggota DPRD nampaknya banyak yang terjebak pada pendapat yang terakhir, namun bukan berarti hal tersebut salah. Dalam konteks keindonesiaan saat ini bentuk pengawasan ini dirasakan masih dibutuhkan karena lembaga-lembaga yang akan mem-beck up DPRD dalam pengawasan yang lebih teknis belum dapat diandalkan .