Kamis, 26 Agustus 2010

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian ketiga

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan


Pengaruh terhadap kelompok rentan

Tidak ada satu peraturan pun yang membawa pengaruh sama terhadap pelbagai lapisan sosial dalam masyarakat. Pengaruh peraturan pada suatu kelompok, akan berbeda dengan pengaruh pada kelompok lain. 57 PERDA yang dikeluarkan dalam kurun waktu tahun 2004 hingga sekarang, tidak ada yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap kelompok rentan atas PERDA yang diterbitkan. Demikian pula akses bagi kelompok rentan untuk dapat diakomodir kepentingan mereka atas PERDA-PERDA tersebut juga tidak ada. Nampaknya PERDA dibuat dengan asumsi dan anggapan bahwa semua kelompok masyarakat adalah sama. Sehingga dalam batang tubuh setiap PERDA tidak mengatur secara khusus masalah ini. Selain pengaturan khusus yang tidak dilakukan dalam setiap PERDA yang diterbitkan, juga memang dalam kurun waktu tahun 2004 hingga sekarang, tidak ada PERDA yang mengatur masalah kelompok rentan.

Salah satu yang dapat dikategorikan mengakomodir kelompok rentan hanyalah masalah pemberdayaan perempuan. Dalam PERDA APBD, pengalokasian anggaran secara khusus untuk pemberdayaan perempuan tetap dilakukan. Namun hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk perlindungan maupun dalam hal mengakomodir aspirasi kelompok rentan. Hanya secara kebetulan dalam SKPD Sekretariat Daerah memiliki bagian pemberdayaan perempuan. Lagi pula bila APBD diperbandingkan dengan anggaran untuk sektor lainnya, sangatlah memiriskan. Tidak perlu mengkhusus kepada sektor perempuan atau kelompok rentan lainnya, perbandingan alokasi anggaran antara kepentingan aparatur dengan kepentingan publik saja sudah sangat jauh berbeda. RAPBD tahun 2008 tidak mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat. Seluruh belanja, baik belanja langsung maupun belanja tidak langsung dari total keseluruhan APBD sebesar Rp. 565.993.994.732,- masih memihak kepada pejabat dan aparatur pemerintah kabupaten. Ini tercermin dari besarnya jumlah belanja pegawai (BTL+BL), dan perjalanan dinas saja jumlahnya sudah cukup fantastic. Bila dipresentasekan belanja ini mencapai Rp. 266.791.054.090,- atau 49% dari total belanja sebesar Rp. 565.993.994.732,-.

Selain masalah perempuan, di Kabupaten Bulukumba terdapat kelompok adat terpencil di Kajang yang membutuhkan perlindungan untuk kelestarian budaya dan adat istiadat. Namun dalam dalam hal ini, tak ada satupun PERDA yang dapat melindungi keaslian budaya masyarakat adat. Bahkan cenderung menjadi komuditi atas nama wisata budaya. Padahal di satu sisi, keberadaan kelompok ini diakui dengan prinsip hidup yang dipegang secara turun temurun. Salah satu kebanggaan masyarakat adat hanyalah ketika kunjungan para pejabat dan wisatawan untuk minta didoakan dan diramalkan nasibnya ke depan dengan caranya yang juga cenderung irrasional.

Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa antara satu kelompok dengan kelompok masyarakat yang lain memiliki kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda. Sehingga obyek yang dikenakan atas terbitnya sebuah PERDA juga tidak bisa disamakan. Dampak yang dapat ditimbulkan dari PERDA-PERDA yang tidak memihak tersebut, akan berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan masyarakat atau kelompok rentan. Pemberlakuan PERDA Nomor 6 tahun 2007 tentang retribusi pasar pada kelompok masyarakat miskin yang menjual di pelataran, emperan yang ditagih setiap hari akan berpengaruh pada tingkat pendapatan mereka. Sebab dalam satu hari belum tentu mendapatkan untung atas jualannya. Karena PERDA ini tidak mempertimbangkan omset penjualan bagi kelompok ini yang cenderung masih terbatas, bahkan kurang dan tidak ada sama sekali. Demikian juga halnya dengan PERDA Nomor 7 tahun 2007 tentang retribusi terminal. Bukan hanya angkot yang dikenakan retribusi, akan tetapi juga pedagang dan penjual yang mangkal dalam terminal meskipun itu tidak menetap.

Selain PERDA tersebut di atas, peningkatan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD melalui PERDA atas nama PP No. 21 tahun 2007 sangat berpengaruh pada kepentingan masyarakat, khususnya kelompok rentan. Pengaruh dan dampak yang dapat dipastikan adalah berkurangnya anggaran yang tersedia akibat dari peningkatan tunjangan anggota dewan melalui PERDA Nomor 3 tahun 2007 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Bulukumba

Pengaruh terhadap prinsip-prinsip dasar

Dalam pelaksanaan roda pemerintahan, salah satu fungsi dari pemerintah adalah menyediakan publik goods, atau fasilitas layanan publik yang disediakan kepada publik seperti jalanan, irigasi, sekolah, puskesmas untuk mendorong peningkatan ekonomi masyarakat. Pembangunan infrastruktur di segala bidang dapat dilakukan jika semuanya dapat terserap dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun faktanya adalah pembangunan infrastruktur yang menjadi kebutuhan prioritas masyarakat masih banyak yang tidak terakomodir dalam PERDA APBD, sangat kontras dengan alokasi perjalanan dinas, pembelian kendaraan dinas dan belanja pegawai yang selalu mendapatkan porsi lebih banyak. Belum lagi, penetapan PERDA APBD Bulukumba yang kurun waktu empat tahun terakhir selalu terlambat ditetapkan, secara matematis berdampak langsung pada terhambatnya peningkatan ekonomi masyarakat oleh karena pembangunan menjadi mandek. PERDA APBD belum menjadi problem solving atau penyelesaian masalah bagi pengurangan pengangguran, penanggulangan kemiskinan, masyarakat hanya menjadi penonton dalam perebutan kue APBD tersebut. Buktinya jumlah orang miskin dari tahun ke tahun semakin meningkat, peristiwa yang memiriskan pernah terjadi di Kecamatan Herlang, seorang bapak membunuh kedua anaknya karena sudah tidak mampu lagi memberikan makanan kepada anaknya, setelah itu dia berupaya bunuh diri. Ini menjadi potret bahwa kemiskinan masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Meski dalam visi misi Pemerintah Daerah yang tertuang dalam RPJMD, bahwa akan mendorong peningkatan kualitas SDM dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun upaya untuk mewujudkan hal tersebut belum maksimal dalam arti hanya dalam tataran konsep saja. Mengalokasian budget anggaran belum mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang banyak ditemukan adalah justru program-program yang hanya memboroskan anggaran saja, tidak menjadi kebutuhan riil masyarakat.

Begitupula seharusnya urusan-urusan yang menjadi tugas dari pemerintahan tidak dibebankan lagi kepada masyarakat, contohnya pengurusan KTP dan dokumen catatan sipil lainnya masih dikenakan pungutan-pungutan yang dilandasi dengan adanya PERDA No 4 tahun 2006 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Dokemen Catatan Sipil lainnya. Yang menjadi pertanyaan kritis bahwa sebenarnya apakah dokumen-dokumen seperti itu merupakan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan pemerintah. Urusan seperti ini seharusnya sudah menjadi tanggungan negara, tapi dengan karena adanya PERDA tersebut masyarakat harus merogoh kantongnya untuk membayar administrasi-administrasi seperti itu. Malah menjadi salah satu sumber PAD favorit bagi pemerintah daerah.

bersambung .....