Sabtu, 18 Desember 2010

KEBIJAKAN UMUM PENDAPATAN DAERAH 2011 KAB BULUKUMBA

Analisa dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang direncanakan tahun 2011 yang akan datang
by: Herman Kajang

Pendapatan daerah Kabupaten Bulukumba yang direncanakan untuk tahun anggaran 2011 sebesar Rp. 600,476,574,874.41 yang terdiri dari PAD Rp. 28,023,955,660.47 Dana Perimbangan Rp. 508,206,256,729.94 dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah sebesar Rp.64,246,362,484.00.

Tabel 1
Pendapatan Daerah Kabupaten Bulukumba
tahun anggaran 2007 - 2011


Target PAD tahun 2011 yang diproyeksikan oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba menurun dari tahun sebelumnya sebanyak 30,49% atau hanya Rp. 28,023,955,660.47 dari Rp. 508,206,256,729.94 di tahun 2010. Penurunan target PAD tahun 2011 yang begitu drastic dengan angka mencapai 30,49% atau turun sebesar Rp. 24,582,083,156.53 dari tahun 2010 menimbulkan pertanyaan, sebab dari tahun ke tahun PAD Kabupaten Bulukumba terus meningkat (lihat data APBD 2004 – 2010). Sementara pada tahun 2011 target PAD menurun hingga 30,49% dari tahun sebelumnya.

Tabel 2
Target PAD Kab. Bulukumba
Tahun 2004 - 2011


Penurunan target PAD yang cukup besar ini harus dijelaskan oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba, sebab berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, dengan PAD yang terus meningkat masih ditemukan beberapa penyimpangan, antara lain adanya penghilangan potensi pajak daerah yang tidak terdata dengan baik dan atau sengaja tidak didata. Salah satu penyimpangan yang banyak terjadi dari tahun ke tahun adalah jumlah pajak dan retribusi yang dibayar oleh Wajib Pajak tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Sebagai gambaran, data obyek pajak penginapan/wisma/hotel yang telah ditetapkan oleh Dinas Pendapatan Daerah tahun 2006, wajib pajak penginapan/wisma/hotel ditetapkan sebanyak 47 wajib pajak yang terdiri dari 33 Wajib Pajak di dalam Kota Bulukumba dan 14 Wajib Pajak di Kawasan Wisata Tanjung Bira. Pada tahun 2008, Wajib Pajak atas penginapan/wisma/hotel di dalam Kota Bulukumba hanya 14 wajib pajak, sementara di daerah kawasan wisata Tanjung Bira tidak dirinci berapa jumlah obyek pajaknya, hanya dijelaskan Hotel Bintang satu dan Hotel Melati Tiga dengan proyeksi pendapatan masing-masing Rp. 4.200.000,- dan Rp. 7.500.000,-. Pertanyaannya, apakah dalam waktu 2 tahun di Bulukumba ini, penginapan/wisma/hotel gulung tikar sampai lebih dari seperduanya dari tahun 2006 .

Bagaimana pada tahun 2010 sekarang? faktanya, tidak demikian. Bahkan ada pembangunan hotel baru dan beberapa wisma yang menaikkan statusnya menjadi hotel. Jika demikian maka pendapatan dari obyek pajak hotel/penginapan/wisma demikian pula dengan restoran dan rumah makan seharusnya bertambah bukan berkurang.

Selain pajak yang tidak jelas obyek pajaknya, juga retribusi pun demikian. Beberapa potensi penerimaan daerah yang belum dimanfaatkan dari retribusi antara lain retribusi pasar. Sejak tahun 2006, BPK melangsir jumlah Retribusi Pasar di Kabupaten Bulukumba yang terindikasi mark down sebesar Rp. 1.037.550.00 perhari atau Rp. 378.705.750.00 dalam satu tahun anggaran. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari data potensi pasar yang belum dimanfaatkan dengan mengambi sampel 31 pasar di sejumlah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bulukumba .

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, nampaknya Pemerintah Daerah membuat ketetapan pajak daerah bukan berdasarkan omzet penjualan Wajib Pajak tetapi berdasarkan permintaan dan/atau pernyataan kesanggupan Wajib Pajak.

Selain ketidakseriusan pemerintah daerah untuk memaksimalkan pemungutan pajak dan retribusi daerah berdasarkan dengan potensi rill pajak dan retribusi daerah, juga diperparah dengan kemalasan dan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak. Tunggakan-tunggakan pajak di Kabupaten Bulukumba dari tahun ke tahun terus terjadi, diantaranya:
- Pajak Hotel/penginapan/wisma
- Pajak restoran dan rumah makan
- Pajak tambang golongan C
- Retribusi pemakaian jalan daerah
- Retribusi izin mendirikan bangunan

Dengan melihat gambaran kondisi tersebt di atas, maka penurunan target PAD tahun 2011 hingga 30,49% dari tahun sebelumnya terbangun asumsi bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba menargetkan PAD seminimal mungkin tanpa melihat kondisi rill potensi pendapatan daerah, yang sebenarnya dapat ditingkatkan dan atau minimal dipertahankan target PAD tahun sebelumnya. Jika dilihat dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) tahun 2011 tentang upaya yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah dalam penerimaan pendapatan, terdapat 18 item upaya dan langkah-langkah yang akan dilakukan. Dengan melihat upaya tersebut, maka tidak seharusnya PAD menurun hingga 30,49%. Bahkan dengan tidak melakukan desain strategi apapun dalam penerimaan PAD, minimal target PAD akan sama dengan tahun sebelumnya.

Senin, 13 Desember 2010

MENAKAR KINERJA KEUANGAN DAERAH

Disari dari hasil diskusi KOPEL dengan CSO di Kota Kupang NTT

Rencana KOPEL untuk memperkuat advokasi masyarakat sipil terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah di Kota Pare-Pare, Kota Kupang, dan Kabupaten Bantul, dilakukan dengan menurunkan tim untuk melakukan assesment awal terhadap daerah-daerah yang akan dijadikan pilot proyek. Setelah diskusi beberapa waktu yang lalu di Kota Pare-Pare, selama 3 hari tim KOPEL melakukan hal yang sama di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur.

Dalam pertemuan dengan beberapa stakeholder yang tidak kurang dari 20 orang dan lembaga di Kota Kupang, beberapa hal yang menarik jadi pembelajaran bagi pegiat anggaran, antara lain: CSO Kota Kupang cukup aktif melakukan advokasi anggaran, namun keaktifan ini belum mampu untuk merubah sebuah kebijakan anggaran di level pengambil kebijakan. Umumnya sama dengan daerah-daerah lain, problem utamanya adalah bargening posisi untuk mendesakkan kepentingan masyarakat yang dipandang oleh CSO untuk diakomodir oleh pemerintah belum begitu kuat. Pilihan yang tepat untuk masalah ini bagi kawan-kawan CSO adalah memperkuat basis lebih dahulu. Banyak di antara mereka bergelut dengan masyarakat bawah untuk memberikan penyadaran, bagaimana masyarakat melek anggaran.

Dari siklus anggaran, mulai dari perencanaan, pembahasan di DPRD, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, kebanyakan dari mereka masih lebih dominan advokasinya di wilayah perencanan, misalnya mengintervensi pelaksanaan Musrenbang dan melakukan evaluasi hasil Musrenbang. Lebih jauh dari itu, mereka sudah melakukan joint dengan pemerintah daerah untuk menfasilitasi pelaksanaan training fasilitator desa yang sebelumnya telah direkrut oleh pemerintah. Harapannya, ke depan kualitas perencanaan daerah lebih berkualitas dan subtantif, tidak lagi sekedar seremoni belaka.

Hal lain yang menarik muncul dari Wakil Walikota Kupang Daniel Adoe saat KOPEL bertandang ke kantornya adalah bahwa kinerja keuangan daerah salah satu indikator yang harus dijadikan acuan adalah RPJMD. Menurut beliau, tidak sama dengan daerah lain, RPJMD Kota Kupang cukup berani untuk menampilkan indikator kuantitatif agar dapat diukur hingga akhir masa jabatan, apakah visi misi Walikota terpilih tercapai atau tidak. Demikian juga dengan hasil audit BPK tahun kemarin, Kota Kupang mendapatkan predikat Wajar Dengan Pengcualian hanya karena Tunjangan intensif pimpinan dan anggota DPRD berdasarkan PP 21 tahun 2007 belum dikembalikan oleh anggota DPRD ke kas daerah.

Hal yang demikian ini akan menjadi bahan diskusi dan sharing informasi dengan daerah lain terkait dengan program KOPEL ke depan. Hal senada juga dikemukakan oleh Bapak Victor Lerik Ketua DPRD Kota Kupang saat tim KOPEL berkunjung ke DPRD yang saat itu tengah dibahas KUA/PPAS untuk APBD tahun 2011 mendatang.

Untuk meniali kinerja keuangan pemerintah daerah, tidak hanya fokus pada LKPJ dan hasil audit BPK. Dokumen-dokumen perencanan juga penting untuk dianalisis karena harus ada ketersambungan informasi dari dokumen-dokumen tersebut. Menurut Paul Sinlaeloe dari PIAR NTT berdasarkan hasil analisisnya mengemukakan bahwa hasil audit BPK RI TA 2008 - 2010 untuk seluruh NTT selama tahun anggaran 2008 - 2010, termasuk kabupaten/kota untuk seksi IA sebanyak 610 temuan dengan saran 1.068 senilai Rp 3.679.849.841.056,17. Sebanyak 537 saran senilai Rp 538.365.582.815,80 telah ditindaklanjuti. Sementara 164 saran senilai Rp 2.537.594.187.926,39,- masih dalam proses dan 377 saran dengan nilai Rp 558.890.070.313,98 belum ditindaklanjuti. Sebanyak 278 temuan dengan 429 saran senilai Rp 3.101.703.018.245,45 di Provinsi NTT, tercatat 184 kasus senilai Rp 400.925.452.350,34 yang telah ditindaklanjuti. Sedangkan 200 kasus lainnya senilai Rp 305.914.206.477.53 masih dalam penyelesaian. Total kerugian Daerah hasi audit BPK sebesar Rp 8.247.980.000.

Temuan-temuan tersebut di atas yang direkomendasikan oleh BPK berdasarkan UU harus ditindaklanjuti selama 60 hari oleh pemerintah daerah. Olehkarena itu, persoalan ini tidak sekedar diketahui oleh pemerintah dan DPRD, tetapi juga oleh masyarakat sipil agar ada pressure untuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publik.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Perlindungan Sumber Daya Alam di Sulawesi Selatan


Dari Diskusi Taskforce "Perlu Pengaturan Melalui PERDA"


Latarbelakang

Salah satu isu yang belakangan ini mengemuka di Sulawesi Selatan adalah isu lingkungan hidup dan perlindungan terhadap sumber daya alam. Isu ini muncul dan mendapatkan banyak respon dari masyarakat di Sulawesi Selatan seiring dengan munculnya masalah-masalah lingkungan di sejumlah kabupaten/kota yang berujung pada terjadinya bencana banjir, longsor, erosi dan berbagai petaka SDA (sumber Daya Alam) dengan berbagai akibat sejumlah korban jiwa dan materil.

Daerah Sulawesi Selatan cukup dikenal dengan banyaknya hutan yang dimilikinya dan sebagian dari sumber pendapatan masyarakat banyak bergantung pada produksi hasil hutan. Dengan luas wilayah sekitar 45 764,53 km, sebagian besar wilayah itu adalah hutan dengan luas 2,1 juta hektare (Ha). Dengan luas wilayah hutan tersebut, maka masyarakat Sulawesi Selatan akan banyak menemukan masalah di lingkungan mereka ketika hutan yang ada mengalami kerusakan.

Terkait dengan hampir setiap tahunnya ada-ada saja daerah yang mengalami musibah yang cukup banyak menelan korban jiwa dan korban materi akibat terjadinya banjir dan longsor. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini bencana banjir dan longsor ini sangat sering terjadi khususnya di daerah-daerah yang dulunya dikenal dengan hutan-hutannya yang luas dan hijau.

Kondisi ini membawa banyak kerugian secara fisik dan non fisik terhadap kelangsungan hidup masyarakat di Sulsel. Ironisnya, dampak dari kerusakan lingkungan ini belum mendapatkan penyikapan yang serius dari pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota dalam bentuk kebijakan yang permanen.

Dengan melihat kondisi ini, Gugus Tugas Sulawesi Selatan memandang bahwa dampak dari kerusakan lingkungan ini perlu mendapatkan penanganan yang serius dalam bentuk regulasi tersendiri khususnya yang mengatur tentang sumber-sumber daya alam yang ada di Sulawesi Selatan yang memberikan pengaturan terhadap upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan mengatur tentang proses pembenahan secara berkelanjutan terhadap alam dan lingkungan yang telah mengalami kerusakan.

Tinjauan Filosofis

Upaya-upaya terhadap perlindungan sumber daya alam merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh Negara karena pada dasarnya sumber daya alam merupakan asset yang tak ternilai harganya bagi Negara dan masyarakat. Selain memiliki nilai ekonomis, alam juga memilki nilai estetis dan nilai etis. Alam dari segi ekonomis dapat diolah oleh sebuah Negara untuk dapat berproduksi dan memberikan pendapatan bagi Negara. Begitu pula alam dari segi estetika merupakan sumber keindahan yang dapat memberikan ruang segar bagi masyarakat untuk beraktifitas secara nyaman dan aman. Sementara itu, dari segi etikanya alam dapat menjadi symbol dari baik buruknya moralitas sebuah bangsa. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang memberikan perlakuan terhadap alam dan lingkungan secara baik.

Manusia dan alam hidup bersama dan saling berinteraksi secara mutualisme. Alam telah memberikan kehidupan bagi manusia dan begitu pula sebaliknya alam tumbuh berkembang karena adanya kontribusi manusia. Hubungan saling menguntungkan ini semestinya berlangsung terus menerus secara berimbang tanpa ada satupun yang dirugikan atau dirusak. Kerusakan yang terjadi pada keduanya akan menjadi penyebab dari munculnya ketidak seimbangan yang akan menyebabkan kerugian pada kedua belah pihak. Manusia sebagai mahluk yang sadar semestinya menjadi pelaku yang aktif dalam menjaga proses keseimbangan tersebut dengan senantiasa memberikan perlindungan terhadap alam dan sumber-sumber daya yang terkandung di dalamnya.

Tinjauan Yuridis

Secara konstitusional, Negara kita telah mengatur hubungan antara lingkungan hidup dengan masyarakat dalam UUD 1945. Dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia. Dengan demikian bahwa negara memberikan jaminan terhadap keberadaan lingkungan dan sumber-sumber daya alam yang ada di dalamnya dan jaminan bagi setiap warga masyarakat untuk hidup dengan menikmati lingkungan yang sehat tanpa ada kerusakan dan pencemaran.

Dalam pasal lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga disebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam pasal ini bahkan mengharuskan setiap proses pembangunan ekonomi merujuk pada prinsip pembangunan yang tidak merusak atau mencemari lingkungan. Negara melakukan pelarangan pada setiap aktifitas yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Bahkan konsekuensi dari perbuatan yang melanggar dari Undang-undang akan mendapatkan sanksi demi menjaga kelestarian lingkungan.

Agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,telah diatur dalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tinjauan Sosiologis

Secara sosiologis masyarakat di Sulawesi Selatan memiliki interaksi sangat kuat dengan alam sekitar mereka. Khususnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Daerah Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah agraris dengan luas persawahan dan perkebunan tanaman jangka pendek yang sangat luas membentang di hampir semua daerah. Begitu pula masyarakatnya amat terkenal sebagai Petani dan pekebun yang ulet.

Selain pada bidang pertanian, bidang kelautan juga menjadi tempat mencari nafkah bagi masyarakat di Sulawesi Selatan. Daerah pesisir yang memanjang di daerah Selatan dan Timur merupakan lahan garapan yang merupakan tempat penghidupan bagi para nelayan di Sulawesi Selatan. Mereka hidup sebagai nelayan yang hari-harinya dijalani dengan mencari ikan di laut. Selain itu mereka juga banyak memanfaat laut sebagai tempat pembudidayaan rumput laut.

Dengan kondisi ini, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap lingkungan alam sekitarnya. Sejak dahulu pola interaksi secara timbal balik ini tentunya sudah berlangsung sangat lama yaitu sejak nenek moyang kita mengenal adanya system pertanian bercocok tanam.

Kasus-kasus ini tentunya bisa saja dicegah seandainya upaya-upaya untuk melakukan perlndungan terhadap pengelolaan sumber daya alam di Sulawesi Selatan di lakukan secara serius termasuk penegakan aturan hokum yang kuat bagi siapa saja dan tidak memandang bulu, penanganan hutan yang disertai dengan kebijakan daerah yang maksimal dengan focus pada adanya perlindungan terhadap sumber-sumber daya alam. Begitu pula upaya recovery yand diinisiasi pemerintah daerah dengan melibatkan pihak swasta dan masyarakat terhadap wilayah-wilayah pertambangan.

Fakta-fakta Empiris


Sejumlah kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan bisa menjadi indicator terhadap pentingnya memberikan perhatian serius terhadap masalah-masalah sumber-sumber daya alam di wilayah Sulawesi Selatan. Misalnya saja kasus penggundulan hutan di sejumlah daerah, pencemaran lingkungan, pengrusakan lingkungan, penyerobatan lahan pertanian dan lain-lain.

Kerusakan Hutan

Terkait dengan hutan, dari data yang diperoleh dari data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, hingga 2010 diperkirakan hutan yang rusak telah mencapai 30,6 persen hingga 40% . Luas lahan kehutanan tersebut terdiri atas 1,2 juta hektare hutan lindung, 488 hektare hutan produksi terbatas, 131 ribu hektare hutan produksi, 23 ribu hektare hutan konvensi, dan 242 ribu hektare hutan swaka alam atau wisata.

Data yang mendukung juga dikemukakan oleh Jurnal Celebes. Jurnal Celebes di salah satu media massa mengutarakan bahwa luas hutan yang ada terus menerus mengalami pengurangan. Pada 2007 hutan Sulsel berkurang sekitar 10,6 persen dan 2008 berkurang sekitar 30,6 persen dari total luas hutan yang ada di Sulsel yang pernah seluas 2,7 hektare. Pengurangan luas hutan tersebut bukan hanya karena penebangan atau aktivitas perambahan hutan tapi juga karena aktivitas pertambangan.

Pencemaran Lingkungan


Selain itu, sejumlah kasus pencemaran lingkungan juga sangat banyak. Kasus yang masih hangat (2010) adalah Kasus PT Barawaja Makassar yang melakukan pencemaran lingkungan akibat dari Amdal yang tidak diperhatikan oleh perusahaan dan pengawas yang terkait dengan itu. PT Barawaja adalah pabrik pembuat baja yang berada di Kota Makassar. Pabrik ini sudah lama diproters oleh warga karena warga menggap perusahaan telah merusak lingkungan sekitar.

Kerugian masyarakat akibat Penambangan

Untuk kasus-kasus yang diakibatkan oleh aktifitas penambangan juga banyak terjadi di Sulsel. Dalam beberapa penelitian ditemukan banyaknya dampak negative yang ditimbulkannya. Salah satu yang menarik adalah aktifitas penambangan Batu Alam di Kab. Pangkep.

Dari Penelitian yang dilakukan oleh SP Anging Mammiri ditemukan bahwa telah terjadi sejumlah aktifitas yang merugikan masyarakan dan alam di sekitar penambangan. Dampak-dampak buruk yang ditimbulkannya seperti :
- Peledakan yang membahayakan masyarakat sekitar
- Suara bising yang mengganggu
- Debu yang mengganggu kesehatan dan bahkan dapat menyebabkan penyakit asma
- Serpihan dan Bongkahan batu yang menimpa kebun/sawah dan rumah penduduk
- Pemulihan alam yang tidak maksimal menimbulkan kerusakan pada lingkungan
- Peningkatan tindak criminal
- Limbah tailing membahayakan kesehatan masyarakat.

Hal yang sama juga terjadi di sekitar daerah pertambangan PT Inco sebagaimana yang diberitakan oleh sejumlah media massa di Sulsel. Yang banyak disorot adalah sebagian kawassan tambang yang berada di hutan lindung. PT Inco menyerobot hutan damar dan rotan milik masyarakat adat. Selain itu juga, Sawah warga Dongi diubah jadi lapangan golf. Warga terpaksa membangun rumah di atas limbah batuan. Sebagian warga Soroako dipaksa meninggalkan danau Towuti yang berlumpur dengan kadar E-coli menjadi 2400 ppjm. Normalnya, sebenarnya hanya 200 ppm.

Diduga, masuknya perusahaan pertambangan oleh PT.Etam Energi Sejahtera di dusun Mari-mario pada Desember 2008 untuk melakukan eksplorasi, telah menimbulkan dampak pada kehidupan sosial dan lingkungan. PT ETAM Energi sejahtera sedang melakukan eksplorasi di dusun Mari-mario dengan luas konsensi 10 hektar. Adapun dampak sosial yang ditimbulkan oleh aktifitas pertambangan di Dusun Mari-mario, berupa :

- Saluran (pipa) air bersih yang selama ini menjadi sumber air minum warga setempat menjadi rusak, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh air bersih. Hingga saat ini masyarakat hanya memanfaatkan air hujan yang tertampung dalam sebuah bak untuk dijadikan alternatif konsumsi air minum, sehingga dapat dibayangkan apabila musim penghujan telah berhenti.
- Persawahan masyarakat terendam pasir diakibatkan oleh longsornya sisa kerukan disekitar areal tambang yang memenuhi areal persawahan, sehingga menyebabkan lahan persawahan tersebut secara otomatis tidak bisa lagi dikerjakan oleh pemiliknya, disamping itu juga disebabkan oleh putusnya saluran irigasi.
- Kebun masyarakat dijadikan jalan bagi kendaraan (truck) perusahaan.
- Lubang kubangan bekas pertambangan yang tergenang air menjadi ancaman buat masyarakat dan ternak masyarakat. Salah satu contoh faktual pada tahun 2006, seorang anak kecil yang bernama Amir anak dari bapak Arifin telah menjadi korban (meninggal dunia) akibat tenggelam dalam lubang bekas galian yang tidak di reklamasi oleh perusahaan.
- Areal Persawahan yang sudah ditanami padi terendam dengan air akibat areal dekat persawahan dijadikan Jalan tambang yang menutup saluran air.

Dampak kerusakan lingkungan yang timbulkan oleh aktifitas pertambangan di Dusun Mari-mario berupa:

- Sungai yang mengalami abrasi dan telah tercemari diakibatkan limbah perusahaan tambang yang selama ini beroperasi diwilayah dusun mari-mario.
- Jalan pemukiman masyarakat rusak (berlumpur) akibat mobil operasional (truck) perusahaan yang mengangkut pasir dan batubara yang lalu lalang.
- Kandungan asam tambang yang dapat mengancam kesehatan warga masyarakat sekitar areal tambang.

Dampak dari kerusakan lingkungan ini baik hutan, tanah dan air ini, dalam kenyataannya telah menimbulkan bencana besar di sejumlah daerah di Sulsel. katakanlah yang paling besar adalah bencana longsor di Kabupaten Gowa dan Sinjai yang terjadi sejak tahun 2004. Longsor juga terjadi hampir setiap tahunnya di Kabupaten Bone, Barru, Enrekang, Palopo, Toraja. Begitu pula dengan bencana banjir yang hampir setiap tahunnya terjadi di Kabupaten Wajo, Soppeng, Bone, Makassar, Bulukumba, Sinjai dan Bantaeng.

Sejumlah fakta-fakta di atas menjadi akibat dari beberapa hal di bawah ini :

Pemberian izin tanpa mempertimbangkan aspek Perlindungan

Pemberian izin yang dilakukan oleh pemerintah sering kali tidak mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan keberadaan sumber-sumber daya alam. Padahal upaya perlindungan terhadap sumber daya alam ini bermula dari pemberian izin oleh pemerintah karena dalam proses inilah sejumlah persyaratan dan larangan dari aspek hokum mulai ditegakkan.

Di Sulawesi selatan tampaknya proses pemberian perizinan kurang mendapatkan perhatian. Izin pengelolaan atau eksplorasi diberikan tanpa melakukan proses verifikasi yang ketat. Sejumlah kasus lingkungan yang terjadi di Sulsel ditengarai berangkat dari masalah yang muncul pada proses pemberian izin oleh pemerintah. Salah satu yang menarik adalah temuan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menemukan adanya pemberian izin pelepasan kawasan hutan di daerah Palopo dan Tana Toraja yang bermasalah. Areal hutan yang diizinkan untuk dieksplorasi termasuk hutan lindung dan tanah adat.

Data dari Jurnal Celebes menyebutkan bahwa ada 60 izin pengelolaan potensi hutan di Sulsel bermasalah dan harus diawasi karena pengelolaan izin tersebut terindikasi menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Dari 60 izin pengelolaan hutan di Sulsel, terbanyak atau 11 izin pengelolaan hutan di antaranya berada di Kabupaten Luwu, kemudian menyusul Kabupaten Maros tujuh izin dan Kabupaten Bone serta Toraja masing-masing enam izin.

Selain itu, perizinan juga bermasalah pada tambang galian golongan C, Misalnya saja di Kabupaten Pinrang. Balai Lingkungan Hidup menemukan banyaknya kerusakan lingkungan yang sangat parah akibat dari penambangan golongan C yang disebabkan karena dari awal proses perizinan itu tidak melihat kondisi obyek penambangan dan dampak yang akan ditimbulkannya. Bahkan dari kasus ini, mengindikasikan kurangnya kordinasi antar instansi pemerintah dalam hal pemberian izin. Kasus-kasus seperti ini juga terjadi di hampir semua daerah di Sulawesi Selatan karena melihat maraknya penambangan golongan C yang hampir tidak terkendali seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembangunan perumahan dan penimbunan di area-area perkotaan.

Lemahnya Penegakan Hukum.

Kebijakan dan daya control yang lemah dari pemerintah terhadap “pengelolaan dan issu perlindungan sumber daya alam”, dapat berimplikasi pada terjadinya peluang yang besar terhadap munculnya praktek “perkoncoan” dan “pelanggaran hukum”. Hal ini ditandai dengan banyaknya pihak yang terkait, telah berbuat tanpa melihat aspek hukum yang harusnya menjadi pedoman dalam stiap aktifitasnya, disamping tanpa mempertimbangkan dampak negative yang akan ditimbulkannnya. Akan halnya, pembinaan, daya control dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, terkesan “asalan”, atau bahkan tidak sama sekali dilibatkan partisipasi masyarakat, dan termasuk disalurkan keinginannya.

Hal ini dapat dilihat bahwa, permasalahan pokok dari penegakan hukum yang terkait dengan perlindungan sumber daya alam adalah kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada, yang menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Sepertio halnya, maraknya pengambilan terumbu karang dan pemboman ikan, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lahan, pertambangan tanpa izin.

Pelibatan Masyarakat yang Kurang

Selama ini proses penyusunan kebijakan di tingkat pemerintah, baik itu di tingkat pusat maupun di daerah sangatlah minim. Akibatnya banyak kebijakan yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek kepentingan, kebutuhan dan keselamatan masyarakat. Pentingnya pelibatan masyarakat kelihatannya belum dianggap sebagai sebuah kebutuhan dalam proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Padahal dalam suasana pemerintah yang demokratis ini mestinya peran serta masyarakat selalu harus di maksimalkan. Apalagi selama ini dalam sejumlah kasus pelaksanaan kebijakan lingkungan, masyarakat selalu menjadi obyek penderita secara langsung dan tidak langsung.

Minimnya partisipasi warga ini mengakibatkan banyaknya kebijakan-kebijakan pusat dan daerah yang elitis yang pelaksanaannya cenderung dipaksakan. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan sikap apatis yang tentunya akan menekan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya.

Peran serta masyarakat sebenanya telah diatur dalam UU No. 32/2009, peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur secara khusus pada Bab XI, Pasal 70. Dalam ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bentuk-bentuk peran diatur dalam ayat (2) berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan. Sementara tujuan peran masyarakat itu sesuai ayat (3) untuk: meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Alokasi Anggaran yang Belum Memadai

Pengembangan sumberdaya Alam, kaitan dengan “Isu perlindungan terhadap Sumber Daya Alam” di daerah dapat dikatakan belum menjadi perhatian yang serius oleh pihak pemerintah, sehingga penyediaan dan dukungan anggaran untuk proses pengelolaan dan perlindungan tersebut juga belum cukup dan bahkan belum memadai.

Partisipasi pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dalam mengaloklasikan anggaran pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam tentunya sant diharsapakan. Hal ini dimaksudkan agar bisa mengantisipasi implikasi positif dan implikasi negative terhadap pengelolaan dan perlindungan Sumber Daya Alam tersebut. Beberapa daerah yang dapat menjadi “sentra pendukung” terhadap peningkatan pendapatan pemerintah daerah Propensi karena pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam, terkesan tidak terjamah atau tergarap secara baik, Alokasi anggaran masih dianggap belum cukup dan sangat minim. Dalam APBD tahun 2009 total belanja lansung untuk BAPEDALDA hanya 0,2% dari total APBD Propinsi Sulawesi Selatan. Karenaya, demi peningkatan pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam tersaebut maka perlu Pememrintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan, penambahan anggaran penangannya, sebesar 5 %.

Hal yang terkait, pada Beberapa daerah yang memiliki hutan dan sumber daya alam yang besar seperti Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Gowa, Enrekang, Tana Toraja dan lain-lain, dapat dianggap belumlah memiliki program-program yang baik, terkait dengan pencegahan, pengelolaan atau pun recovery lingkungan/sumber daya alam.
Akibat dari dukungan anggaran yang minim tersebut, menyebabkan lemahnya bentuk pengelolaan, penyelenggaran kebijakan, kaitan dengan “pengelolaan dan isu perlindungan sumber daya alam”.

Rekomendasi

Dari Sudut pandang di atas, maka dipandang perlu adanya sebuah kebijakan yang mengatur tentang
1. Mekanisme perizinan yang mempertimbangkan aspek-aspek perlindungan terhadap sumber-sumber daya alam yang mencakup sumber daya air, darat, udara dan laut.
2. Mekanisme pengelolaan sumber daya alam yang terintegrasi antara pemerintah dengan intansi yang jelas, masyarakat dan seluruh stakeholder yang concern dengan pemanfaatan sumber-sumber daya alam
3. Mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan dan implementasi kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam
4. Komitmen pemerintah yang ditunjukkan dengan adanya pengalokasian anggaran yang cukup untuk pelaksanaan perlindungan sumber daya secara berkesinambungan.
5. Penegakan sanksi hukum bagi pihak-pihak yang mengabaikan dan melanggaran aspek-aspek yang terkait dengan perlindungan sumber daya alam.

PERDA PENDIDIKAN GRATIS DI SULSEL

Dari hasil diskusi Taskforce
Beberapa rekomendasi kebijakan untuk evaluasi PERDA

Pendidikan gratis di Sulawesi Selatan merupakan program prioritas Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008 – 2013. Program ini merupakan janji Gubernur terpilih saat PILKADA 2008 yang harus diimplementsikan selama periode kepemimpinannya. Implementasi janji tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Gubernur nomor 11 tahun 2008 dan pada tahun 2009, penyelenggaraan pendidikan gratis ini selanjutnya di-PERDA-kan melalui Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan. Pendidikan gratis adalah skema pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang ditanggulangi bersama oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota guna membebaskan atau meringankan biaya pendidikan peserta didik di Sulawesi Selatan.

Inisiasi pemerintah daerah tentang program pendidikan gratis tidak semata-mata untuk mengimplementasikan janji Gubernur Sulawesi Selatan dalam PILKADA 2008 yang lalu, akan tetapi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa kewenangan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Sementara dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional tahun 2003, beberapa pasal yang lebih rinci mengatur masalah ini, antara lain:
1. Pasal 5 ayat 1
Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
2. Pasal 5 ayat 5
Setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat;
3. Pasal 34 ayat 2
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya;
4. Pasal 46 ayat 2

Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat 4 UUD Negara RI tahun 1945.
Dalam undang-undang tersebut di atas menjelaskan bahwa kebutuhan akan pendidikan yang bermutu dan bebas dari pungutan menjadi kewajiban bagi negara untuk dipenuhi demi kepentingan warga negara. Oleh karena itu, Perda nomor 4 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan adalah tepat. Namun pelaksanaan Perda kadang mendapatkan hambatan dengan kenyataan di lapangan. Masalah kemudian muncul, baik di masyarakat, Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun di penyelenggara pendidikan sendiri.

KOPEL Sulawesi memandang bahwa niat baik pemerintah propinsi Sulawesi Selatan melalui PERDA Nomor 4 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan gratis ini perlu mendapat apresiasi dari semua pihak, termasuk memberikan masukan-masukan perbaikan yang dapat mendorong implementasi Perda ini agar berjalan dengan baik. Melalui task force (gugus tugas) pelayanan publik yang dibentuk oleh KOPEL yang terdiri dari unsur Partai Politik, NGO, akademisi, dan pelaku usaha telah melakukan kajian atas pendidikan gratis di Sulawesi Selatan. Atas hasil diskusi dan kajian terhadap PERDA ini, beberapa rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
2. Mutu Pendidikan
3. Komisi Pengawas Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Ketiga rekomendasi kebijakan tersebut di atas, dapat kami paparkan sebagai berikut:

1. Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.

Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah penyelenggara pendidikan membutuhkan anggaran yang begitu besar. Tidak hanya keperluan anak sekolah yang harus ditanggulangi, akan tetapi operasional, perbaikan fasilitas dan sejumlah kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang harus ditutupi. Sementara anggaran pendidikan gratis yang dikucurkan oleh pemerintah daerah sangat terbatas. Dengan anggaran yang terbatas dari subsidi pendidikan gratis yag dikucurkan oleh pemerintah daerah, membuat penyelenggara pendidikan keteteran.

Asumsi yang terbangun di masyarakat bahwa pendidikan gratis tidak lagi ada pungutan kepada siswa/orang tua siswa dalam bentuk apapun. Di pihak lain subsidi pemerintah daerah melalui pendidikan gratis sangat terbatas, praktis penyelenggara pendidikan harus mencari pudi-pundi lain untuk menutupi kekurangan anggaran. Penyelenggara pendidikan diharapkan mencari sumber pembiayaan lain selain subsidi dari pemerintah daerah.

Dalam PERDA No 4 tahun 2009 sinyal itu sudah ada, khususnya pada pasal 10 ayat (6), namun jalan keluar yang ditempuh dalam pasal ini adalah pungutan dapat dilakukan dari peserta didik atas persetujuan orang tua murid melalui Komite Sekolah. Dalam konteks ini, ada pertentangan atas Perda ini antara keinginan untuk menggratiskan peserta didik dengan ketidakmampuan pihak sekolah membiayai penyelenggaraan pendidikan. Wajar jika orang tua murid banyak yang protes “Katanya pendidikan gratis, tapi mengapa masih ada yang harus dibayar”.

Harusnya pasal dalam Perda ini menegaskan bahwa pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di luar subsidi gratis pemerintah tidak dibebankan kepada peserta didik. Perda ini perlu menegaskan kepada penyelenggara pendidikan yang masih memiliki komponen lain yang harus dibiayai untuk kreatif mencari sumber pembiayaan di luar subsidi gratis pemerintah daerah. Penyelenggara pendidikan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud dapat berupa:
• Corporate (perusahaan/BUMN/BUMD) melalui dana CSR (Corporate Social Responsibility).
• Peranserta individu/kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan financial dan peduli terhadap pengembangan pendidikan.

Masukan tersebut di atas adalah jalan keluar untuk mengatasi keterbatasan anggaran bagi penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, pasal 10 khususnya ayat (6) dan (7) Perda No. 4 Tahun 2009 agar dipertimbangkan untuk dihapus. Masukan sumber pembiayaan lainnya dapat dipertegas dalam BAB IX Pasal 14 tentang sumber pembiayaan. Penegasannya dapat dilakukan dengan merevisi pasal tersebut dan memasukkan pengaturannya dengan tegas (untuk tidak mengatakan sedikit memaksa) tentang kreatifitas penyelenggara pendidikan untuk dapat bekerja sama dengan corporate dan atau individu/kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan financial dan peduli terhadap pengembangan pendidikan ke dalam batang tubuh PERDA.

2. Mutu Pendidikan

Sejatinya Perda Penyelenggaraan Pendidikan Gratis tidak sekedar mendorong penyelenggara pendidikan untuk membebaskan anak didik dari segala pengutan, akan tetapi PERDA ini juga penting mengatur tentang peningkatan mutu pendidikan.

Dalam Pasal 12 ayat (3) menjelaskan bahwa “Subsidi pembiayaan dari pemerintah daerah dimaksudkan untuk perluasan kesempatan belajar bagi seluruh anak usia sekolah dan peningkatan mutu penyelenggaraan dan mutu luaran/lulusan”. Pasal 10 ayat (3) dan (4) menyebutkan “Sekolah swasta dan pesantren yang menolak menyelenggarakan pendidikan gratis wajib menjamin mutu proses belajar mengajar dan standar mutunya diatur dalam peraturan gubernur”. Konteks dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (3) dan (4) ini menginformasikan kepada kita bahwa subsidi pembiayaan gratis dari pemerintah daerah dimaksudkan untuk peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan dan mutu luaran/lulusan. Namun dengan subsidi yang terbatas dari pemerintah daerah diperparah dengan persepsi masyarakat tentang “pendidikan gratis” yang menganggap semuanya harus digratiskan membuat penyelenggara pendidikan terbebani. Antara perintah PERDA dengan desakan kuat dari masyarakat tentang pendidikan gratis membuat penyelenggara pendidikan tertekan dan tak mampu berbuat apa-apa. Termasuk memikirkan mutu pendidikan dan keluaran/lulusan anak didik.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam Perda No. 4 tahun 2009 yang mengatur tentang mutu pendidikan hanya beberapa pasal, antara lain Tujuan, sasaran, dan pengawasan:
- BAB IV Pasal 7 tentang tujuan penyelenggaraan pendidikan gratis, yakni point (b) “Meningkatkan mutu penyelenggaraan dan lulusan”; dan point (d) “Meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggara pendidikan gratis untuk memenuhi mutu dan produktivitas sumber daya manusia yang unggul”.
- Pasal 10 ayat (3) dan (4) “Sekolah swasta dan pesantren yang menolak menyelenggarakan pendidikan gratis wajib menjamin mutu proses belajar mengajar dan standar mutunya diatur dalam peraturan gubernur”.
- Pasal 25 “Pengawasan diharapkan dapat mengefektifkan penggunaan dan pemanfaatan dana subsidi dan peningkatan mutu lulusan penyelenggaraan pendidikan gratis”

Bila dilihat dari tujuan Perda tentang mutu pendidikan yang diharapkan tercapai begitu mulya (pasal 7 point b dan d), namun tak satupun pasal dalam Perda ini yang mengatur tentang bagaimana penyelenggara pendidikan didorong untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan dan luaran/lulusan peserta didik. Apa sebab? Setelah ditelusuri pasal demi pasal dalam PERDA ini, ada asumsi yang terbangun bahwa sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis sudah dijamin mutunya padahal belum tentu, sementara sekolah yang menolak, standar mutunya akan diatur dalam peraturan gubernur (pasal 10 ayat 3 dan 4).

Ada beberapa aspek yang mendukung terselenggaranya pendidikan yang bermutu, antara lain pembiayaan, cara dan metode, serta kapasitas pengajar/guru. Dari segi pembiayaan, jelas subsidi pemerintah daerah dalam pendidikan gratis ini tidak bisa mencukupi seluruh pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis. Sementara cara, metode, dan kapasitas tenaga pengajar/guru sama sekali tidak disinggung dalam Perda ini.

3. Komisi Pengawas Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.


Penyelenggaraan pendidikan gratis oleh sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis penting untuk diawasi. Banyaknya masalah yang dihadapi baik oleh penyelenggara pendidikan, pemerintah kabupaten/kota maupun komplain dari orang tua siswa yang mengharuskan penyelenggaraan pendidikan gratis perlu pengawasan yang ketat.

Dalam Perda No. 4 tahun 2009 komisi ini telah diatur dalam Bab tersendiri yakni BAB XV tentang Komisi Pengawasa Penyelenggaraan Pendidikan Gratis dalam 3 pasal yakni pasal 23, 24, dan 25. Namun dalam pengawasan ini ada beberapa catatan:
- Komisi Pengawas yang diatur dalam PERDA ini menuntut adanya anggaran operasioanal untuk memonitoring pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan gratis di 23 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan. Mengingat anggaran yang dibutuhkan lembaga ini tidak sedikit, maka perlu mempertimbangkan efektifitas keberadaan komisi ini.
- Dipahami bahwa prioritas subsidi pemerintah daerah untuk pembentukan PERDA ini adalah sekolah penyelenggara pendidikan gratis, maka sejatinya pemerintah daerah menimalkan pembengkakan anggaran selain kepada penyelenggara pendidikan gratis. Untuk pengawasan penyelenggaraan pendidikan gratis, pemerintah daerah dapat memberdayakan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah serta DPRD dengan fungsi pengawasannya.
Demikianlah rekomendasi ini dibuat, semoga menjadi catatan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan untuk perbaikan regulasi dan kebjikan atas penyelenggaraan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan.

Minggu, 03 Oktober 2010

MENILAI LKPJ AKHIR MASA JABATAN BUPATI BULUKUMBA PERIODE 2005 - 2010

Bagian 3 (terakhir)

Misi Ketiga
“Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dengan mengoptimalkan potensi unggulan dan mendorong tumbuhnya pusat-pusat ekonomi dan pengembangan kerja sama daerah”

Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni membangun agro bisnis, peningkatan produksi hasil-hasil pertambangan, dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Tujuan 5: “Membangun agro bisnis dengan revitalisasi dan pemanfaatan sumber daya alam”

Salah satu Indikator untuk pencapaian tujuan ini ditetapkan oleh pemerintah daerah pada akhir masa jabatan adalah peningkatan produktifitas yang terdiri dari dua sektor, yakni (1) pertanian dan (2) perikanan dan kelautan.

1. Pertanian

Potensi pertanian Kabupaten Bulukumba terdiri dari beberapa komuditas, antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang ijo, dan kedelai. Dari sekian banyak potensi pertanian Kabupaten Bulukumba, padi adalah tanaman yang paling potensial yang merupakan bahan pangan utama masyarakat. Produksi tanaman pertanian yang rata-rata produksinya meningkat adalah padi, jagung, kacang tanah, dan kedelai. Sementara tanaman ubi kayu, ubi jalar, kacang ijo tingkat produksinya berpluktuasi dari tahun ke tahun.

Jika dilihat target capaian yang diharapkan Pemerintah Kabupaten Bulukumba di akhir masa jabatan berdasarkan dengan indikator yang dituangkan dalam RPJMD, jumlah produksi pertanian tanaman pangan ditargetkan 429.743 ton. Namun fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa target tersebut belum tercapai. Jumlah produksi tertinggi hanya pada tahun 2008 yang juga tak memenuhi target hanya 397.946 ton, demikian juga rata-rata produksi dari 5 tahun produksi hanya 342.810 ton.

2. Perikanan dan Kelautan

Potensi perikanan dan kelautan Kabupaten Bulukumba terdiri dari perikanan tangkap (perikanan laut) dan perikanan budidaya (perikanan darat).

Dari data menunjukkan bahwa peningkatan produksi pertanian dan perikanan dari tahun ke tahun juga berpluktuasi. Peningkatan produksi dari tahun 2004 sebesar 36.920,60 ton meningkat pada tahun 2005 sebesar 37.507,80 ton. Namun pada tahun 2006 menurun sebesar 37.455,20 ton dan meningkat drastis pada tahun 2007 sebesar 44.591,00, tapi kemudian mengalami penurunan pada tahun 2008 sebesar 38.585 ton. Jika dirata-ratakan hasil produksi selama 5 tahun 39.011,92 ton.

Jika dibandingkan dengan fakta tersebut di atas dengan harapan Pemerintah Kabupaten Bulukumba terhadap peningkatan produksi perikanan dan kelautan sangat jauh dari target. Target indikator pencapaian dari tujuan misi ini dalam hal peningkatan produksi perikanan dan kelautan adalah jumlah ikan yang diproduksi untuk konsumsi pertahun adalah 81.773 ton (yang di bagian lain juga dalam RPJMD ini dengan indikator yang sama ditargetkan 121.500 ton. Sekali lagi RPJMD ini dibuat tidak by design/ngawur).

Jika kita mengambil target terendah dari dua target yang berbeda ini sebesar 81.773 ton, maka dari 5 tahun produksi perikanan tak satu pun yang memenuhi target. Target yang tertinggi hanya pada tahun 2007, itu pun tak memenuhi target, hanya 44.591 ton dari 81.773 ton yang ditargetkan di akhir masa jabatan.

Tujuan 6: “Peningkatan produksi hasil-hasil pertambangan dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber energi”

Target yang ingin dicapai Pemerintah Kabupaten Bulukumba di akhir masa jabatan tahun 2010 untuk tujuan peningkatan produksi hasil-hasil pertambangan dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber energi adalah peningkatan sumbangan PDRB sektor pertambangan dan penggalian terhadap total PDRB Kabupaten Bulukumba.
Selain pertambangan dan penggalian, lapangan usaha yang memberikan kontribusi pertumbuhan PDRB kabupaten adalah pertanian, Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Bersih; Bangunan/Konstruksi; Perdagangan, Restoran & Hotel; Angkutan dan komunikasi; Bank dan Lembaga Keuangan; serta Jasa.

Dari sekian banyak sektor lapangan usaha, sektor pertanian yang mendominasi kontribusi peningkatan PDRB Kabupaten Bulukumba 5 tahun terakhir (2004 – 2008). Ternyata pertambangan dan penggalian yang diharapkan meningkat oleh pemerintah daerah berdasarkan dengan indikator pencapaian visi dan misi berdasarkan tujuan ini menempati persentase terendah dari lapangan usaha lainnya, yakni 0,33 (2004); 0,35 (2005); 0,36 (2006); 0,39 (2007); dan 0,40 (2008)

Tujuan 7: “Peningkatan pendapatan masyarakat”


Sasaran indikator pencapaian tujuan peningkatan pendapatan masyarakat adalah terbukanya lapangan pekerjaan dan menurunnya jumlah penduduk miskin Kabupaten Bulukumba tahun 2010. Hal ini dapat dilihat dari angka partisipasi angkatan kerja, penurunan angka pengangguran dan persentase keluarga pra sejahtera dari jumlah total keluarga.

Untuk menurunkan angka kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Bulukumba telah menargetkan persentase penurunan angka kemiskinan pada tahun 2010 berdasarkan RPJMD sebesar 6,1%. Penurunan ini dapat dilihat dari jumlah keluarga pra sejahtera dari total keluarga. Jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, penurunan presentase ini bakal tidak dicapai dengan melihat kondisi hidup masyarakat. Jika dilihat penurunan angka kemiskinan sejak dari tahun 2004 sampai dengan 2007, menunjukkan angka sebesar 1,6% atau rata-rata penurunan angka kemiskinan setiap tahunnya hanya 0,5%. Sehingga mustahil diakhir masa jabatan tahun 2010, angka kemiskinan ini dapat tercapai penurunannya sebesar 6,1%.

Jika melihat kondisi pergeseran angka tersebut, maka capaian penurunan angka kemiskinan hingga tahun 2010 hanya sebesar 2,7%. Persentase ini tidak memenuhi target sebesar 6,1% sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba di akhir masa jabatannya.

Sementara penurunan angka pengangguran terhadap angkatan kerja sedikit menggembirakan. Jumlah pengangguran terbuka sedikit menurun. Melihat perbandingan data tahun 2007 dengan 2008, angkatan kerja pada tahun 2008 yang bekerja sebanyak 187.729 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 173.445 orang, dan jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 12.566 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 16.361 orang. Sehingga diperoleh persentase bekerja terhadap angkatan kerja pada tahun 2008 sebesar 93,73% dan tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2008 sebesar 6,27% atau turun dibandingkan pada tahun 2007 yang mencapai 8,62% .

Dengan melihat data tersebut di atas, bahwa penurunan angka pengangguran yang berarti jumlah bekerja meningkat ternyata tidak diikuti dengan pengurangan jumlah kemiskinan yang signifikan atau memadai. Artinya bahwa peningkatan pendapatan masyarakat masih kurang dibandingkan dengan jumlah biaya hidup yang harus dikeluarkan, sehingga kemiskinan tetap menghantui masyarakat Kabupaten Bulukumba.

Misi Keempat
“Meningkatnya prasarana dan infrastruktur pendukung ekonomi dan kualitas pelayanan dalam pemenuhan hak dasar masyarakat”

Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni peningkatan kualitas pengelolaan usaha perekonomian rakyat.

Tujuan 8 : “Peningkatan kualitas pengelolaan usaha perekonomian rakyat”

Peningkatan kualitas pengelolaan usaha perekonomian rakyat, khususnya usaha-usaha pemberdayaan lembaga ekonomi koperasi, usaha kecil menengah dan usaha mikro merupakan salah satu indikator pencapaian dari tujuan misi ini.

Salah satu indikator yang ditetapkan dalam RPJMD sebagai pencapaian tujuan dari misi pemerintah daerah adalah jumlah koperasi yang aktif sebanyak 200 unit. Jika dilihat dari data tahun 2007, jumlah koperasi sudah melebihi dari target sebanyak 256 unit.

Meskipun demikian, jumlah ini belum bisa dipastikan berapa unit yang aktif karena LKPJ akhir masa jabatan ini tidak menyediakan data yang cukup untuk melihat target capaian koperasi yang aktif untuk mengukur sejauh mana indikator yang telah ditentukan sebelumnya – tercapai atau tidak. Demikian juga dengan jumlah anggota koperasi yang ditargetkan aktif di akhir masa jabatan sebanyak 30.000 yang pada tahun 2007 total anggota seluruhnya mencapai 69.963. Jumlah ini pun tidak bisa dipastikan berapa anggota yang aktif, apakah memenuhi target atau tidak.

Misi Kelima

“Pelestarian Sumber Daya Alam (SDA), budaya, dan peninggalan sejarah”

Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni peningkatan kualitas lingkungan hidup yang melibatkan peran serta masyarakat.

Tujuan 9 : “peningkatan kualitas lingkungan hidup yang melibatkan peran serta masyarakat”

Salah satu indikator dari pencapaian misi ini adalah meningkatnya potensi sumber daya wisata di Kabupaten Bulukumba. Dalam dokumen LKPJ masa akhir jabatan tidak ditemukan adanya potensi wisata yang baru yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba. 15% jumlah wisatawan yang berkunjung yang dijadikan indikator oleh pemerintah kabupaten juga dikeluhkan. Hal ini juga diakui oleh pemerintah kabupaten dalam LKPJ-nya bahwa hal tersebut merupakan permasalahan karena kurangnya minat wisatawan untuk mengunjungi situs-situs dan obyek wisata lainnya . Hal ini disayangkan karena Kabupaten Bulukumba adalah salah satu daerah pariwisata yang tidak hanya dikenal oleh wisatawan domestik tapi juga oleh manca negara. (Selesai)

Rabu, 29 September 2010

MENILAI LKPJ AKHIR MASA JABATAN BUPATI BULUKUMBA PERIODE 2005 - 2010

Bagian 2

Penilaian Substansi Pencapaian Visi dan Misi di tahun 2010 Akhir Masa Jabatan

Dalam penilaian substansi pencapaian visi dan misi di tahun 2010 akhir masa jabatan Pemerintah Kabupaten Bulukumba, KOPEL Sulawesi melakukan analisa berdasarkan tujuan, indikator dari pencapaian visi dan misi yang sudah dituangkan dalam RPJMD berdasarkan Peraturan Bupati Nomor: 16/III/2006 dan perubahannya nomor 34/VII/2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bulukumba tahun 2005 – 2010.

Misi Pertama
“Mendorong peningkatan kualitas SDM kelembagaan dan sumber daya aparatur dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan bebas KKN”


Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni peningkatan kualitas pelayanan publik dan mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan partisipatif.

Tujuan 1: “Peningkatan kualitas pelayanan publik”

Salah satu tujuan dalam pencapaian misi ini adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik di Kabupaten Bulukumba yang dapat dilihat dari meningkatnya profesionalisme aparatur pemerintah daerah, terciptanya kelembagaan pemerintahan yang efektif dan efisien, dan meningkatnya kualitas sarana dan prasarana umum. Jika dilihat dari kondisi selama ini, profesinalisme dari aparatur dalam menjalankan tugas dan fungsinya masih sangat minim. Dampak dari profesionalisme aparatur yang kurang mengakibatkan kacaunya administrasi dan agenda-agenda pemerintahan di Kabupaten Bulukumba.

Beberapa kasus kekacauan administrasi yang banyak menjadi sorotan publik adalah hilangnya 107 orang tenaga honorer dalam data based Pemerintah Kabupaten Bulukumba, temuan BPK tentang aset daerah yang belum tercatat, pengangkatan CPNSD TA 2009 yang bersumber dari alumni PGSDi yang mengakibatkan nasib 33 orang yang telah dinyatakan lulus justru tidak memiliki Surat Keputusan Pengangkatan sebagai PNS. Bantuan sosial sebesar 1,5 Milyar untuk Pembangunan Tanggul Pantai Merpati seharusnya diselesaikan pada Tahun Anggaran 2009 tetapi sampai sekarang belum terealisasi akibat terjadinya kesalahan administrasi.

Kasus lain yang menjadi sorotan publik tiap tahun adalah terlambatnya pembahasan RAPBD di DPRD karena pihak eksekutif tidak tertib jadwal penganggaran daerah. Dengan kata lain bahwa setiap agenda perencanaan dan penganggaran daerah, pihak eksekutif tidak tepat waktu. Padahal indikator pencapaian visi ini di tahun 2010 berdasarkan RPJMD bupati adalah 100% SKPD dalam menyampaikan laporan keuangan harus tepat waktu, tetapi kenyataannya tidak demikian. Setiap tahun anggaran RAPBD selalu bermasalah.

Bila kenyataan tersebut di atas demikian, maka peningkatan kualitas sarana dan prasarana umum yang menjadi sasaran dari pencapaian tujuan peningkatan kualitas pelayanan publik juga hampir dipastikan belum memadai. Asumsi ini terbangun karena kualitas pelayanan publik akan berkorelasi dengan profesionalisme aparatur pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kapada publik.

Tujuan 2: “Mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan partisipatif”

Salah satu keberhasilan pemerintah Kabupaten Bulukumba masa pemerintahan A. Sukri Sappewali adalah dibentuknya Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) sebagai amanah PERDA No 10 Tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Bulukumba. Dengan dibentuknya komisi ini, tujuan dari pencapaian misi kepala daerah diharapkan tercapai dengan sasaran peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berdasarkan indikator yang tertuang dalam RPJMD, yakni 70% unsur-unsur dalam masyarakat terlibat dalam Musrenbang dan perumusan kebijakan publik.

Untuk pencapaian misi ini berdasarkan indikator capaian, ada dua yang harus menjadi perhatian; (1) pelibatan unsur masyarakat dalam Musrenbang, dan (2) pelibatan unsur masyarakat dalam perumusan kebijakan publik.

Pelibatan unsur masyarakat dalam Musrenbang hampir sama dengan kabupaten yang lain karena hal tersebut berlaku nasional. Dan umumnya kondisi pelaksanaan Musrenbang selalu menjadi kritikan masyarakat, baik dari mekanisme dan teknis pelaksanaannya maupun kualitas usulan Musrenbang. Akibatnya usulan masyarakat tidak terakomodir dalam APBD, yang tahapan-tahapannya hingga ditetapkan oleh DPRD juga tidak tertib jadwal yang setiap tahun anggaran selalu mendapat warning dari pemerintah pusat. Apakah kondisi seperti ini dapat dikatakan pencapaian misi ini tercapai berdasarkan indikator yang telah ditentukan sebelumnya? Kualitas yang baik ditentukan dengan proses yang baik. Kegagalan pembangunan disebabkan karena perencanaan yang dilakukan juga gagal. Bahkan untuk mwujudkan perencanaan dan penganggaran yang baik, draf PERDA tentang prosdur perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah baru diselesaikan oleh eksekutif pada akhir masa jabatan dan hingga selesai masa pemerintahan Bupati A. Sukri Sappewali, PERDA ini belum juga dibahas di DPRD.

Meskipun Komisi Transparansi dan Partisipasi telah dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba, bukan berarti ini sebuah keberhasilan dari pencapaian misi bupati. Alasannya karena lembaga ini hanya instrumen/alat untuk mencapai tujuan. Karena itu minimal ada dua yang harus dinilai: pertama, progres dari para komisioner untuk melakukan tugas dan fungsinya, dan kedua, hasil yang dicapai oleh komisioner dalam menjalankan tugasnya yang memberikan kontribusi pencapaian tujuan mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan partisipatif. Sejak dibentuknya, komisi ini belum menunjukkan hal yang luar biasa atas tugas-tugasnya kepada publik. Bahkan di awal pembentukannya sibuk dengan penyelesaian masalah internal pengurusnya apalagi mau menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi aduan masyarakat tentang pelayanan publik, khususnya aduan masyarakat terkait dengan masalah yang mereka hadapi dalam pelayanan di SKPD-SKPD dalam lingkup Pemerintah Kabupaten Bulukumba.

Kedua penilaian ini jika berhasil akan menciptakan kondisi Kabupaten Bulukumba di tahun 2010 yakni Kabupaten Bulukumba yang dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan bebas KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) berdasarkan misi pemerintah daerah yang dituangkan dalam RPJMD. Apakah kondisi sekarang ini sudah tercapai? Sudah bisa dipastikan bahwa diakhir masa jabatan, kondisi ini berdasarkan misi awal tidak tercapai. Indikasinya, dugaan kasus-kasus korupsi di Kabupaten Bulukumba 5 tahun terakhir masih dominan, baik yang telah diputuskan oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang sementara berproses. Demikian juga dengan penyimpangan lainnya yang belum ditindaklanjuti oleh penegak hukum, tetapi sudah menjadi bahan pembicaraan di masyarakat.

Belum hilang dari ingatan kita bagaimana kasus dugaan penyelewengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pelaksanaan DAK 2007-2008 yg amburadul, sekolah langsung dibongkar tanpa jelas siapa yang memberi perintah untuk pembongkaran, begitu pula dengan pengadaan mobiler dan computer di sekolah-sekolah.

Tujuan 3: “Peningkatan kualitas sumber daya manusia”

Salah satu tujuan untuk mencapai misi bupati adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan indikator sasaran: meningkatnya kualitas pendidikan formal, non formal dan informal; meningkatnya derajat kesehatan masyarakat; meningkatnya kualitas hidup perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak; dan menekan laju pertumbuhan penduduk.

Salah satu indikator meningkatnya kualitas pendidikan yang ditargetkan Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba untuk tujuan peningkatan sumber daya manusia di bidang pendidikan pada tahun 2010 (akhir masa jabatan) adalah perbandingan rasio murid dan guru dengan target 1:16. Target indikator ini tercermin dalam RPJMD bupati yang disusun berdasarkan visi dan misinya. KOPEL Sulawesi menilai bahwa kehendak bupati untuk meningkatkan sumber daya manusia di bidang pendidikan justru tidak dilakukan. Justru yang hendak dilakukan adalah penurunan kualitas dengan capaian target seperti ini. Penilaian ini bukan tanpa alasan karena sejak tahun 2003, perbandingan rasio murid dan guru sudah mencapai 1:11 untuk SMU dan sederajat serta 1:15 untuk SMP dan sederajat .

Bila dilihat rata-rata perbandingan rasio murid dan guru sejak dari tahun 2003 – 2007 diperoleh angka perbandingan untuk SD sederajat sudah mencapai 1:13, SMP sederajat 1:14 dan untuk SMU sederajat 1:13. Lantas apa dasar pemerintah daerah menargetkan capaian rasio perbandingan murid dan guru 1:16 di akhir masa jabatan? Nampaknya RPJMD dibuat tidak by design sebagaimana juga tergambar dalam analisis teknis/umum sebelumnya dimana LKPJ akhir masa jabatan tidak menampilkan capaian visi dan misi berdasarkan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya karena sejak dari awal dibuat ngawur.

Tujuan peningkatan sumber daya manusia lainnya sebagai tujuan pencapaian misi ini yang sasarannya adalah meningkatnya kualitas hidup perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak, oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba telah menetapkan indikator capaian tahun 2010 sebesar 20% perempuan di legislatif dan eksekutif.

Namun jika dilihat faktanya, dari 40 orang anggota legislatif, jumlah perempuan hanya 4 orang atau hanya 10% dari total anggota DPRD. Sementara di eksekutif yang menempati pimpinan SKPD hanya 10 perempuan dari 41 orang pimpinan SKPD. Jika diakumulasi jumlah perempuan yang memegang peranan penting sebagai anggota legislatif dan pimpinan SKPD hanya 17%. Artinya, target dari pencapaian tujuan misi ini sebesar 20% oleh pemerintah daerah tidak tercapai.

Misi Kedua
“Menciptakan iklim kondusif bagi kehidupan yang aman, damai, religius, dan inovatif serta implementasi pemberdayaan masyarakat”.


Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni Peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas.

Tujuan 4: “Peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas”

Salah satu indikator sasaran pencapaian tujuan peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas atas misi Pemerintah Kabupaten Bulukumba adalah pembinaan keagamaan dengan target 100% berdasarkan RPJMD.

Mengingat penduduk Kabupaten Bulukumba mayoritas beragama Islam, maka beberapa Peraturan Daerah yang dikenal dengan Perda keagamaan telah ditetapkan pada masa pemerintahan bupati sebelumnya Patabai Pabokori. Bupati Patabai Pabokori pada masa pemerintahannya menjalankan crash program keagamaan dengan memprioritaskan 8 aspek kegiatan, antara lain: (1) Pembinaan dan pengembangan pemuda – remaja mesjid; (2) Pembinaan dan pengembangan TKA dan TPA; (3) Pembinaan dan pengembangan majelis taklim; (4) Pembinaan dan pengembangan perpustakaan masjid; (5) Pembinaan dan pengembangan hifzil Qur’an; (6) Pembinaan dan pengembangan seni bernuansa Islami; (6) Pemberdayaan Zakat, Infak dan Shadaqah; dan, (8) Pelestarian keluarga sakinah, sejahtera dan bahagia.

Seiring dengan crash program tersebut di atas, PERDA-PERDA yang bernuansa keagamaan lainnya muncul, antara lain:
• PERDA Nomor 03 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasa, Penertiban, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
• PERDA Nomor 2 tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah;
• PERDA Nomor Pandai 5 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah;
• PERDA Nomor 6 tahun 2003 tentang Baca Tulis Al-Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin.

Dampaknya pun juga dapat terukur, misalnya saja, kalangan masyarakat yang beragama Islam menjadi sadar terhadap perlunya mematuhi peraturan daerah, apalagi aturan-aturan yang bersumber pada agama. Selain itu, simbol-simbol keagamaan menjadi semakin marak dimana masyarakat secara individu maupun kolektif menggunakan simbol-simbol tersebut.

Bila dianalisa lebih jauh terkait dengan sasaran indikator 100% pembinaan keagamaan yang ditargetkan oleh pemerintah daerah tahun 2010, maka selayaknya nuansa keberagamaan di masyarakat lebih meningkat dari periode bupati sebelumnya. Apakah hal itu tercapai? Nampaknya pemberlakuan PERDA di bidang keagamaan tersebut mengalami kemunduran. Meskipun secara normatif, pemerintah Kabupaten Bulukumba tetap memberlakukan PERDA-PERDA ini, namun masyarakat menganggap bahwa ruh yang melatarbelakangi lahirnya PERDA ini mulai redup. Kegiatan-kegiatan keagaman tidak lagi menjadi perhatian serius pemerintah. Paling tidak hal ini yang dirasakan oleh masyarakat atas keseriusan pemerintah sekarang ini dibandingkan dengan periode sebelumnya .

Bahkan Perda-Perda keagamaan tersebut di atas dapat dijadikan alat atau instrumen penegakan hukum karena ini sangat berkorelasi dengan pencapaian tujuan peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas. Berdasarkan data Kepolisian, sejak diberlakukannya ke empat PERDA tersebut telah berhasil menekan angka kriminal hingga 22 % di tahun 2004. Seandainya pemerintah daerah periode selanjutnya (A. Sukri Sappewali) memaksimalkan pembinaan keagamaan dengan pemberlakuan PERDA ini, maka angka kriminalitas dapat menurun dari periode pemerintahan sebelumnya.

MENILAI LKPJ AKHIR MASA JABATAN BUPATI BULUKUMBA PERIODE 2005 - 2010

Bagian 1
Oleh: KOPEL Sulawesi

Tulisan ini dimaksudkan untuk menilai capaian visi misi Bupati Bulukumba periode 2006 - 2010 di awal menjabat hingga berakhir masa jabatannya. Apakah janjinya kepada masyarakat saat kampanye 5 tahun yang lalu terwujud hari ini? Tulisan ini bisa menjawabnya dan diturunkan dalam beberapa bagian tulisan. Tulisan ini juga bisa dibaca www.kopel-online.com.

PENDAHULUAN

LKPJ Akhir masa jabatan pada hakikatnya merupakan media pertanggungjawaban Kepala Daerah atas capaian visi, misi yang diamanahkan kepadanya sebagaimana terangkum dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Oleh karena itu, LKPJ Akhir Masa Jabatan itu sudah seharusnya melaporkan realisasi capaian-capaian kinerja pemerintah daerah diperbandingkan dengan target kinerjanya selama 5 tahun. Seperti apa kondisi daerah di tahun pertama dan capaiannya di akhir masa jabatan atau di tahun ke 5. Capaian ini akan diukur berdasarkan dengan janji-janji bupati terpilih yang selanjutnya dituangkan dalam RPJM yang harus dicapai di akhir masa jabatan. Dengan demikian, dari LKPJ tersebut akan diketahui apakah visi misi kepala daerah tersebut tercapai atau tidak, dan berikut alasan-alasannya.

Pada tahun 2006, Kabupaten Bulukumba dipimpin oleh A. Sukri Sappewali selaku Bupati dan berpaket dengan H. Padasi selaku Wakil Bupati. Kepemimpinan mereka dipilih langsung oleh masyarakat Bulukumba dan selama lima tahun diberikan amanah untuk mewujudkan janji-janjinya saat kampanye di hadapan masyarakat. Janji-janji tersebut telah dituangkan dalam dokumen RPJMD melalui Peraturan Bupati Nomor: 16/III/2006 dan perubahannya dengan nomor: 34/VII/2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bulukumba tahun 2005 – 2010.


VISI DAN MISI KABUPATEN BULUKUBA

Visi Kabupaten Bulukumba 2006-2010 sebagaimana tercantum dalam RPJMD adalah:
“Mewujudkan masyarakat Bulukumba yang berkualitas dan sejahtera melalui pengembangan potensi sumberdaya daerah dengan berlandaskan pada moral agama dan nilai-nilai luhur budaya”.

Dalam mewujudkan visi Kabupaten Bulukumba, maka pemerintah daerah merumuskan misi sebagai berikut:

1. Mendorong peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang berkualitas, beriman, profesional, berintegritas moral dan etis;
2. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan mongoptimalkan potensi unggulan daerah, mendorong tumuhnya pusat kegiatan ekonomi kecil menengah, menciptakan iklim investasi yang kondusif dan prospektif, peningkatan sarana pelayanan publik dan melakukan supremasi hukum;
3. Mengembangkan kompetensi dan profesionalisme aparatur untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan bebas dari KKN;
4. Menciptakan stabilitas masyarakat melalui supremasi hukum, keamanan dan ketertiban lingkungan;
5. Meciptakan iklim investasi yang baik, kondusif, dan prospektif;
6. Mendorong tumbuhnya pusat-pusat kegiatan ekonomi baik yang berskala kecil, menengah dan besar;
7. Kerja sama lintas dinas, bidang dan program dalam mensukseskan tujuan pembangunan;
8. Pelestarian Sumber Daya Alam, lingkungan, budaya dan peninggalan sejarah;
9. Peningkatan prasarana dan infrastruktur yang dapat meningkatkan kesejahteraan, ekonomi, dan kepuasan masyarakat seperti transportasi, komunikasi, tempat-tempat ibadah, tempat-tempat umum, tempat-tempat pendidikan dan pelayanan kesehatan.


MENILAI PENCAPAIAN VISI DAN MISI

Sebagaimana dijelaskan pada pendahuluan di atas bahwa hakikat Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan (LKPJ-AMJ) adalah untuk menilai apakah di akhir masa jabatan seorang kepala daerah tercapai visi dan misinya atau tidak. Visi misi ini telah dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan kewajiban seorang bupati terpilih untuk membawa/menahkodai daerah yang dipimpinnya selam 5 tahun ke depan. RPJMD ini dibuat berdasarkan visi dan misi bupati terpilih yang merupakan janji-janji saat kampanye yang harus diwujudkan selama kepemimpinannya sebagai dasar pijakan dalam mengarahkan pembangunan hingga visi tersebut tercapai di akhir masa jabatan.

Pemerintah Kabupaten Bulukumba periode 2005 – 2010 telah menetapkan visi dan misinya yang telah dituangkan dalam dokumen RPJMD melalui Peraturan Bupati Nomor: 16/III/2006 dan perubahannya nomor 34/VII/2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bulukumba tahun 2005 – 2010.

Untuk menilai Laporan Akhir Masa Jabatan (LKPJ) Akhir Masa Jabatan, kita tentu bertanya apakah visi dan misi yang telah “dijual” oleh bupati melalui kampanye di tahun 2005 yang lalu telah tercapai di tahun 2010 akhir masa jabatan atau tidak. Pertanyaan tersebut penting untuk diajukan agar setiap LKPJ Akhir Masa Jabatan akan menjadi media untuk mengukur kinerja seorang kepala daerah secara lebih objektif. Mengingat ini adalah janji yang harus ditepati karena masyarakat Kabupaten Bulukumba telah mempercayakan kepadanya untuk memimpin daerah ini hingga 2010.

1. Penilaian Umum/Teknis

Sebelum masuk kepada analisa subtansi dari Laporan Keterangan Pertanggugjawaban Akhir Masa Jabatan (LKPJ AMJ) Bupati Bulukumba periode 2005 - 2010, KOPEL Sulawesi merasa penting untuk memberikan penilaian secara umum/teknis atas LKPJ akhir masa jabatan ini, antara lain:

a. Melalui Peraturan Bupati Bulukumba Nomor: 16/III/2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2005 – 2010, Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba telah menetapkan visi, misi, strategi, dan arah kebijakan pembangunan Kabupaten Bulukumba hingga tahun 2010, dimana jabatan Bupati Bulukumba berakhir. Dalam dokumen RPJMD tersebut, tidak tergambar tujuan dari setiap misi pemerintah daerah serta sasaran, target dan indikator pencapaiannya. sehingga sulit untuk mengukur keberhasilan capaian visi dari tahun ke tahun yang diharapkan dapat tercapai pada tahun ke 5 yakni tahun 2010 akhir masa jabatan. Baru menjelang 1 (satu) tahun berakhirnya masa jabatan, Bupati Bulukumba melakukan perubahan/revisi RPJMD melalui Peraturan Bupati nomor 34/VII/2009. Dalam perubahan RPJMD tersebut baru dicantumkan tujuan dan sasaran serta indikator dan target capaiannya.

b. RPJMD Kabupaten Bulukumba Tahun 2005-2010 yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah Daerah ditetapkan hanya dengan Peraturan Bupati. Padahal merujuk pada Pasal 150 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah secara jelas mengungkapkankan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA). Penetapan RPJMD dengan Peraturan Bupati, dapat menyulitkan DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasannya terhadap kebijakan perencanaan pembangunan, mengontrol pencapaian target dari tahun ke tahun karena RPJMD tidak melalui DPRD dalam pembahasan dan penetapannya.

c. Selain tujuan, sasaran, indikator dan target capaian kinerja dalam perubahan RPJMD tersebut, misi daerah juga dilakukan revisi yang disisipkan dalam Bab tujuan dan saran pada Peraturan Bupati Nomor 34/VII/2009. Revisi tersebut nampaknya dilakukan karena tujuan dan sasaran yang menjadi tambahan dalam perubahan RPJMD 2009 ditetapkan berdasarkan misi pemerintah daerah. Misi yang awalnya terdiri dari 10 point direvisi menjadi 5 point tanpa mengubah substansi yang ada dalam RPJMD tahun 2006. Meskipun demikian dalam Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban Akhir Masa Jabatan (LKPJ-AMJ) kedua-duanya ditampilkan sehingga membingungkan dalam melakukan analisa pencapaian visi-misi. Namun perubahan ini tidak menghilangkan substansi keduanya. Ke 5 misi tersebut, antara lain:

- Mendorong peningkatan kualitas SDM kelembagaan dan sumber daya aparatur dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan bebas KKN;
- Menciptakan iklim kondusif bagi kehidupan yang aman, damai, religius, dan inovatif serta implementasi pemberdayaan masyarakat
- Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dengan mengoptimalkan potensi unggulan dan mendorong tumbuhnya pusat-pusat ekonomi dan pengembangan kerja sama daerah;
- Meningkatnya prasarana dan infrastruktur pendukung ekonomi dan kualitas pelayanan dalam pemenuhan hak dasar masyarakat;
- Pelestarian Sumber Daya Alam (SDA), budaya, dan peninggalan sejarah.

d. Dalam laporan pertanggungjawaban ini, Kepala Daerah Kabupaten Bulukumba tidak menggambarkan capaian visi dan misinya berdasarkan dengan indikator-indikator sasaran dan target yang sudah ditetapkan sebelumnya melalui Peraturan Bupati Nomor 34/VII/2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam dokumen LKPJ akhir Masa Jabatan ini, Bupati bulukumba tidak menggambarkan visi dan misi tersebut tercapai atau tidak tercapai, berapa presentase capaiannya dan apa kendala-kendala yang dihadapi.

e. Dalam LKPJ akhir masa jabatan ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba hanya menampilkan capaian realisasi pelaksanaan program setiap tahunnya. Yang terdiri dari 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan ditambah dengan tugas pembantuan dan tugas umum pemerintahan. Sehingga terkesan LKPJ masa akhir jabatan ini hanya sekedar kumpulan program dari tahun ke tahun dengan capaian realisasi program rata-rata 80% – 90%. Apakah capaian realisasi program ini berkontribusi pada pencapaian visi dan misi di tahun 2010? Jawabannya seharusnya iya! Namun dalam LKPJ akhir masa jabatan ini tidak menampilkan pencapaian visi dan misi berdasarkan indikator yang sudah ditetapkan dalam RPJMD. Apakah capaian realisasi program tersebut berkontribusi pada pencapaian visi dan misi? Jawabannya dapat dilihat dalam analisa substansi pada bagian lain dalam dokumen hasil analisis ini.

Dalam menilai Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) masa akhir jabatan Bupati Bulukumba, KOPEL Sulawesi akan mengurai dan memberi penilaian berdasarkan visi-misi tersebut di atas.

(bersambung)

Minggu, 19 September 2010

REKOMENDASI KEBIJAKAN ATAS PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN GRATIS DI SULAWESI SELATAN (PERDA NO 4 TAHUN 2009)

Tulisan ini sebagai evaluasi atas program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh KOPEL Sulawesi

Pendidikan gratis di Sulawesi Selatan merupakan program prioritas Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008 – 2013. Program ini merupakan janji Gubernur terpilih saat PILKADA 2008 yang harus diimplementsikan selama periode kepemimpinannya. Implementasi janji tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Gubernur nomor 11 tahun 2008 dan pada tahun 2009, penyelenggaraan pendidikan gratis ini selanjutnya di-PERDA-kan melalui Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan. Pendidikan gratis adalah skema pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang ditanggulangi bersama oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota guna membebaskan atau meringankan biaya pendidikan peserta didik di Sulawesi Selatan.
Inisiasi pemerintah daerah tentang program pendidikan gratis tidak semata-mata untuk mengimplementasikan janji Gubernur Sulawesi Selatan dalam PILKADA 2008 yang lalu, akan tetapi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa kewenangan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Sementara dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional tahun 2003, beberapa pasal yang lebih rinci mengatur masalah ini, antara lain:
1. Pasal 5 ayat 1
Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
2. Pasal 5 ayat 5
Setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat;
3. Pasal 34 ayat 2
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya;
4. Pasal 46 ayat 2
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat 4 UUD Negara RI tahun 1945.
Dalam undang-undang tersebut di atas menjelaskan bahwa kebutuhan akan pendidikan yang bermutu dan bebas dari pungutan menjadi kewajiban bagi negara untuk dipenuhi demi kepentingan warga negara. Oleh karena itu, Perda nomor 4 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan adalah tepat. Namun pelaksanaan Perda kadang mendapatkan hambatan dengan kenyataan di lapangan. Masalah kemudian muncul, baik di masyarakat, Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun di penyelenggara pendidikan sendiri.
KOPEL Sulawesi memandang bahwa niat baik pemerintah propinsi Sulawesi Selatan melalui PERDA Nomor 4 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan gratis ini perlu mendapat apresiasi dari semua pihak, termasuk memberikan masukan-masukan perbaikan yang dapat mendorong implementasi Perda ini agar berjalan dengan baik. Melalui task force (gugus tugas) pelayanan publik yang dibentuk oleh KOPEL yang terdiri dari unsur Partai Politik, NGO, akademisi, dan pelaku usaha telah melakukan kajian atas pendidikan gratis di Sulawesi Selatan. Atas hasil diskusi dan kajian terhadap PERDA ini, beberapa rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
2. Mutu Pendidikan
3. Komisi Pengawas Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Ketiga rekomendasi kebijakan tersebut di atas, dapat kami paparkan sebagai berikut:
1. Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.

Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah penyelenggara pendidikan membutuhkan anggaran yang begitu besar. Tidak hanya keperluan anak sekolah yang harus ditanggulangi, akan tetapi operasional, perbaikan fasilitas dan sejumlah kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang harus ditutupi. Sementara anggaran pendidikan gratis yang dikucurkan oleh pemerintah daerah sangat terbatas. Dengan anggaran yang terbatas dari subsidi pendidikan gratis yag dikucurkan oleh pemerintah daerah, membuat penyelenggara pendidikan keteteran.

Asumsi yang terbangun di masyarakat bahwa pendidikan gratis tidak lagi ada pungutan kepada siswa/orang tua siswa dalam bentuk apapun. Di pihak lain subsidi pemerintah daerah melalui pendidikan gratis sangat terbatas, praktis penyelenggara pendidikan harus mencari pudi-pundi lain untuk menutupi kekurangan anggaran. Penyelenggara pendidikan diharapkan mencari sumber pembiayaan lain selain subsidi dari pemerintah daerah.

Dalam PERDA No 4 tahun 2009 sinyal itu sudah ada, khususnya pada pasal 10 ayat (6), namun jalan keluar yang ditempuh dalam pasal ini adalah pungutan dapat dilakukan dari peserta didik atas persetujuan orang tua murid melalui Komite Sekolah. Dalam konteks ini, ada pertentangan atas Perda ini antara keinginan untuk menggratiskan peserta didik dengan ketidakmampuan pihak sekolah membiayai penyelenggaraan pendidikan. Wajar jika orang tua murid banyak yang protes “Katanya pendidikan gratis, tapi mengapa masih ada yang harus dibayar”.

Harusnya pasal dalam Perda ini menegaskan bahwa pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di luar subsidi gratis pemerintah tidak dibebankan kepada peserta didik. Perda ini perlu menegaskan kepada penyelenggara pendidikan yang masih memiliki komponen lain yang harus dibiayai untuk kreatif mencari sumber pembiayaan di luar subsidi gratis pemerintah daerah. Penyelenggara pendidikan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud dapat berupa:
• Corporate (perusahaan/BUMN/BUMD) melalui dana CSR (Corporate Social Responsibility).
• Peranserta individu/kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan financial dan peduli terhadap pengembangan pendidikan.

Masukan tersebut di atas adalah jalan keluar untuk mengatasi keterbatasan anggaran bagi penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, pasal 10 khususnya ayat (6) dan (7) Perda No. 4 Tahun 2009 agar dipertimbangkan untuk dihapus. Masukan sumber pembiayaan lainnya dapat dipertegas dalam BAB IX Pasal 14 tentang sumber pembiayaan. Penegasannya dapat dilakukan dengan merevisi pasal tersebut dan memasukkan pengaturannya dengan tegas (untuk tidak mengatakan sedikit memaksa) tentang kreatifitas penyelenggara pendidikan untuk dapat bekerja sama dengan corporate dan atau individu/kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan financial dan peduli terhadap pengembangan pendidikan ke dalam batang tubuh PERDA.

2. Mutu Pendidikan

Sejatinya Perda Penyelenggaraan Pendidikan Gratis tidak sekedar mendorong penyelenggara pendidikan untuk membebaskan anak didik dari segala pengutan, akan tetapi PERDA ini juga penting mengatur tentang peningkatan mutu pendidikan.

Dalam Pasal 12 ayat (3) menjelaskan bahwa “Subsidi pembiayaan dari pemerintah daerah dimaksudkan untuk perluasan kesempatan belajar bagi seluruh anak usia sekolah dan peningkatan mutu penyelenggaraan dan mutu luaran/lulusan”. Pasal 10 ayat (3) dan (4) menyebutkan “Sekolah swasta dan pesantren yang menolak menyelenggarakan pendidikan gratis wajib menjamin mutu proses belajar mengajar dan standar mutunya diatur dalam peraturan gubernur”. Konteks dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (3) dan (4) ini menginformasikan kepada kita bahwa subsidi pembiayaan gratis dari pemerintah daerah dimaksudkan untuk peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan dan mutu luaran/lulusan. Namun dengan subsidi yang terbatas dari pemerintah daerah diperparah dengan persepsi masyarakat tentang “pendidikan gratis” yang menganggap semuanya harus digratiskan membuat penyelenggara pendidikan terbebani. Antara perintah PERDA dengan desakan kuat dari masyarakat tentang pendidikan gratis membuat penyelenggara pendidikan tertekan dan tak mampu berbuat apa-apa. Termasuk memikirkan mutu pendidikan dan keluaran/lulusan anak didik.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam Perda No. 4 tahun 2009 yang mengatur tentang mutu pendidikan hanya beberapa pasal, antara lain Tujuan, sasaran, dan pengawasan:
- BAB IV Pasal 7 tentang tujuan penyelenggaraan pendidikan gratis, yakni point (b) “Meningkatkan mutu penyelenggaraan dan lulusan”; dan point (d) “Meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggara pendidikan gratis untuk memenuhi mutu dan produktivitas sumber daya manusia yang unggul”.
- Pasal 10 ayat (3) dan (4) “Sekolah swasta dan pesantren yang menolak menyelenggarakan pendidikan gratis wajib menjamin mutu proses belajar mengajar dan standar mutunya diatur dalam peraturan gubernur”.
- Pasal 25 “Pengawasan diharapkan dapat mengefektifkan penggunaan dan pemanfaatan dana subsidi dan peningkatan mutu lulusan penyelenggaraan pendidikan gratis”

Bila dilihat dari tujuan Perda tentang mutu pendidikan yang diharapkan tercapai begitu mulya (pasal 7 point b dan d), namun tak satupun pasal dalam Perda ini yang mengatur tentang bagaimana penyelenggara pendidikan didorong untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan dan luaran/lulusan peserta didik. Apa sebab? Setelah ditelusuri pasal demi pasal dalam PERDA ini, ada asumsi yang terbangun bahwa sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis sudah dijamin mutunya padahal belum tentu, sementara sekolah yang menolak, standar mutunya akan diatur dalam peraturan gubernur (pasal 10 ayat 3 dan 4).

Ada beberapa aspek yang mendukung terselenggaranya pendidikan yang bermutu, antara lain pembiayaan, cara dan metode, serta kapasitas pengajar/guru. Dari segi pembiayaan, jelas subsidi pemerintah daerah dalam pendidikan gratis ini tidak bisa mencukupi seluruh pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis. Sementara cara, metode, dan kapasitas tenaga pengajar/guru sama sekali tidak disinggung dalam Perda ini.



3. Komisi Pengawas Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.

Penyelenggaraan pendidikan gratis oleh sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis penting untuk diawasi. Banyaknya masalah yang dihadapi baik oleh penyelenggara pendidikan, pemerintah kabupaten/kota maupun komplain dari orang tua siswa yang mengharuskan penyelenggaraan pendidikan gratis perlu pengawasan yang ketat.

Dalam Perda No. 4 tahun 2009 komisi ini telah diatur dalam Bab tersendiri yakni BAB XV tentang Komisi Pengawasa Penyelenggaraan Pendidikan Gratis dalam 3 pasal yakni pasal 23, 24, dan 25. Namun dalam pengawasan ini ada beberapa catatan:
- Komisi Pengawas yang diatur dalam PERDA ini menuntut adanya anggaran operasioanal untuk memonitoring pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan gratis di 23 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan. Mengingat anggaran yang dibutuhkan lembaga ini tidak sedikit, maka perlu mempertimbangkan efektifitas keberadaan komisi ini.
- Dipahami bahwa prioritas subsidi pemerintah daerah untuk pembentukan PERDA ini adalah sekolah penyelenggara pendidikan gratis, maka sejatinya pemerintah daerah menimalkan pembengkakan anggaran selain kepada penyelenggara pendidikan gratis. Untuk pengawasan penyelenggaraan pendidikan gratis, pemerintah daerah dapat memberdayakan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah serta DPRD dengan fungsi pengawasannya.
Demikianlah rekomendasi ini dibuat, semoga menjadi catatan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan untuk perbaikan regulasi dan kebjikan atas penyelenggaraan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan.

Makassar, 16 Juli 2009
Gugus Tugas pelayanan Publik - KOPEL Sulawesi

Kamis, 26 Agustus 2010

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian Kedelapan (terakhir)

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan


Bobot perdebatan

Dalam hal-hal yang kecil seperti penggunaan kalimat dan peletakan tanda-tanda baca dalam PERDA lebih banyak disoroti oleh anggota DPRD pada saat pembahasan PERDA, sehingga kemudian pembahasan menjadi lama dan terfokus pada hal-hal yang kecil sementara hal-hal yang lebih subtansial terlewatkan. Anggota DPRD lebih tertarik untuk mempermasalahkan kalimat dan tanda baca karena kalimat dan tanda baca lebih mudah dipertanyakan ketimbang masuk pada substansi permasalahan.

Selain itu anggapan mereka bahwa kalimat dan kata-kata dalam PERDA bisa saja memiliki tafsir beragam yang dapat merugikan kepentingan politik mereka dan partainya menyebabkan anggota DPRD lebih berhati-hati menempatkan kata-kata dan tanda baca. Situasi ini lebih banyak berpengaruh pada masalah waktu dan substansi permasalahan. Karena pembahasan PERDA yang lebih banyak mengangkat masalah kalimat dan tanda baca ini berimplikasi pada waktu yang molor sampai berhari-hari dan juga masalah substansi yang tidak lagi tersentuh secara baik. Padahal yang lebih penting untuk dibicarakan adalah substansi dari PERDA itu sendiri.

Kasus ini lebih banyak terlihat pada saat pembahasan PERDA transparansi dan partisipasi, dimana terjadi banyak perubahan kata-kata yang kemudian melemahkan kekuatan hukum PERDA itu sendiri. Selain itu, juga tampak pada pembahasan PERDA kelembagaan desa dan PERDA ADD. Dalam pembahasan PERDA ini anggota DPRD lebih banyak melihat pada sisi kesesuaian antara PERDA-PERDA ini dengan aturan-aturan yang ada diatasnya ketimbang menggali aspek-aspek yang lebih penting dan perlu diatur dalam PERDA terkait dengan kepentingan masyarakat desa.

Kesetaraan dalam perdebatan

Dalam pembahasan RANPERDA di DRPD, dominasi fraksi-fraksi besar seperti Golkar, PPP dan PDI masih terjadi.

Pada tahun 2004-2007, fraksi di DPRD hanya 2 yaitu fraksi Golkar dan Fraksi Pembaharuan yang terdiri dari semua partai selain Golkar yang ada ada di parlemen Bulukumba. Fraksi Golkar lebih mudah dan cepat mengkonsilidasikan kepentingannya dibanding dengan fraksi gabungan yang terdiri berbagai macam kepentingan karena adanya partai yang beragam sehingga sulit mengusung isu yang lebih baik.

Penggunaan hak bicara dalam forum lebih banyak digunakan dalam forum oleh fraksi besar dibanding dengan fraksi-fraksi yang kecil. Keberadaan fraksi gabungan juga tidak secara signifikan memberikan pengaruh terhadap munculnya kesetaraan dalam pembahasan karena di fraksi gabungan sendiri terkadang tidak memiliki kebersamaan dalam menyuarakan satu hal sehingga akhirnya menjadi suara masing-masing partai. Sementara itu, peran-peran kelompok masyarakat yang berbasis pada satu sektor misalnya forum kepala desa, asosiasi sopir, kelompok petani dan lain-lainnya belum melihat pentingnya memberikan tekanan kepada anggota DPRD terkait dengan kepentingan sektor di masyarakat. Padahal kelompok-kelompok masyarakat lebih banyak bersuara kritis tentang tidak efektifnya sebuah PERDA, seperti PERDA retribusi dan PERDA kelembagaan desa yang dirasakan memberatkan masyarakat pada pelaksanaannya.

Untuk aspek selain seperti dominasi kelompok laki-laki juga terjadi pada proses pembahasan yang terkait dengan isu-isu kesetaraan gender, terutama masalah keperempuanan. Masalah keperempuanan dalam beberapa proses pembahasan PERDA sangat jarang dimunculkan karena dari kalangan anggota DPRD sendiri yang tidak menganggap penting, kalaupun sempat menjadi perbincangan, isu itu pada akhirnya menjadi mental kembali karena lemahnya kekuatan politik yang mendorongnya kepermukaan. Salah satu faktor yang membuat lemahnya posisi politik perempuan di DPRD Bulukumba karena jumlah anggota DPRD dari kalangan perempuan hanya 1 orang selama rentang waktu 2004 hingga 2007. Selain itu, kekuatan pressure dari luar DPRD yang biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat dan LSM belum efektif berjalan karena tidak adanya kelompok yang secara fokus menyuarakan isu-isu keperempuanan.

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian Ke tujuh

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

2.2.2 Perdebatan


Wacana

Dalam kasus lahirnya PERDA di Bulukumba dalam rentang waktu 2004 hingga 2007 perbincangan yang banyak mengundang reaksi dari masyarakat, eksekutif dan legislatif hanyalah masalah pengaturan tentang transparansi dan partisipasi dalam pemerintahan. Setelah adanya isu tentang perlunya pengaturan tentang transparansi dan partisipasi masyarakat menganggap ini sangat penting untuk di dorong karena selama ini situasi yang transparan dan partisipatif masih susah ditemui di Bulukumba. Di tingkat DPRD sendiri wacana ini disambut dengan baik walaupun beberapa anggota dewan masih memberikan catatan tentang batasan-batasan partisipasi dan transparansi yang akan diatur tersebut. Pada awal munculnya wacana ini, respon masyarakat sangat beragam bahkan di beberapa kalangan kurang diterima dan resistens, terutama aparat Pemda sendiri dan Anggota-angota DPRD. Tapi kemudian semua pihak menyadari bahwa ini sudah menjadi sebuah spirit jaman dimana pemerintahan harus transparan dalam pengelolaan kebijakan publik, misalnya anggaran, PERDA-PERDA retribusi, itu sudah menjadi bagian kesadaran masyarakat sehingga tidak boleh lagi ditutup-tutupi.

Pada PERDA-PERDA lainnya seperti PERDA tentang desa dam retribusi hampir tidak ditemukan adanya perdebatan yang signifikan dimasyarakat dan dikalangan eksekutif dan anggota legislatif. Rata-rata perdebatan itu baru kemudian muncul dalam proses pembahasan. Misalnya saja dalam pembahasan PERDA retribusi muncul perbedaan taksiran antara Pemerintah daerah dalam hal ini Dispenda dengan anggota DPRD dalam hal target capaian PAD yang wajar untuk tahun 2007. Begitu pula pada pembahasan tentang PERDA Kedudukan Keuangan DPRD dimana muncul perdebatan antara anggota DPRD dan Bagian Hukum tentang besaran jumlah tunjangan komunikasi insentif.

Metode pembahasan

Untuk setiap pembahasan PERDA, DPRD Bulukumba selalu diikuti oleh Notulensi sehingga perubahan-perubahan materi bab/pasal/ayat tetap terdokumentasi di notulen. Cuma saja di dalam notulen itu tidak dilakukan pengelompokan atau membuat Daftar Inventarisasi Masalah untuk memudahkan penyusunan berikutnya. Dalam setiap pembahasan biasanya staf-staf sekwan kurang mengetahui pentingnya notulensi itu dan juga kurang memahami tentang tugas pokok para staf-staf tersebut pada saat pembahasan. Hal ini dapat dilihar dari kurang lengkap dan tidak sistematisnyanya catatan mereka. Bahkan hal-hal penting yang semestinya tercatat dari studi banding anggota dewan tidak tersedia di sekretariat apalagi pada saat pembahasan. Sementara untuk naskah akademik hanya PERDA Transparansi saja yang disertai Naskah Akademik. Selama ini dia tidak pernah ada Naskah Akademiki di DPRD, hanya PERDA Transparansi saja yang memiliki kelengkapan tersebut. Karena tidak ada NA, maka pemda dan DPRD pada tahun 2006 menyediakan staf ahli yang mereka hadirkan pada saat pembahasan dan menurut pengakuan Biro Hukum staf ahli ini sering dimintai masukan untuk penyusunan PERDA. Namun pada tahun 2007 staf ahli ditiadakan lagi karena dipandang tidak efektif bekerja dan anggaran yang tersedia juga tidak mencukupi untuk membayar staf ahli. Untuk pembahasan PERDA secara umum mereka memandang lebih efektif jika mengkonsultasikannnya ke Mendagri atau ke Pemerintah Daerah Propinsi karena itu sifatnya hanya penyesuaian saja dengan aturan-aturan yang ada di atasnya. Sementara dalam hal-hal yang tidak terlalu urgen untuk dikonsultasikan, DPRD lebih banyak bertanya kepada Biro Hukum sehingga dalam setiap pembahasan Biro Hukum selalu dihadirkan dalam pembahasan untuk memberikan keterangan tentang aturan-aturan yang menjadi acuan sebuah PERDA.

Metode pengambilan keputusan

Dari segi metode pengambilan keputusan dalam proses pembahasan PERDA, DPRD lebih banyak menggunakan metode aklamasi yang didahului dengan pembahasan lebih awal. Diantara PERDA-PERDA yang lahir sejak tahun 2004 baik itu PERDA retribusi, kelembagaan desa dan PERDA transparansi semuanya melalui pembahasan di tingkat DPRD. Pembahasan di DPRD sendiri dilakukan secara bertingkat yaitu didahului dengan pandangan umum fraksi dan kemudian di bawah pada pembahasan pansus dan setelah itu dibahas dalam tingkat pleno.

Dalam prakteknya untuk pembahasan RANPERDA DPRD lebih banyak menggunakan metode diskusi pleno yang dilanjutkan dengan aklamasi. Sementara metode voting sangat jarang digunakan. Bahkan untuk pembahasan RANPERDA sejak tahun 2004 tidak pernah dilakukan.

bersambung....

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian keenam

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Kelompok keahlian yang terlibat

DPRD tidak memiliki staf ahli yang akan mendukung kerja-kerja DPRD. Sehingga dalam pembahasan RANPERDA bersama eksekutif tidak ada kelompok ahli yang dilibatkan. Pelibatan kelompok ahli yang biasanya adalah akademisi hanya dilibatkan pada saat penyusunan RANPERDA oleh eksekutif dan para akedemisi itu dilibatkan hanya sebatas konsultasi saja.

Jadi DPRD dalam melakukan pembahasan, yang dilibatkan hanya Bagian Hukum dan SKPD yang terkait dengan PERDA tersebut. Biasanya ketika pembahasan mengalami hambatan, maka solusi yang seringkali dilakukan adalah studi banding ke daerah yang sudah mengatur atau berhubungan dengan materi PERDA tersebut atau yang paling sering dilakukan adalah konsultasi dengan pemerintah pusat di Jakarta.

Sifat rapat

Rapat-rapat pada pembahasan RANPERDA bersifat terbuka, namun informasi bahwa ada pembahasan RANPERDA di DPRD tidak terpublikasi ke masyarakat secara luas, biasanya yang mengakses informasi RANPERDA tersebut pada saat pembahasan adalah para wartawan atau LSM yang kebetulan sementara berada di Gedung DPRD. Jarang sekali masyarakat datang ke DPRD dengan tujuan ingin mengetahui proses pembahasan RANPERDA. Mungkin karena tidak merasa ada kepentingan secara langsung terkait PERDA yang dibahas tersebut. Pemerintah Daerah menganggap pelibatan masyarakat sudah cukup pada saat diadakan sosialisasi RANPERDA di kecamatan- kecamatan.

Forum-forum publik yang diselenggarakan

PERDA Transparansi adalah PERDA yang dianggap cukup sempurna dalam proses sebuah penyusunan PERDA. Pelibatan stakeholer sangat berperan. Ini dapat dilihat dari proses penyusunannya. Penyusunan PERDA ini diawali dengan adanya pembentukan pokja transparansi dan partisipasi. Pokja inilah yang melakukan pengkajian dan diskusi. Pada proses berikutnya, eksekutif bersama pokja melakukan beberapa kali forum diskusi atau konsultasi publik dalam rangka penyempurnaan RANPERDA tersebut.

Meskipun PERDA ini merupakan inisiasi dari program P2TPD yang dibiayai oleh Bank Dunia, namun dikalangan stakeholder PERDA ini dipandang sangat dibutuhkan untuk melakukan perbaikan kinerja di birokrasi pemerintahan yang gencar-gencarnya disoroti. Walaupun dalam proses kemunculannya ada kesan bahwa PERDA ini dilakukan karena ‘terpaksa’.

Selain PERDA transparansi ini, diantara PERDA-PERDA yang ada di Bulukumba tidak ada yang melalui proses konsultasi publik sebelumnya, yang ada hanya sosialisasi RANPERDA di 10 kecamatan yang dilakukan oleh Bagian Hukum pada saat sebelum diserahkan ke legislatif untuk dibahas. Kegiatan sosialiasi ini pun kesannya hanya formalitas, karena yang diundang bukan kelompok yang berkaitan langsung dengan PERDA tersebut. Kebiasaan yang terjadi pada saat sosialiasi bahwa PERDA apapun itu yang diundang dalam sosialisasi adalah masyarakat yang sama, hal itu disebabkan karena kegiatan tersebut hanya formalitas dan menggugurkan kewajiban saja bahwa RANPERDA itu telah disosilisasikan. Sehingga kelompok-kelompok masyarakat yang terkait langsung dengan pelaksanaan PERDA tersebut tidak mengetahui kalau ada PERDA yang berhubungan profesi mereka.

Terkait dengan sosialisasi, pemerintah dalam hal ini tidak melakukannya secara merata, sehingga kalangan masyarakat kurang mengetahui persis isi dari PERDA-PERDA bahkan ada masyarakat yang tidak mengetahui tentang adanya PERDA yang baru ditetapkan. Misalnya pada komunitas pasar dan terminal, pada umumnya mereka tidak mengetahui kalau ternyata sudah ada PERDA yang baru mengenai retribusi terminal. Hal ini ini terjadi karena pemerintah Bulukumba pada saat RANPERDA disusun atau setelah PERDA ditetapkan, sosialisasinya tidak maksimal. Kegiatan tersebut hanya dilakukan di kantor-kantor kecamatan dengan peserta yang tertentu dan terbatas. Seharusnya sosialisasi itu dilakukan di lokasi stakeholder atau elemen yang diatur oleh PERDA berada, seperti terminal atau pasar.

bersambung ....