Jumat, 20 Agustus 2010

KAJANG DAN TRANSFORMASI NILAI BUDAYA

Oleh: Herman
(Bagian kedua dari dua tulisan/terakhir)

Ketaatan Pada Hukum dan Aturan

Masyarakat Kajang adalah masyarakat yang taat pada hukum dan aturan adat. Jika seseoarang melakukan pelanggaran, maka sipelanggar harus berurusan dengan pemangku adat. Tidak ada yang harus ditutup-tutupi bagi sipelanggar, karena semakin dia berbohong maka semakin berat hukuman yang diterima. Bukan hanya hukuman berupa denda, akan tetapi hukuman sosial atau dikucilkan. Bahkan bagi sipelanggar yang tidak mau mengakui kesalahannya padahal bersalah, maka si pelanggar akan menerima konsekwensinya. Konsekuensi tersebut berupa kegaiban-kegaiban yang muncul bagi sipelanggar yang secara psikis dapat mempengaruhi dirinya, misalnya sakit yang tak berkesudahan. Bahkan bila pelanggaran yang sangat berat, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan.

Coba kita berkaca pada penegakan hukum yang ada sekarang, semuanya tidak memberi efek jera pada mereka yang melanggar. Dengan ancaman yang dapat dilihat atas pelanggaran yang dibuat, maka hukum dapat tegak dan ditatati. Penegakan hukum bukan hanya menghukum para pelanggarnya, akan tetapi juga memiliki keterkaitan terhadap keseimbangan ekologis antara manusia dengan alam sekitar. Sehingga masyarakat taat kepada hukum dan aturan bukan hanya karena takut terhadap sanksi tetapi juga karena kesadaran masyarakat. Kesadaran itu muncul karena keyakinan mereka atas kehendak Tuhan yang akan mendatangkan bencana bagi manusia jika aturan dan hukum dilanggar.

Perempuan dan Makna Sebuah Kepemimpinan

Ketika orang mengesampingkan peran seorang perempuan dalam kepemimpinan, maka tidak demikian halnya dengan masyarakat Kajang dalam memilih seorang pemimpin. Pemimpin adat masyarakat Kajang disebut dengan Amma Toa . Proses pemilihan Amma Toa tidak sama dengan pemilihan kepala desa atau bupati yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Persiapannya kurang lebih 3 tahun lamanya yang puncak pemilihannya dilakukan dalam sebuah acara yang disebut pa’nganro . Acara ini dilaksanakan di tengah hutan yang pelaksanaannya dilakukan selama 3 hari 3 malam. Di hari terakhir prosesi inilah peran seorang perempuan sangat menentukan. Anronta ri Pangi seorang perempuan yang dituakan yang akan menentukan pemimpin adat Kajang. Dalam ketentuan adat, siapa yang diberikan pa’mamang oleh Anronta ri Pangi dialah yang diangkat menjadi Amma Toa sebagai pemimpin adat masyarakat Kajang.

Panjangnya prosesi untuk kembali memilih pemimpin adat ketika pemimpin adat Amma Toa sebelumnya mangkat bukan tanpa alasan. Seorang pemimpin harus teruji, terutama kemampuannya untuk memimpin masyarakat serta kezuhudannya pada Tuhan dan ketaatan pada ketentuan-ketentuan hukum dan aturan. Pa’nganro yang dilakukan selama 3 hari 3 malam hanya untuk berdoa menunggu wangsit atau tanda-tanda langit - siapa sebenarnya kandidat Amma Toa yang dikehendaki oleh Turia’ra’na. Siapa yang natora pangngellai (yang dikehendaki Tuhan) dialah yang akan diberikan pa’mamang oleh Angronta ri Pangi. Tingkat spiritualitas para calon Amma Toa selama 3 tahun sudah diuji, maka acara pa’nganro ini untuk menentukan siapa di antara mereka yang terpilih atas kehendak Tuhan.

Nilai-Nilai Itu Mulai Terkikis, Apa Sebab?

Dari awal tulisan ini dijelaskan bahwa nilai budaya masyarakat adat Kajang yang terjaga sejak turun temurun dapat terkikis diakibatkan oleh adanya pengaruh dari luar yang dapat mengaburkan atau menghilangkan keaslian budaya masyarakat Kajang. Proses interaksi masyarakat adat yang ada dalam kawasan adat Kajang (lalang embaya) dengan masyarakat di luar kawasan adat (pantarang embaya) adalah salah satu penyebab nilai-nilai tradisi itu mulai terkikis. Apa yang selama ini dijaga karena disakralkan oleh adat, sekarang ini lambat laun mulai redup, bahkan tak sedikit ditentang.

Untuk melihat nilai-nilai yang sebelumnya begitu disakralkan, ada baiknya kita simak kutipan tulisan Ilham Hamudy, peneliti Litbang Departemen Dalam Negeri tentang politik masyarakat Kajang. Tulisan ini dibuat saat wawancara dengan salah satu informan terkait dengan prosesi pemilihan Amma Toa yang mengakibatkan terjadinya dualisme kepemimpinan adat di Kajang.

Hari itu dini hari pertengahan Maret 2003. Saya (informan) lupa tanggal persisnya kapan. Kami mengadakan pa’nganro untuk memilih Amma Toa yang baru. Saat itu, calon Amma Toa hanya dua orang, Puto Bekkong dan Puto Palasa. Prosesi acara berlangsung tiga hari tiga malam. Saya mengikuti semua rangkaian acara bersama beberapa kepala desa yang lain. Sepanjang umur saya, baru kali ini saya mengikuti pa’nganro. Tidak sembarang orang diperkenankan mengikuti prosesi sakral itu. Kalau tidak cukup “ilmu”, tidak bisa ikut. Kalau memaksakan ikut, biasanya sepulang dari acara pa’nganro, yang bersangkutan bisa meninggal, atau minimal gila. Suasana pa’nganro memang lain. Sangat khidmat dan penuh mistik. Pemilihan Ammatoa, dilakukan di dalam hutan (pa’rasangang i lau’) berlangsung pada malam ketiga. Saya merasakan hal yang janggal pada malam itu. Orang-orang berkumpul secara berkelompok terpisah satu dengan lainnya. Padahal, pada malam-malam sebelumnya berbaur saja. Saya dan beberapa kepala desa lainnya, menepi di sudut lapangan pertemuan.

Saya makan sedikit dan minum, karena lapar dan haus. Saat makan dan minum itu, saya memerhatikan, Pak Dewan hilir mudik dan sesekali berbicara serius dengan seseorang, nadanya sangat pelan. Pemandangan itu saya lihat berkali-kali. Orang yang berbicara dengan Pak Dewan terlihat tegang setiap kali melaporkan sesuatu kepada Pak Dewan. Setelah melapor, ia kembali lagi ke kerumunan massa yang mengikuti prosesi. Selepas makan dan minum, kami kembali ke tengah lapang untuk mengikuti prosesi. Singkat cerita, pada rangkaian puncak pemilihan, Anrongta ri Pangi memberikan pa’mamang (semacam piring dengan sesaji khusus) kepada Puto Bekkong. Menurut aturan adat, barang siapa yang diberikan pa’mamang oleh Anrongta ri Pangi, maka dialah yang berhak melanjutkan prosesi pengambilan sumpah sebagai Ammatoa. Namun, ketika Anrongta ri Pangi memberikan pa’mamang kepada Puto Bekkong, Puto Palasa berdiri dan berkata, “Kenapa bukan saya yang diberikan pa’mamang? Bukankah saya adalah pejabat Ammatoa. Nupakasiri’ka punna teai nakke anjari Ammatoa (kamu bikin malu saya kalau bukan saya yang terpilih sebagai Ammatoa),” ujar Puto Palasa dengan suara yang lantang sembari mengambil parang, diikuti pengikutnya. Mendapati hal itu, Anrongta ri Pangi bersikukuh dengan pendiriannya. Tetapi Puto Palasa terus mendesak seraya mengancam akan terjadi pertumpahan darah pada malam itu, andaikata bukan dia yang terpilih sebagai Ammatoa. Akhirnya, dengan penuh kesabaran, Puto Bekkong, yang juga paman Puto Palasa, mengalah. “Kalau itu memang maumu, saya mengalah. Silakan kamu saja yang menjadi Ammatoa. Saya tidak mau ada perpecahan dan pertumpahan darah di antara kita,” kata Puto Bekkong. Anrongta ri Pangi tidak bisa berbuat apa-apa, menuruti semua kehendak Puto Palasa. Pak Dewan yang berada di samping saya menyunggingkan seulas senyum. Mimiknya terlihat senang karena Puto Palasa yang terpilih sebagai Ammatoa .


Apa yang diceritakan informan tersebut di atas, bukanlah isapan jempol semata. Mengalahnya Puto Bekkong, tidak serta merta menyelesaikan pertentangan di antara keduanya. Para pendukung Puto Bekkong, tidak mau terima dengan terpilihnya Puto Palasa sebagai Ammatoa. Sebenarnya, kalau pelantikan Ammatoa itu seperti demokrasi yang lazim dipraktikkan banyak orang dengan menggunakan suara terbanyak, tentu Puto Bekkonglah yang menjadi Ammatoa. Sebab, massa beliau lebih banyak, tersebar di pelbagai desa di Kecamatan Kajang. Tetapi, pelantikan Ammatoa tidak seperti pemilihan kepala desa atau bupati.

Peristiwa tersebut di atas menggambarkan kepada kita betapa nilai-nilai sakral yang ada dalam tradisi masyarakat Amma Toa dapat bergeser karena intervensi politik yang biasa terjadi dalam Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Tradisi pemilihan Amma Toa tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, yang semua pengikut masyarakat adat tunduk pada sang pemimpin yang dipilih atas kehendk Turia’ra’na. Pergeseran ini terjadi karena masyarakat kawasan adat sudah banyak berinteraksi dengan masyarakat luar yang pola perilaku dan pikirnya mulai mempengaruhi hidup keseharian masyarakat adat Kajang.