Jumat, 08 Juli 2011

TAK SEKEDAR MENILAI ANGKA-ANGKA, ADVOKASI ANGGARAN ADALAH KERJA-KERJA POLITIK

by: Herman

Dibawakan pada materi kuliah OL di Akademi KOPEL Indonesia

Mengawali kuliah kita untuk advokasi anggaran kali ini, saya akan memulainya dengan materi yang sederhana, tapi juga akan menggugah nyali anda untuk tetap bertahan mengikuti kuliah saya pada pekan-pekan selanjutnya terkait dengan advokasi anggaran. Kenapa saya katakana demikian? karena berbicara anggaran adalah berbicara tentang angka-angka dalam APBD. Bukunya tebal, dan isinya adalah angka-angka. Membacanya sungguh membosangkan (jika itupun anda paham), karena di dalamnya tak ada gambar, tak ada cela untuk membuat otak anda refresing. Oleh karena itu, saya akan memulainya dengan hal-hal yang sederhana yang semua aktivis (apapun background anda) dapat memahaminya. Soal angka-angka, cara cepat membaca dan analisanya kita akan ketemu pada pertemuan pekan-pekan selanjutnya.

Mari Kita Mulai dengan Kata “Advokasi”

Materi kuliah kali ini, saya awali dengan kata “advokasi”. Istilah advokasi lekat sekali dalam profesi hukum, menurut bahasa Belanda, advokasi itu berasal dari kata “advocaat” atau “advocaateur” yaitu pengacara atau pembela. Dalam bahasa Inggris, advokasi berasal dari kata “to advocate” yang artinya membela. Dalam konsep para aktivis, advokasi tidak hanya membela atau mendampingi masyarakat bawah, melainkan pula bersama-sama melakukan upaya-upaya perubahan sosial secara sistematis dan strategis.

Advokasi mudah sekali dilakukan, asalkan saja advokasi harus terorganisir dengan baik, dan jelas pembagian kerjanya, tak hanya itu saja bila kita siap ber-advokasi maka harus siap pula menanggung resiko yang ada karena setiap advokasi selalu ada yang menjadi korban, maksudnya korban disini ialah orang yang terkena masalah karena kerja-kerja advokasinya. Bisa berlawanan dengan kekuasaan, kebijakan yang menindas dll. Ujung-ujungnya anda bisa kena pencemaran nama baik, intimidasi (baik psikis maupun fisik), bahkan nyawa anda bisa melayang.

Memaknai Advokasi Anggaran Sebagai Kerja-Kerja Politik

Proses penyusunan, pembahasan, pelaksanaan sampai kepada pertanggungjawaban anggaran adalah sebuah siklus tahunan pemerintah daerah bersama dengan DPRD dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Proses dalam siklus anggaran ini adalah sebuah peristiwa politik. Upaya untuk mengubah anggaran dalam setiap siklusnya kepada yang lebih baik merupakan sebuah peristiwa politik. Oleh karena itu jika kita melakukan sebuah advokasi anggaran, sebenarnya kita sedang melakukan kerja-kerja politik. Namun sangat disayangkan, sebagian aktivis atau pegiat anggaran tidak memaknainya demikian. Bukan hanya kurang dipahami, namun sampai pada tingkat tertentu para aktivis advokasi anggaran masih mengidap penyakit “alergi” politik. Sering kita dengar ungkapan, “ini wilayah politik, kita jangan masuk, kita harus menjaga jarak”, dan seterusnya.

Bila kondisinya terus menerus seperti ini, maka bagaimana mungkin kita dapat melakukan perubahan, atau bagaimana kita dapat melakukan advokasi anggaran kalau kita sendiri mempresepsikan advokasi anggaran sebagai kerja-kerja teknis belaka ataupun kita alergi terhadap sesuatu yang berbau politik? Semoga kita tidak berpresepsi demikian.

Kerja-Kerja Politik dalam Advokasi Anggaran

Ada banyak macam bentuk kerja-kerja politik dalam melakukan advokasi anggaran. Kerja-kerja politik tersebut tentu saja dalam rangka mempengaruhi kebijakan anggaran yang kewenangannya hanya dimiliki oleh Pemerintah dan legislative. Bila kita sudah mengetahui bahwa kebijakan penentuan program dan kegiatan setiap SKPD, besarnya alokasi anggaran, tempat pelaksanaan (proyek) anggaran, dan pelaksana program/kegiatan (proyek), adalah mereka yang dekat dengan penentu kebijakan, maka sudah barang tentu merekalah yang paling bisa dipastikan mengetahui, bahkan “memangsa” anggaran tersebut. Lantas bagaimana dengan masyarakat bawah, terpinggirkan, termarginalkan, atau kaum duafa? Siapa yang akan membela mereka? Siapa yang akan memperjuangkan mereka agar anggaran tersebut berpihak kepadanya?

Anggaran layaknya sebuah kue. Ia adalah “kue” pembangunan yang semua orang berkeinginan untuk mencicipinya. “Saya yang merencanakan dan menyusun anggaran, masa saya harus kasih orang lain”? Kata Gubernur/Bupati/Walikota dan SKPD jajarannya. “Saya yang membahas APBD, saya yang katto palunya di paripurna DPRD, masa saya harus kasih orang lain”? Kata anggota DPRD. “Masa tak ada racci-racci’na” Kata tim sukses. “Awas….! Saya akan PAW” Kata Partai Politik terhadap kadernya di DPRD. “Boss…! Saya yang modaliko saat Pilkada, mana proyek yang mau saya kerja” Kata pengusaha.
……di lain pihak …….. “Saya kodong, dimanama kau simpang, adaji bagianku, nasudah nuambil semuami itu”? kata tukang becak, penjual sayur, pagandeng, kaum papa, miskin kota, duafa, nelayan, petani, dan sederet profesi masyarakat kita yang tertindas.

Di atas itu adalah fakta-fakta, kondisi yang sesungguhnya terjadi. Apakah dalam mengadvokasi anggaran kita harus berkutak katik terus dan memaknai anggaran hanya sebagai kerja-kerja teknis belaka? Tentu saja tidak. Lantas apa yang harus dikerjakan? Mari kita maknai advokasi anggaran sebagai kerja-kerja politik. Ada beberapa bentuk kerja-kerja politik dalam advokasi anggaran:

1. Lobby
Lobby adalah aktifitas untuk meyakinkan pihak lain supaya pihak lain tersebut seide, sekepentingan, seagenda, dan sepandangan dengan kita.

2. Negosiasi
Meskipun keadaan senilai, seagenda, dan sepandangan belum tentu tujuan advokasi dapat tercapai. Oleh karena itu dibutuhkan negosiasi.

3. Public Hearing
Meminta atau tidak diminta, kelompok masyarakat sipil harus memberikan pandangan terhadap performance APBD kita di hadapan DPRD atau Pemerintah Daerah

4. Pengaruhi Opini Publik
Melalui media, kita harus pengaruhi public terhadap sebuah isu, atau problem yang terjadi dalam setiap siklus anggaran yang dilakukan oleh DPRD/Pemerintah. Berjaringan dengan media sangat penting untuk menarik dukungan massa atas apa yang kita perjuangkan.

5. Mobilisasi koalisi atau Aliansi yang Luas
Satu suara seringkali tidak cukup, maka diperlukan suara yang lebih banyak dan keras. Mengajak orang lain yang bukan korban untuk bergabung dalam gerakan.

6. Tekanan Publik
Tekanan public bisa dilakukan melalui protes, petisi, boikot, aksi langsung.

Itu saja mahasiswaku yang cerdas2… maumi jam 20.00…….. kali lain kita sambung dengan topic yang berbeda meskipun dalam kerangka yang sama “Advokasi Anggaran”.

salam

Kamis, 09 Juni 2011

Kopel Ragukan Pendidikan Gratis

Berita Kota Kamis, 09-06-2011

Diduga Banyak Daerah Gagal Laksanakan

MAKASSAR, BKM -- Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia meragukan program pendidikan gratis yang dilaksanakan Pemprov Sulsel telah berjalan dengan baik. Hingga tiga tahun kepemimpinan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, masih banyak kabupaten/kota gagal melaksanakan sharing anggaran sesuai dengan kesepakatan antara Pemkab/Pemkot dan Pemprov.

Manajer Program Kopel Herman di kantor Kopel Indonesia Jl Batua Raya, Rabu (8/6) mengatakan, dalam diskusi Kopel beberapa waktu lalu di Kabupaten Maros terungkap bahwa dari 23 kabupaten/kota di Sulsel, baru tujuh daerah yang mampu melaksanakan sharing anggaran 60 persen dan 40 persen. Selebihnya, 17 kabupaten/kota masih terseok-seok.
Herman mengatakan, berdasarkan Perda No 4 Tahun 2009 tentang Pendidikan Gratis, anggaran pendidikan gratis ditanggung bersama antara Pemprov dan Pemkab/Pemkot. Pemprov menanggung 40 persen, sedangkan Pemkab/Pemkot menanggung 60 persen.
"Hal ini dikuatkan dengan penandatanganan kesepakatan antara Gubernur Syahrul Yasin Limpo dengan seluruh bupati/ walikota tentang sharing anggaran pendidikan gratis," kata Herman.
Menurut Herman, salah satu daerah yang belum mampu menyiapkan anggaran untuk pendidikan gratis adalah Maros. Apalagi, selama empat tahun berturut-turut, Maros mengalami disklaimer keuangan dan masih terbebani hutang Rp 180 miliar.
"Bagaimana bisa Maros memenuhi target 60 persen dari APBD untuk pendidikan gratis, sementara hutangnya Rp 180 miliar belum dibayar," jelas Herman.
Dengan realita seperti ini, Kopel mengusulkan agar Perda tentang pendidikan gratis direvisi. Beberapa pihak mengusulkan, agar sharing anggaran pendidikan gratis, Pemprov lebih besar dibandingkan kabupaten/kota.
"Program ini kan programnya Pemprov, jadi seharusnya Pemprov harus mengalokasikan dana yang lebih besar daripada kabupaten/ kota," tambah Herman.
Juru bicara Kopel Anwar Razak menjelaskan, Kopel berencana melakukan survei pelaksanaan pendidikan gratis. Lokasi surveinya di tiga daerah yakni Makasar, Gowa dan Maros.
"Hasil survei ini nanti akan menjadi dasar bagi Kopel dan sejumlah lembaga masyarakat lainnya untuk meminta DPRD Sulsel merevisi Perda No 4 Tahun 2009 tentang Pendidikan Gratis," katanya.
Namun demikian, menurut Anwar sudah ada beberapa hal yang tidak dijalankan dalam program ini. Diantaranya pembentukan lembaga semi independen yang berfungsi untuk memonitor pelaksanaan program ini yang belum terbentuk sampai saat ini.
"Dalam Perda No 4 kan jelas dalam pelaksanaan pendidikan gratis, Pemprov harus membentuk lembaga semi independen yang bertugas melakukan monitoring," katanya.
Menanggapi sorotan soal program pendidikan gratis, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo mengatakan, sharing anggaran antara Pemprov dan Pemkab/Pemkot untuk pendidikan gratis sudah sesuai dengan regulasi. Apalagi, itu semua sudah diatur dalam penandatanganan kesepahaman antara Pemprov dan Pemkab/Pemkot.

Jumat, 03 Juni 2011

Legislator Bulukumba DPO Polda Jatim

Fajar online
Jumat, 3 Juni 2011


BULUKUMBA -- Karena diduga terlibat pengangkutan kayu ilegal, salah seorang legislator di Bulukumba dari Partai Barisan Nasional (Barnas) Muhammad Amar Ma'ruf dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Ia ditetapkan Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim).

Saat ini, anggota Polda Jatim sudah tiba di Bulukumba untuk melakukan pemanggilan paksa kepada Amar Ma'ruf. Penyebabnya, dua kali pemanggilan secara patut, tidak dipenuhi anggota Komisi A DPRD Bulukumba tersebut.

Amar Ma'ruf ditetapkan sebagai DPO dan menjadi tersangka setelah kayu sekira lima kontainer yang diangkut dari Bulukumba ke Surabaya ditahan anggota Kesatuan Penjagaan Pantai dan Pelabuhan (KP3) Polres Surabaya, April lalu.

Penetapan Amar Ma'ruf sebagai DPO dibenarkan Kapolres Bulukumba, AKBP Arief Rahman. Hanya saja, kata dia, Polres Bulukumba tidak terlibat secara langsung dalam kasus ini lantaran dugaan perbuatan pidananya terjadi di wilayah Polda Jatim.

Dia juga membenarkan bahwa penetapan DPO dilakukan karena tersangka sudah dua kali dipanggil namun tidak pernah memenuhi panggilan. Atas tindakan tersangka ini, Polda Jawa Timur kemudian memilih untuk menjemput tersangka di Bulukumba.

"Yah betul dia berstatus DPO Polda Jatim. Kayu yang dia angkut ke Surabaya ditangkap anggota KP3 Surabaya," ujar Arief Rahman, Kamis, 2 Juni.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, sampai saat ini, anggota Polda Jatim yang datang di Bulukumba belum menemukan tersangka lantaran tidak diketahui dimana keberadaannya. Dia menghilang setelah mengetahui ada anggota Polda Jawa Timur yang datang di Bulukumba.

Meski begitu, konfirmasi berhasil didapatkan dari Amar Ma'ruf. Dia membantah telah dipanggil dua kali secara patut. Menurutnya, sampai saat ini dia baru sekali dipanggil penyidik Polda Jatim. Itu pun, kata dia, tanggal dan harinya salah sehingga dia memutuskan untuk tidak menghadiri panggilan tersebut.

Ia bahkan menuding Polres Bulukumba yang mengeluarkan surat DPO secara tiba-tiba meskipun pemanggilan sebelumnya tidak dia hadiri karena dianggap cacat hukum. Atas kasus ini menilai ada rekayasa yang sengaja dilakukan untuk menyudutkan dirinya.

"Pernah ada panggilan satu kali. Cuma tanggal dan harinyanya salah (cacat hukum). Dan tidak pernah ada panggilan susulan, tiba-tiba ada surat DPO Kapolres Bulukumba," demikian Amar Ma'ruf via pesan pendek yang dikirim kepada wartawan.

Dalam pesan tersebut, Amar Ma'ruf juga menegaskan bahwa kasus yang menimpa dirinya adalah rekayasa. Baginya, itu adalah kemunduran dalam penegakan hukum. Alasannya, prosedur pemanggilan dan penetapan dirinya sebagai DPO tidak mengindahkan aturan yang seharusnya dijalankan. "Tolong disampaikan semua teman-teman media, prosedur yang salah dan kasus direkayasa," tulisnya.

Melalui nomor tersebut, FAJAR sempat menghubungi Amar lagi, namun tidak diangkat. Setelah beberapa kali dihubungi, nomor itu sudah tidak aktif. (arm)

Sekwan DPRD Bulukumba Pernah Usulkan Pin Imitasi

Kesaksian Muttamar pada Kejari

Harian Fajar, Makassar
Jumat, 13 Mei 2011 |
http://www.fajar.co.id/read-20110512185018-sekwan-pernah-usulkan-pin-imitasi

BULUKUMBA -- Pemeriksaan Andi Muttamar Mattotorang sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pin 40 anggota DPRD Bulukumba mengungkap fakta baru. Andi Muttamar mengaku pernah ditemui Sekretaris DPRD kala itu, Andi Cawa Miri untuk mengusulkan membuat pin imitasi. Alasan Sekwan, anggaran yang tersedia tidak cukup lantaran harga emas melambung.

Atas usulan ini, Andi Muttamar menyebutkan bahwa dirinya menolak usulan tersebut. Ia tetap memerintahkan Sekwan membuat pin sesuai dengan yang seharusnya dengan menyesuaikan anggaran yang tersedia.

Muttamar membantah menyetujui pengurangan bobot pin tetapi memerintahkan agar tetap dilanjutkan dan tidak boleh ada dana sisa dari hasil pembuatan pin ini. Hanya saja, dalam praktiknya, berdasarkan temuan Inspektorat Kabupaten, ada kekurangan bobot pin dari tujuh gram menjadi lima gram. Akibatnya, terjadi kerugian negara Rp 24 juta.

"Jadi saya tidak pernah mengetahui apakah akan dikurangi atau tidak. Saya hanya sekali berkomunikasi dengan sekwan saat itu dan yang ditanyakan adalah kemungkinan membuat pin imitasi," ujar Muttamar usai diperiksa Kejari, Kamis, 12 Mei.

Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Bulukumba, Muhammad Ruslan Muin yang dikonfirmasi juga menyebut bahwa Muttamar hanya ditemui saat mengusulkan pin imitasi tersebut. Hanya saja, Ruslan menyebutkan bahwa keterangan Muttamar dengan keterangan Sekwan bersesuaian karena Sekwan juga mengaku tidak pernah meminta persetujuan untuk pengurangan bobot pin tersebut. Satu-satunya keterangan yang berbeda adalah soal siapa yang menelepon penjual emas untuk menanyakan harga saat itu.

"Menurut Sekwan saat itu, yang menelepon adalah Juharta setelah Muttamar memerintahkan mengecek harga emas. Cuma keterangan Juharta dan juga dikuatkan Muttamar bahwa bukan Juharta yang menelepon penjual emas," kata Ruslan. (arm)

Jumat, 27 Mei 2011

Legislator Absen, Paripurna DPRD Bulukumba Batal


Harian Fajar, Makassar
Kamis, 26 Mei 2011
http://www.fajar.co.id/read-20110525190128-legislator-absen-paripurna-dprd-batal


BULUKUMBA -- Gara-gara belasan legislator absen, Rapat Paripurna DPRD Bulukumba dengan agenda penetapan Ketua DPRD Bulukumba, Andi Hamzah Pangki, menggantikan Andi Muttamar Mattotorang, Rabu 25 Mei 2011, terpaksa batal. Rapat dinyatakan tidak kuorum. Dari 40 anggota DPRD Bulukumba, hanya 18 orang yang hadir. Selebihnya, tidak masuk dengan alasan beragam.

Dari 22 anggota DPRD yang tidak hadir lima orang menyatakan izin dan 17 orang tanpa alasan yang jelas. Bahkan empat dari anggota Badan Kehormatan (BK) juga tidak muncul yakni Ketua BK H Bachri dan tiga anggotanya masing-masing, H Askar, H Masdar, dan Andi Mustiaman.

Ketidakhadiran lebih dari setengah anggota DPRD ini tidak hanya menunda penetapan ketua DPRD, tetapi juga menghambat dua agenda lainnya yang juga akan dilaksanakan kemarin. Yakni penyerahan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Bupati Bulukumba 2010 dan pembentukan pansus LKPj tersebut.

Padahal, pada saat yang sama semua pimpinan SKPD lingkup pemkab Bulukumba, bupati dan wakil bupati serta Muspida minus kepala Pengadilan Negeri (PN) Bulukumba sudah hadir memenuhi undangan sekretariat DPRD.

Bupati Bulukumba, Zainuddin Hasan usai rapat mengatakan, dengan adanya peristiwa itu, maka yang merasa kecewa adalah masyarakat Bulukumba. Sebab, banyak agenda yang tertunda apalagi semua pimpinan SKPD sudah meninggalkan tugasnya demimenghadiri paripurna.

"Saya cuma berharap pada saat dijadwalkan tidak seperti ini lagi. Karena ini tidak hanya sebatas menetapkan ketua DPRD tetapi juga paripurna penyerahan. Sengaja digabung agar efektif tetapi hasilnya begini. Anda lihat sendiri kan. Tapi intinya saya menghargai dan tidak mau mencampuri urusan DPRD. Kami dieksekutif adalah mitra," ujar Zainuddin.

Sementara itu, Wakil Ketua I yang juga pelaksana tugas (plt) Ketua DPRD Bulukumba, Andi Edy Manaf sebelum menutup sidang tersebut menyatakan bahwa kejadian itu menjadi cerminan legislator Bulukumba. Menurutnya, sangat tidak wajar rapat tertinggi yakni rapat paripurna tidak dihadiri anggota DPRD.

Bahkan dia sangat menyayangkan karena anggota BK yang seharusnya menegakkan kedisiplinan dengan menjaga tata tertib DPRD justru tidak hadir dalam paripurna tersebut.

"Silahkan Anda menilai dengan perilaku seperti ini," katanya.

Edi mengatakan, pihaknya akan melakukan rapat di Badan Musyawarah (Bamus) untuk menetapkan jadwal kembali. Rapat tersebut rencananya akan dilaksanakan pada Kamis, 26 Mei.

"Jadi nanti kalau dibuka dan tidak kuorum, maka akan diskorsing dulu untuk menunggu anggota DPRD yang belum hadir. Kalau nanti tetap saja tidak datang, maka sidang dilanjutkan. Itu sudah sesuai dengan tata tertib DPRD yang mengatur soal rapat paripurna. Jadi saya pastikan pada paripurna selanjutnya sudah tidak ada masalah lagi," tambah legislator PAN ini.

Aktivis Mengecam

Batalnya Rapat Paripurna DPRD Bulukumba mendapat kecaman dari aktivis dan perwakilan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Koordinator Kopel Bulukumba, Makmur Masda menilai bahwa itu adalah bentuk pembangkangan terhadap undang-undang.

Seharusnya, kata Makmur, anggota DPRD tetap hadir. Persoalan akan menolak atau tidak bisa dilakukan saat rapat paripurna digelar.

"Kalau seperti ini ibaratnya seperti tidak lagi menjunjung tinggi demokrasi. Aturannya dewan harus hadir dulu. Apalagi, kalau merasa lebih banyak yang menolak kan bisa hadir dan kemudian menolak dalam forum. Apa salahnya begitu," tegas Makmur.

Aktivis Aliansi Masyarakat Penegak Demokrasi, Musyafir menilai sikap dewan tersebut kekanak-kanakan. Musyafir bahkan mengecam sikap empat anggota Badan Kehormatan (BK) yang tidak hadir dalam rapat tertinggi DPRD ini.

"Bagaimana kalau dia yang akan memanggil, sementara dia sendiri yang melanggar. Kalau begitu lebih baik BK dibubarkan saja," ucap Musyafir yang juga hadir memantau perkembangan paripurna DPRD kemarin.

Salah seorang perwakilan eksekutif yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS), Ardi Yunus bahkan secara tegas memprotes aksi tidak hadir anggota DPRD dalam rapat paripurna. PNS yang bertugas sebagai pengawas Disdikpora di Kecamatan Bulukumpa ini menyatakan bahwa sangat tidak etis anggota DPRD mengundang eksekutif hadir namun ternyata justru tidak hadir. (arm)

Jumat, 08 April 2011

"AMARAH" KILAS BALIK APRIL MAKASSAR BERDARAH

Oleh: Herman (Ketua Umum SMPT IKIP Ujungpandang 1997/1998)

April Makassar Berdarah merupakan salah satu gerakan sosial mahasiswa di Makassar pada tahun 1996 yang menelan korban jiwa 3 orang dari kalangan mahasiswa dan ratusan kekerasan fisik lainnya akibat perlakuan represif aparat keamanan (polisi dan tentara). Tulisan ini akan dibagi perbagian dan pada bagian 1 (satu) tulisan ini diawali dengan memaparkan kronologis kasus yang saat itu dialami dan informasi dari berbagai sumber.

Kronologis Kasus

April Makassar Berdarah (AMARAH) ini terjadi dari rangkaian peristiwa yang berlangsung kurang lebih 10 hari di Makassar. Dimulai dari tanggal 21 April 1996 dan berakhir pada tanggal 30 April 1996 yang ditandai dengan penandatanganan piagam kerukunan. Berikut kronologis kasusnya:
Tanggal 21 April 1996
SK Walikota Ujungpandang No. 900/IV/1996 tanggal 16 April 1996 tentang tarif angkutan kota mulai diberlakukan. Untuk trayek dalam Kota Ujungpandang diberlakukan tarif yang sama, Rp. 500,- untuk masyarakat umum dan Rp. 200,- untuk mahasiswa dan pelajar.
Tanggal 22 Apri 1996
Pukul 11.00 Puluhan mahasiswa UMI mendatangi kantor gubernur Sulawesi Selatan untuk menyampaikan aspirasinya. Mereka menuntut penurunan tarif tersebut dan untuk tarif mahasiswa dan pelajar diberlakukan secara konsisten Rp. 200,-, karena di lapangan faktanya tetap disamakan dengan penumpang umum. Mahasiswa memberikan deadline 3 X 24 jam untuk keputusan penurunan kembali tarif tersebut.

Pukul 14.00 Mahasiswa UMI melakukan demonstrasi dengan memblokade jalan Urip Sumoharjo. Petugas tidak melakukan tindakan apa-apa, mahasiswa dengan tertib membubarkan diri.

Pukul 20.00 lembaga-lembaga kemahasiswaan di beberapa perguruan tinggi dan lembaga ekstra kampus mulai melakukan konsolidasi dan pertemuan untuk menyikapi kebijakan ini.

Tanggal 23 April 1996
Pukul 10.00 Mahasiswa sudah mulai melakukan aksi dengan turun ke jalan di setiap kampus masing-masing. Aksi yang memanas di kampus UMI. Sebuah bus damri dihadang dan seluruh penumpangnya diturunkan. Bus dipalang di tengah jalan, aki dibuka dan kaca dihancurkan.

Pukul 13.00 Kapoltabes Ujungpandang dan Dandim datang mengajak dialog mahasiswa. Mahasiswa tetap bertahan menuntut adanya keputusan penurunan tarif dan terus menyandera bus damri.

Pukul 15.00 Pasukan Brimob dan Armed menghalau mahasiswa di sepanjang jalan Urip Sumoharjo. Bentrok tak bisa dielakkan perang batu pun tak bisa dihindari. Pasukan merangsek masuk kampus UMI, mahasiswa tetap bertahan. Mahasiswa dipukuli dengan rotan dan tendangan sepatu laras. Kaca perkuliahan hancur berantakan, puluhan mahasiswa ditangkap dan dibawa ke Makodim.

Pukul 16.30 Kasdam VII Wirabuana Brigjen Fachrul Razi naik ke atas mobil pemadam kebakaran memberikan pengarahan, juga nampak mendampingi Dandim Letkol Sabar Yudo. Mahasiswa mulai membubarkan diri dan kembali melakukan konsolidasi untuk membebaskan rekannya yang ditangkap.

Pukul 17.00 Di kampus IKIP Ujungpandang, pejabat kampus mulai melakukan pendekatan kepada fungsionaris mahasiswa. Humas IKIP Ujungpandang turun melakukan pertemuan dengan fungsionaris mahasiswa mulai dari HMJ, SMF, UKM-UKM berkumpul di gedung SMPT. Humas mengajak untuk turun aksi esok harinya, tapi bukan terkait dengan kebijakan tarif angkot tapi soal eksekusi tanah oleh pihak PN Ujungpandang atas kasus tanah di kampus Gunung Sari yang di atasnya telah berdiri gedung perpustakaan.

Pukul 20.00 Pengurus SMPT IKIP saudara Aswan Ahmad dan beberapa pengurus lainnya berkonsolidasi ke sekretariat Senat Fakultas dan Himpunan se IKIP untuk mengalihkan demosntrasi tersebut dari kasus tanah ke tarif angkot. Seluruh mahasiswa diharapkan untuk turun ke jalan menyikapi SK Walikota dan aksi solidaritas atas penangkapan dan sikap represif aparat terhadap mahasiswa UMI.

Tanggal 24 April 1996
Pukul 09.00 Mahasiswa dari berbagai kampus tumpah ruah ke jalan. Mahasiswa IKIP Ujungpandang dari Kampus Banta-Bantaeng, Kampus Parangtambung dan Tidung berjalan kaki memenuhi jalan-jalan protokol menuju kampus Gunung Sari. Kampus Gunungsari dijadikan pusat aksi mahasiswa. Mahasiswa melakukan aksinya di depan kampus di bawah jembatan penyeberangan dengan memblokir dua jalur jalan Andi Pangeran Pettarani.

Pukul 11.30 Pasukan Armed dan Brimob menghalau mahasiswa dari jalan pettarani, terjadi bentrok dengan saling lempar batu. Tembakan gas air mata membuat mahasiswa membubarkan diri dan masuk kampus.

Pukul 11.30 Di saat yang sama, mahasiswa UMI dan 45 kembali turun ke jalan Urip Sumoharjo. Truk sampah yang lewat depan kampus dihadang dan dibalikkan. Pasukan dari kavaleri diturunkan bersama dengan 4 buah panser. Petugas masuk kampus mengejar mahasiswa dan kembali melakukan tindak kekerasan.

Pukul 13.00 Kampus IKIP kembali bergolak. Mahasiswa kembali turun ke jalan dengan jumlah yang besar dari aksi sebelumnya (pagi hari). Awalnya aksi berjalan dengan tertib. Tiba-Tiba mahasiswa dikepung oleh pasukan Armed dan Brimob. Dari arah selatan jalan Pettarani oleh Brimob dan dari arah utara oleh pasukan Armed. Kali ini terjadi bentrok yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka parah ditendang dan dipukuli dengan rotan hingga masuk ke got. Mahasiswa membalas dengan lemparan batu dan panah. Satu orang anggota Armed terkena anak panah di pelipis hingga tembus ke telinga. Petugas mengejar mahasiswa ke dalam kampus hingga ke ruang-ruang kuliah. Termasuk menyeret mahasiswa yang lari ke dalam mesjid Nurul Ilmi yang jamaahnya sementara sholat ashar. Mushallah Fakultas FPIPS penuh dengan ceceran darah. Kaca-kaca ruang perkuliahan dan gedung rektorat pecah berhamburan. Sejumlah mahasiswa, khususnya perempuan pingsan akibat gas airmata, seorang anggota KSR PMI IKIP Rukman Musbar terkena bom gas airmata saat memungut bom yang waktu itu belum meledak. Puluhan mahasiswa ditelanjangi dan digiring dari dalam kampus dengan tendangan hingga ke jalan raya dan dibawa pergi dengan truk aparat. Pada saat yang sama kampus lain ikut bergolak.

Pukul 15.00 Kampus UMI kembali bergolak. Aksi mahasiswa kembali dibubarkan oleh aparat. Kali ini petugas mengejar mahasiswa hingga ke dalam kampus, sampai ke ruang-ruang perkuliahan. Dua panser ikut mengawal pasukan kavaleri yng tidak dilengkapi tameng, kebrutalan aparat kembali terjadi. Sebagian mahasiswa menyelamatkan diri dengan menyeberang dan melompat ke sungai pampang dekat kampus.

Pukul 17.30 Sejumlah mahasiswa dikabarkan tenggelam. Sebagian diantaranya ditemukan dan dilarikan ke Rumah Sakit 45.

Pukul 18.30 Saiful Bya, salah seorang mahasiswa jurusan Teknik Arsitektur angkatan 1994 yang tenggelam meninggal dunia.

Tanggal 25 April 1996
Pukul 10.00 Hampir semua kampus di Kota Ujungpandang bergolak, mereka turun di jalan melakukan aksi solidaritas. Jalanan dimana-mana macet. Jalan ST. Alauddin oleh mahasiswa IAIN, Unismuh. Jl. Andi Tonro oleh mahasiswa STIE YPUP, Jl. Mappaoddang oleh STIEM, Pettarani oleh mahasiswa IKIP, Bawakaraeng oleh UVRI dan sepanjang jalan Urip oleh mahasiswa UMI, 45, dan di tamalanrea UNHAS serta UKIP PAULUS di Daya. Kali ini petugas keamanan sedikit bersikap persuasif. Di depan kampus UMI sebuah sepeda motor petugas dibakar.

Pukul 12.30 Mayat A. Sultan Iskandar mahasiswa Fakultas Ekonomi UMI angkatan 94 ditemukan terapung di sungai pampang. Mahasiswa membawanya ke RS 45. Dari RS 45, ratusan mahasiswa membawanya ke rumah duka di jl. Sukaria. Dalam perjalanannya, di depan kantor gubernur sebuah sepeda motor petugas dibakar. Sebelum ke rumah duka, mahasiswa sempat mengunjungi harian Fajar untuk memperlihatkan mayat korban kepada wartawan.

Pukul 14.30 Kembali ditemukan mayat Tasrif terapung di sungai pampang. Akibat masuknya aparat ke dalam kampus mengejar mahasiswa, sudah tiga orang mahasiswa UMI ditemukan meninggal. Kemarahan mahasiswa Ujungpandang semakin tak terbendung.

Pukul 16.00 Terkirim hasil rapat Gubernur H.ZB. Palaguna, Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Sulatin dan Walikota Ujungpandang Malik B. Masry yang sedang berada di Makkah yang menyatakan bahwa kenaikan tarif angkutan kota Ujungpandang ditunda.

Tanggal 26 April 1996

Pukul 11.00 Hampir semua mahasiswa turun ke jalan. Aksi secara sporadis ini dilakukan oleh beberapa kampus: UNHAS, UKIP, IAIN, Unismuh, IKIP, STIP Al-Gazali, YPUP dan beberapa perguruan tinggi yang lain turun aksi untuk solidaritas mahasiswa UMI yang meninggal. Di depan kampus IKIP Ujungpandang Jl. AP. Pttarani ratusan mahasiswa sholat jumat dan sholat Gaib di tengah jalan yang dipimpin oleh Zainal ABIDIN Ketua LKIMB IKIP UP sebagai khatib dan imam.

Pukul 14.00 Jenazah A. Sultan Iskandar dimakamkan di pekuburan Dadi, sedangkan jenazah Tasyrif dimakamkan di pemakaman Panaikang. Ratusan mahasiswa mengantar dan mengiringi prosesi ini.

Pukul 16.00 Dari pemakaman di Panaikang, ratusan mahasiswa berkumpul untuk melakukan aksi long march ke DPRD Sulsel dengan berbagai spanduk kecaman terhadap aparat keamanan. Lagi-lagi aksi ini dibubarkan oleh aparat keamanan di tengah jalan.

Pukul 17.00 Mahasiswa UNHAS keluar kampus dan menduduki jalan protokol, membuat mimbar bebas di tengah jalan. Aksi solidaritas ini sempat memacetkan jalan, setiap kendaraan ditahan dan penumpangnya diperiksa.

Tanggal 27 April 1996
Pukul 11.00 Aksi solidaritas kembali terjadi di STIE YPUP dan STIEM Bungaya. mobil plat merah dihadang dan disandra oleh mahasiswa. Aksi ini dapat diredam oleh petugas dengan cara persuasif.

Pukul 13.00 Kasdam VII Wirabuana Brigjen TNI Fachrul Razi selaku Kases Bakorstanasda Sulawesi memberikan penjelasan kepada publik soal aksi demonstrasi mahasiswa yang bentrok dengan petugas, termasuk mahasiswa yang menjadi korban luka-luka maupun tewas.

Tanggal 28 – 29 April 1996
• Aksi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berlanjut. Kota Ujungpandang lumpuh, angkot mogok, penumpang terlantar.
• Komnas HAM turun tangan akibat adanya indikasi pelanggaran HAM atas insiden ini. Dipimpin oleh Baharuddin Lopa (sekjen) dan 2 orang anggota tim Mayjen (pur)Soegiri, dan Brigjen (pur)Roekmini melakukan identifikasi dan mengumpulkan keterangan dari berbagai pihak.

Tanggal 30 April 1996
• Aksi mogok angkutan kota berlanjut.
• Untuk menciptakan ketentraman di tengah-tengah masyarakat akibat dari kasus ini, maka dilakukan pertemuan dengan berbagai pihak dan disepakati suatu piagam kerukunan yang ditandatangani oleh para pihak, antara lain Pemerintah Kota Ujungpandang, Pemprov Sulsel, Kasdam VII Wirabuana, Wakapolda Sulselra, DPRD Sulsel, Organda, Tokoh Masyarakat, Pimpinan perguruan tinggi, perwakilan mahasiswa dan Komnas HAM.

Selasa, 29 Maret 2011

ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN GRATIS TAHUN 2011 DI 24 KABUPATEN/KOTA DI SULSEL

Pendidikan gratis di Sulawesi Selatan merupakan program prioritas Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008 – 2013. Program ini merupakan janji Gubernur terpilih saat PILKADA 2008 yang harus diimplementsikan selama periode kepemimpinannya. Implementasi janji tersebut telah dituangkan melalui Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan. Pendidikan gratis adalah skema pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang ditanggulangi bersama oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota guna membebaskan atau meringankan biaya pendidikan peserta didik di Sulawesi Selatan.

Sebagai warga negara yang baik, yang peduli pada pendidikan dan masa depan SDM di Sulawesi Selatan, maka setiap orang penting untuk mengawasi pelaksanaannya.


Jumat, 18 Maret 2011

ALOKASI ANGGARAN KESEHATAN GRATIS DI 24 KABUPATEN/KOTA DI SULSEL

Anggaran kesehatan gratis diperuntukkan bagi warga masyarakat Sulawesi Selatan melalui program yang dijanjikan Gubernur. Sudah 3 tahun program ini berjalan, namun banyak maslah dalam implementasinya. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, banyak dokter dan paramedis yang belum dibayar honornya sampai melewati tahun anggaran, bahkan beberapa kabupaten di Sulsel, Dokter dan Paramedis mogok kerja hingga pasien terlantar.

Tahun 2011 ini, melalui skim bantuan 40:60 menggelontorkan dana di 42 kabupaten/kota di Sulsel sebesar Rp. 284,9 milyar. Tugas kita untuk mengawasi pelaksanaannya.

Jumat, 04 Februari 2011

BELAJAR DARI KEMATIAN AJI MASSAID

Dari Alim Salim Mursalim, dikutip dari article published on No.240 of Journal of General Hospital Rochester


PENTING…..!! Belajar dari penyebab meninggalnya Adjie Massaid
Info yg sangat berguna…… Pertolongan Pertama pd serangan jantung.
Misalnya saat sekarang, setelah anda sibuk kerja seharian, anda sedang dlm perjalanan pulang dg mengendarai mobil sendirian. Tiba2 anda merasakan sakit yg sangat di dada & mulai menjalar ke lengan & dagu. Tetapi jarak ke RS yg terdekat kira2 masih 5 Km, lebih celakanya lagi anda tidak tahu. Apakah anda mampu bertahan sampai sejauh itu. Saat sendirian, kena serangan jantung, bagaimana cara pertolongan pertamanya?

Seseorg ketika jantungnya tdk dpt berdenyut secara normal serta merasa hampir pingsan, ia hanya mempunyai wkt kira2 10 detik, setelah itu akan hilang kesadaran & pingsan. Jika sekitarnya tdk ada org memberi pertol...ongan pertama, penderita hrs memanfaatkan 10 detik yg singkat ini usaha utk menolong dirinya sendiri.

Harus Bagaimana ?

Jawabannya:
JANGAN PANIK, USAHAKAN BERBATUK TERUS DG SEKUAT TENAGA. SETIAP KALI SEBLM BATUK, HRS TARIK NAFAS DLM2 KEMUDIAN BER BATUK DENGAN KUAT2, DALAM2 & PANJANG2, seperti hendak mengeluarkan dahak yg berada dlm dada.

...SETIAP SELANG 2 DETIK HRS TARIK NAFAS SEKALI& BERBATUK SEKALI. Hingga pertolongan tiba, atau kalau merasa denyut jantung sdh normal, baru boleh beristirahat. Tujuan tarik nafas : utk memasukkan Oxygen ke dlm paru2.
Tujuan batuk : utk menekan jantung, agar aliran darah bersikulasi. Menekan jantung jg dpt membantu denyut jantung kembali normal. Pertolongan cara ini maksudnya, agar penderita mempunyai kesempatan utk pergi ke Rumah Sakit.

(article published on No.240 of Journal of General Hospit...al Rochester)
Jangan kira bila berumur kurang dari 30, tidak mungkin dpt serangan jantung!!
Siapa tahu dgn menyalurkan hal ini, anda ikut membantu sesama

Minggu, 23 Januari 2011

PASANG RI KAJANG UNTUK SBY

Gonjang ganjing politik, hukum yang tak adil, mafia merajalela (pajak, peradilan, hukum), telah jadi sarapan pagi setiap hari. Apakah ini terkait dengan kepemimpinan? Entahlah. Di kampung saya ada ajaran yang disebut "pasang ri Kajang". Ia merupakan keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang liku kehidupan masyarakat. Sebuah pesan-pesan lisan yang dapat berarti petuah, pesan, fatwa, nasehat, tuntunan dan peringatan. setiap orang tunduk padanya, dan jika tak diikuti dapat mendatangkan bencana bagi masyarakat. Meskipun SBY tak tau apa itu "pasang ri Kajang" berikut kutipannya kusampaikan padamu

Lambusukko nu karaeng. Piso'nako nu guru.
Gattangko nu ada'. Sabbarakko nusanro.
Salama'ko intu ri lino sambenna ri allo ri boko
Ako jamai punna tania jamannu

Artinya:

Lurus dalam memerintah. Pasrah seperti ulama.
Tegas pada aturan. Sabar seperti orang yang berilmu tinggi.
Niscaya kamu akan selamat di dunia dan akhirat kelak.
Jangan mengerjakan sesuatu hal yang bukan pekerjaanmu.

Sabtu, 22 Januari 2011

KAJANG NIGHT

Zero untuk Pemerintah Kabupaten Bulukumba
Cinta & keberanian adalah modal utama untuk berkarya


Saya cukup apresiatif atas penyelenggaran "Kajang Night" di Gedung LPTQ Makassar 21 Januari 2011. Ia menyentakkan kesadaranku betapa banyak potensi yang dimiliki kampung halaman saya KAJANG. Sebuah komunitas adat yang terpelihara dengan simbol yang banyak dikenal dengan "pakaian hitam-hitam". Tak usalah jauh-jauh memikirkan sumber daya alam di sana, prospek ekonomi, gonjang ganjing politik dll. Malam itu, sejumlah anak muda mengangkat kembali kekayaan intelektual yang selama ini terpendam di daerah ini melalui seni dan sastra. Ada pembacaan pasang ri Kajang, seni bela diri rahasia, angngaru, appirau, kelong konjo (bahasa suku asli Kajang) yang dipadukan dengan musik modern, pembacaan puisi dll.

Adakah yang memperhatikan dan mengapresiasi kesungguhan anak-anak muda di atas? Sayangnya, pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba tak satupun yang peduli. Hadir dalam kegiatan ini pun tak ada. Justru yang hadir dari Dinas Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan dan Akademisi asal Bulukumba. Padahal Kabupaten Bulukumba adalah salah satu andalan pariwisata, termasuk Kajang yang banyak dijual oleh mereka ke mancanegara. Cinta dan keberanianlah menurut Kanda Ahyar Anwar menjadi pendorong untuk terus berkarya.

Tidak pernah terbayangkan dalam pikiran saya kalau hal ini dapat diperankan oleh mereka. Siapa yang menggagas semua ini? mereka adalah Andika Mappasomba, Kanda Ahyar Anwar. Hanya dua itu yang saya tau. Andika adalah seniman dan sastrawan muda asal Bulukumba, sebuah kabupaten dimana komunitas adat Kajang bermukim. Ahyar Anwar adalah dosen muda UNM (ketua jurusan Bahasa Indonesia dan daerah). Beliau masuk di UNM kala saya sudah meninggalkan kampus tercinta ini tahun 1999. Namun dari karya-karyanya tentang kesusastraan (puisi, novel dll.)banyak saya baca.

Selain dua orang tersebut di atas, ada group band kelor, ada Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia UNM yang jadi penyelenggara. Sebuah lembaga internal kampus yang pernah saya nahkodai di tahun 1995/1996. Namun adik-adik ini tak ada satupun yang saya tau, demikian juga sebaliknya. Dan di periode itu pula didirikan sebuah lembaga di bawah himpunan yang bernama Bengkel Sastra, ini pun saya tak tau kondisinya sekarang seperti apa. Wajar, sudah lebih dari satu dekade umurnya.Di samping terhenti komunikasi, juga kesibukan merambah dunia politik. Bukan sebagai kader Parpol yang beriming-iming masuk di DPRD, tapi mengobok-obok kebijakan politik pemerintah dengan malang melintag di dunia NGO.

Terima kasih kepada Kanda Ahyar Anwar, meskipun anda orang Gowa tapi peduli dengan daerah saya Kajang. Andika ... teruslah berkarya. Adik-adik dari Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia terima kasih atas persembahanmu, jangan seperti mahasiswa lain yang kerjanya tawuran. Group Band Kelor sukses selalu.... suatu saat anda semua akan jadi orang-orang besar. ... salam dari "PASANG RI KAJANG".

Jumat, 21 Januari 2011

MENGUKUR KINERJA LEGISLASI DAERAH

(dari diskusi "Menoropong Kinerja DPRD Sulsel")

Diskusi yang berlangsung 2 jam di Kampung Popsa yang disiarkan langsung oleh Makassar FM menghadirkan narasumber Ketua DPRD Sulsel H. Muh. Room, Prof. Aminuddin Ilmar (Fak. Hukum UNHAS), Herman (KOPEL) dan Subair (koordinator Sopir) mengupas kinerja satu tahun lebih DPRD Sulsel. Kegiatan yang dilaksanakan Jumat, 21 Januari 2011 ini dihadiri oleh sejumlah anggota DPRD, NGO, dan masyarakat umum. Salah satu yang jadi sorotan adalah masalah legislasi daerah.

Menurut Muh Room, DPRD Sulawesi Selatan periode ini dalam hal legislasi sudah lebih baik dari periode sebelumnya. Menurutnya, periode yang lalu selama 5 tahun hanya menghasilkan 1 Perda hak inisiatif DPRD. Sekarang ini, baru satu tahun sudah menghasilkan 3 Perda hak inisiatif. 2 diantaranya sudah ditetapkan oleg DPRD yakni, Perda Bencana Alam dan Perda Pelayanan Publik. 1 lagi yakni Perda Ketahanan Pangan sementara masih dalam pembahasan.

Meskipun ada peningkatan dalam hal legislasi daerah, KOPEL memandang bahwa, mengukur kinerja legislasi daerah yang diperankan oleh DPRD tidak ahanya diukur dari segi jumlah. Herman dalam paparannya lebih menekankan pada substansi atas Perda yang dihasilkan oleh DPRD. Saat ini, alat kelengkapan DPRD dalam hal ini Badan Legislasi sudah merupakan alat kelengkapan DPRD yang tetap dan permanen. Sehingga anggota Badan Legislasi sudah seharusnya melakukan kajian terhadap Perda-Perda yang bermasalah, termasuk yang tidak implementatif di masyarakat. Hal lain adalah melakukan kajian dan pemetaan masalah-masalah sosial yang ada di Sulawesi Selatan untuk merumuskan permasalahan tersebut agar dapat ditindaklanjuti penyelesaiannya. Jika sebuah masalah membutuhkan regulasi untuk menanganinya, maka DPRD sudah seharusnya bergerak cepat untuk memenentukan seperti apa regulasi yang dibuat untuk penyelesaiannya.

Namun demikian, hal tersebut di atas belum sepenuhnya dilakukan oleh DPRD. Ruang Badan Kehormatan saja di DPRD tempat yang seharusnya menjadi pusat kajian regulasi daerah tidak terurus, jorok, banyak debu karena tidak pernah difungsikan. Ruang kerja saja tidak terurus apalagi kalau mau bekerja maksimal melakukan kerja-kerja kelegislasian. padahal banyak masalah yang ada di masyarakat yang perlu penanganan. Contoh ril yang diungkapkan oleh Subair sebagai masyarakat rentang yang terkena dampak sebuah kebijakan tidak pernah melihat anggota DPRD membicarakan masalah kesemrautan masalah transportasi di Sulawesi Selatan. Transportasi antar daerah di propinsi Sulasel, bahkan transportasi antar propinsi tidak pernah diurus. Banyak terminal bus antar daerah di dalam kota yang mengambil penumpang yang merugikan angkot di dalam kota. Terminal transportasi antar kota sepi. Masalah-masalah tersebut tak pernah disentuh oleh anggota DPRD.

Sabtu, 15 Januari 2011

Berbagi Makan & Minum dengan Rakyat Miskin

Sebuah buku yang dihimpun dari hasil-hasil rapat pembahasan APBD 2010 di DPRD Kabupaten Bulukumba. Menarik untuk ditelaah, sebab terdokumentasi siapa berbicara apa? siapa memperjuangkan apa? di antara anggota DPRD Bulukumba dalam sidang-sidang Pembahasan ANGGARAN

PERDA KOTA MAKASSAR PERIODE 2004 -2009




RISET REVIEW PERDA

Studi Mekanisme Kerja di Daerah terkait Dengan Review Perda
oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung

by. Herman

A. Pendahuluan

Laporan ini menyajikan pemetaan masalah sekaligus analisa terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan Daerah dan masyarakat terkait dengan review Perda. Permasalahan tersebut akan dipetakan dan dianalisis terkait dengan kewajiban review Perda oleh Pemerintah Pusat dan kendala yang dihadapi oleh masyarakat dalam memanfaatkan mekanisme review Perda sebagai instrument untuk memperjuangkan hak mereka apabila ada Perda yang dianggap melanggar kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam pembentukannya, Peraturan Daerah mendapatkan landasan konstitusional dalam konstitusi untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945). Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Undang-undang tersebut, Pasal 12 menentukan materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka:
a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan;
b) menampung kondisi khusus daerah; serta
c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berdasarkan ketentuan materi muatan Peraturan Daerah tersebut di atas, maka perlu singkronisasi peroduk peraturan perundang-undangan. Salah satu produk peraturan perundang-undangan dalam hirarkinya berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2004 adalah Peraturan Daerah. Peraturan Daerah yang dibentuk oleh daerah lebih bercorak kedaerahan/local, mengagregasi nilai-nilai masyarakat di daerah. Peraturan Daerah dapat berisi materi muatan berdasarkan dengan hasil identifikasi yang merupakan kondisi khusus daerah. Oleh karena itu banyak Peraturan Daerah yang isi materi muatannya mengatur tentang pemerintahan daerah yang bercorak lokal. Selain itu, di era otonomi daerah, Pemerintah Daerah menjadikan Peraturan Daerah sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Peraturan Daerah tentang pajak daerah atau Peraturan Daerah tentang retribusi daerah.

Terkait dengan banyaknya Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah karena bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, memberatkan masyarakat di daerah, sebagai sistem instrumen hukum negara telah menentukan mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesaian konflik peraturan dilakukan melalui pengujian peraturan perundang-undangan.

Peraturan Daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga melalui dua model kewenangan, yaitu executive review oleh Pemerintah yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri dan judicial review oleh Mahkamah Agung.

B. Pokok Permasalahan yang Ingin Digali

Ada dua hal pokok yang ingin digali melalui riset ini yaitu:

1. Kinerja Legislasi Pemerintahan Daerah Selama Periode 2004-2009

Pada bagian ini diharapkan diperoleh data mengenai hasil kerja legislasi Pemerintahan Daerah yang atara lain dalam hal jumlah Perda yang dibentuk, jenis Perda dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan fungsi legislasi selama periode tersebut.

2. Permasalahan yang Dihadapi oleh Pemerintahan Daerah dan Masyarakat Terkait dengan Review Perda.


Bagian ini ingin menggali permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan Daerah dalam melaksanakan kewajiban terkait review Perda oleh Pemerintah (pusat) dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dalam memanfaatkan mekanisme review perda sebagai instrument untuk memperjuangkan hak mereka apabila ada perda yang dianggap melanggar kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Permasalahan yang ingin digali dari sisi pemerintahan daerah tersebut meliputi:
a. Mekanisme atau prosedur rinci yang dijalankan oleh pemerintah daerah dalam menyerahkan perda maupun raperda (APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang) kepada Pemerintah (pusat);
b. Mekanisme penerimaan kembali atas Perda atau Raperda dari Pemerintah (pusat) setelah direview dan tindaklanjut yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan hasil review;
c. Hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan kewajiban untuk menyerahkan Perda atau Raperda untuk di review.

Sementara itu dalam kaitan penggalian permasalahan dari sisi masyarakat, beberapa pokok permasalahannya antara lain:
a. Wujud respon yang selama ini dilakukan untuk menguji atau mengadvokasikan perubahan atau pembatalan Perda yang sudah berlaku dan dianggap melanggar kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga dapat berakibat merugikan kepentingan masyarakat atau menguntungkan sebagian kelompok masyarakat
b. Pendapat masyarakat mengenai mekanisme review yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri; dan,
c. Pendapat masyarakat mengenai mekanisme Judicial Review oleh Mahkamah Agung serta masalah dan kesulitan yang dihadapi dalam mengajukan permohonan judicial review.

C. Metode Riset

Metode yang dilakukan untuk menggali beberapa pokok permasalahn tersebut di atas dilakukan melalui studi literature dan wawancara.

1. Studi literature dilakukan melalui pencarian data dalam bentuk berita, artikel, hasil kajian, dan data yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah maupun DPRD terkait dengan pelaksanaan fungsi legislasi.

2. wawancara dilakukan terhadap pejabat maupun unsure masyarakat yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi legislasi daerah. Oleh karena itu diperlukan upaya yang selektif dalam memilih narasumber dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang optimal. Narasumber yang diwawancarai terdiri dari unsur:
- Biro atau bagian hukum Pemerintah Kota Makassar dan Pemprov Sulawesi Selatan;
- Anggota DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan;
- LSM yang memahami isu legislasi daerah;
- Masyarakat yang terkena dampak/kerugian akibat pemberlakuan suatu perda; dan,
- Masyarakat yang pernah mengajukan review perda.


D. Daerah Sasaran Riset

Studi yang dilakukan dengan mengambil sampel daerah Kota Makassar dan persinggungannya dengan Perda-Perda yang ada di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Mengingat pembentukan sebuah peraturan bertujuan untuk menyelesaikan sebuah masalah, maka Kota Makassar sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan dengan tingkat permasalahan sosial yang ada dianggap mewakili kabupaten/kota yang lain di Sulawesi Selatan.

E. Masalah dan Analisis Mekanisme Review Peraturan Daerah (PERDA)

Dalam analisis ini, ada dua hal yang menjadi focus analisa terkait dengan mekanisme review Perda oleh pemerintah pusat, antara lain (1) Hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam review Perda. Apakah mekanisme review tersebut oleh pemerintah pusat efektif dilakukan atau tidak. Dampak yang ditimbulkan oleh daerah ketika Perda tersebut dibatalkan (baik secara keseluruhan maupun sebagian) oleh pemerintah pusat. Serta bagaimana daerah menyikapi ketika Perda-Perda yang diajukan ke pemerintah pusat dibatalkan; dan (2) Hak masyarakat dan kepentingan public untuk dilindungi dalam setiap pembentukan Perda. Bagaimana masyarakat melakukan complain atas Perda-Perda bermasalah. Apakah mekanisme review Perda yang selama ini dilakukan dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka ketika ada Perda yang dianggap melanggar kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dan bagaimana masyarakat melakukan hal tersebut.

Kedua focus analisa tersebut di atas, akan diperkuat dengan analisa terhadap pelaksanaan fungsi legislasi di daerah dan respon pemerintah daerah serta masyarakat atas mekanisme review Perda oleh pemerintah pusat.

1. Kinerja Legislasi Pemerintahan Daerah Kota Makassar Periode 2004-2009

Jumlah Perda yang dibentuk di Kota Makassar dalam kurun waktu 2004 – 2009 dapat dilihat dengan rincian sebagai berikut:
- Perda tahun 2004 sebanyak 18 buah
- Perda tahun 2005 sebanyak 31 buah
- Perda tahun 2006 sebanyak 16 buah
- Perda tahun 2007, tahun 2008, dan tahun 2009 oleh bagian hukum Pemerintah Kota Makassar belum dihimpun dengan rapi.
Dari sejumlah Perda tersebut di atas, terdapat 1 Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah Pusat yakni Perda Nomor 9 tahun 2004 tentang Pengaturan, Perlindungan dan Jasa Pelayanan Ketenagakerjaan dalam wilayah Kota Makassar. Pembatalan ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 284 tahun 2009. Perda-Perda tersebut di atas dapat dilihat di bagian lain dalam laporan ini (terlampir).

Dari jumlah tersebut di atas, sebanyak 2 buah merupakan hak inisiatif DPRD, yakni Perda nomor 2 tahun 2009 tentang Pengaturan perdagangan barang bekas layak pakai yang berasal dari luar Kota Makassar dan Perda nomor 3 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Pada tahun 2009, DPRD Kota Makassar menginisiasi 5 buah Perda yakni, Ranperda Ruang Terbuka Hijau (RTH), Ranperda pengelolaan asset, Ranperda Fasum/Fasos, Ranperda Aksesibility Penyandang Cacat dan Tunanetra, serta Ranperda Rumah Kost. Namun kelima Ranperda tersebut mengalami penundaan dan ini belum ditetapkan hingga sekarang karena terkendala dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang belum direvisi. Menurut ketua Badan Legislasi Daerah Kota Makassar Yusuf Gunco Perda RTRW menjadi dasar acuan Perda yang akan dibentuk, sehingga Perda-Perda tersebut ditunda hingga Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) selesai ditetapkan.

Sementara di tingkat provinsi menurut Muh. Room (Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan), Perda inisiatif yang dilakukan oleh anggota DPRD sebanyak 4 buah, yakni 1 Perda pada periode yang lalu dan 3 buah pada periode sekarang . Tiga Perda inisiatif tahun 2009 yakni Perda Pelayanan Publik, Perda Asi, dan Perda Penanggulangan Bencana Alam. Sementara yang sedang berproses adalah Perda Ketahanan pangan. Menurut Yagkin Padjalangi sebagai inisiator Perda Ketahanan Pangan, Perda ini dibutuhkan karena banyak produk makanan yang bermasalah, khususnya dari luar Kota Makassar. Masalah ini perlu proteksi untuk melindungi warga masyarakat Sulawesi Selatan melalui sebuah pengaturan yang dibentuk dengan Peraturan Daerah .

Dalam menyusun sebuah Ranperda, DPRD Kota Makassar maupun DPRD Provinsi memiliki 3 mekanisme, yakni dalam hal Perda inisiatif dari DPRD dan Perda usul dari Eksekutif, serta Perda sejenis yang diusulkan oleh eksekutif dan legislative secara bersamaan. Mekanisme tersebut diatur dalam Tata Tertib DPRD.

Dalam hal Ranperda yang diusulkan oleh DPRD, anggota DPRD mengajukan inisiatif sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota DPRD yang terdiri dari lebih 1 (satu) fraksi yang berbeda. Usul tersebut diajukan kepada pimpinan DPRD yang selanjutnya usul prakarsa tersebut disampaikan kepada Badan Legislasi Daerah untuk dilakukan pengkajian. Ranperda tersebut mulai digodok di alat kelengkapan Badan Legislasi DPRD dengan memberikan pertimbangan, melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi atas Ranperda yang diusulkan. Setelah dianggap rancangan tersebut dianggap final, maka DPRD mulai mengagendakan untuk melakukan rangkaian rapat bersama dengan anggota DPRD lainnya untuk mendapatkan persetujuan.

Hasil pengkajian Badan Legislasi Daerah disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna tersebut, penginisiatif Ranperda diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas Ranperda yang diusulkan dan anggota DPRD lainnya memberikan pandangan yang selanjutnya dijawab oleh penginisiatif atas pandangan tersebut. Pembicaraan diakhiri dengan pemberian persetujuan dan atau penolakan inisiatif anggota DPRD menjadi inisiatif DPRD secara kelembagaan.

Ranperda hak inisiatif anggota DPRD yang telah disetujui menjadi inisiatif DPRD melalui paripurna, akan ditindaklanjuti dengan pembahasan Ranperda bersama dengan walikota. . Setelah disetujui menjadi usul DPRD, Berdasarkan tata tertib DPRD Kota Makassar nomor: 1/P.DPRD/XI/2009, persidangan dilakukan melalui empat tingkatan pembicaran:
- Pembicaraan tingkat pertama adalah penjelasan pimpinan komisi/pimpinan rapat gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus terhadap Ranperda atau perubahan Perda hak inisiatif DPRD;
- Pembicaraan tingkat kedua adalah Pendapat walikota atau Pemerintah Daerah terhadap Ranperda usul DPRD dan jawaban fraksi-fraksi atas pendapat walikota;
- Pembicaran tingkat ketiga adalah pembahasan dalam rapat komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus yang dilakukan bersama antara DPRD dengan pihak eksekutif;
- Pembicaraan tingkat empat adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan laporan hasil pembicaraan tahap ketiga dan pendapat akhir fraksi-fraksi.

Dalam hal Ranperda yang diusulkan oleh pihak eksekutif, DPRD melakukan serangkaian pembahasan melalui tingkatan-tingkatan persidangan, dengan mekanisme sebagai berikut:
- Pembicaraan tingkat pertama adalah paripurna penjelasan walikota dalam rapat paripurna terhadap Ranperda yang diajukan oleh Pemerintah Daerah;
- Pembicaraan tingkat kedua adalah pandangan umum fraksi-fraksi di DPRD dan jawaban walikota terhadap pandangan umum fraksi-fraksi atas Ranperda tersebut;
- Pembicaran tingkat ketiga adalah jawaban pembahasan dalam rapat komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus yang dilakukan bersama antara DPRD dengan pihak eksekutif;
- Pembicaraan tingkat empat adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan laporan hasil pembicaraan tahap ketiga dan pendapat akhir fraksi-fraksi.
Dalam hal Ranperda yang diusulkan secara bersamaan antara DPRD dan Eksekutif, maka Ranperda yang dibahas adalah yang diusulkan oleh DPRD. Sementara Rancangan yang dibuat oleh eksekutif menjadi pembanding atau pelengkap.

2. Mekanisme Review Perda oleh Pemerintah Pusat dan Daerah

Permasalahan yang akan dikaji dan dianalisa dalam review Perda dan Ranperda oleh Pemerintah Daerah akan dipaparkan berdasarka fakta lapangan yang dialami oleh Pemerintah Daerah. Permasalahan tersebut terkait dengan prosedur yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
 Penyerahan Ranperda yang terkait dengan APBD, Pajak Daerah, Retribusi, dan Tata Ruang serta Perda-Perda lainnya yang dibentuk oleh daerah yang lebih bercorak kedaerahan/local dan atau Perda yang mengagregasi nilai-nilai masyarakat di daerah;
 Penerimaan kembali atas perda atau raperda dari pemerintah (pusat) setelah direview dan tindaklanjut yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan hasil review.

Berkaitan dengan Review Perda tersebut, maka kejelasan terhadap kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam system ketatanegaraan kita menjadi penting. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kata pemerintah, pemerintahan, dan Pemerintahan Daerah dibedakan artinya satu sama lain. Dalam ketentuan umum dirumuskan bahwa pemerintah adalah pemerintah pusat, yaitu Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. Sementara Pemerintahan Daerah adalah Gubernur/Bupati/Walikota bersama dengan DPRD provinsi/kabupaten/kota .

a. Eksekutif Review Perda oleh Kementrian Dalam Negeri

Di era otonomi daerah, proses pembentukan Peraturan Daerah sangat berpotensi timbulnya keanekaragaman dan pertentangan isi materi muatan Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lebih jauh lagi akan terjadi berbagai kemungkinan dalam memberikan penafsiran yang beragam terhadap isi materi Peraturan Daerah yang akan berimplikasi pada penerapannya yang juga dapat menimbulkan pertentangan.

Dalam proses review oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan atas Perda-Perda kabupaten/kota dilakukan dengan cara assistance dan evaluasi. Dalam proses assistance dan evaluasi tersebut, tidak terdapat peraturan khusus yang mengatur mekanismenya secara rinci, kecuali persoalan tenggang waktu melalui edaran dan sosialisasi ke daerah kabupaten/kota.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberikan waktu paling lama 3 hari sebelum Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan konsultasi Perda, surat pemberitahuan berikut dengan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dikonsultasikan sudah harus diterima oleh Biro Hukum Pemerintah Provinsi.

Waktu konsultasi untuk Perda selain yang terkait dengan Pajak, Retribusi, APBD, dan RTRW, biasanya selesai pada hari itu juga dengan memberikan rekomendasi/catatan penting atas Perda yang dikonsultasikan. Sementara review untuk Perda yang terkait dengan Pajak, Retribusi, APBD dan RTRW membutuhkan waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan oleh karena Perda-Perda tersebut harus dikaji dengan seksama, jangan sampai memberatkan atau membebani masyarakat, melanggar peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya atau melanggar kepentingan umum. Perda-Perda ini biasanya membutuhkan waktu paling cepat 2 minggu hingga Perda hasil review tersebut diterima kembali oleh pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti.

Jika konsultasi dengan bertemu langsung dengan Biro Hukum Pemerintah Provinsi, tidak ada secara tertulis hasil resmi yang diberikan yang menjadi standar pelayanan pada Biro Hukum Pemerintah Provinsi dalam melakukan asistensi Perda kabupaten/kota. Lebih banyak Pemerintah kabupaten/kota merekam dan melakukan pencatatan atas hasil konsultasi tersebut untuk ditindaklanjuti dalam pembahasan lanjutan Perda yang akan dibentuk. Selain pencatatan langsung/rekam yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, juga dilakukan melalui persuratan, baik oleh Pemerintah Daerah untuk permintaan review maupun Pemerintah provinsi dan Pemerintah Pusat untuk jawaban hasil review.

Dalam proses review tersebut, antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Provinsi kadang terjadi perdebatan terhadap substansi materi yang diatur dalam sebuah Perda. Hasil review Pemerintah Provinsi merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengubah muatan materi Ranperda, namun karena masalah yang dihadapi oleh daerah yang membutuhkan ketegasan dalam materi Perda sehingga kadang terjadi pertentangan dengan undang-undang di atasnya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam kasus tersebut adalah Ranperda Pelarangan Peredaran Miras di Kabupaten Barru. Saat Ranperda tersebut di konsultasikan ke Pemerintah Provinsi, Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan merekomendasikan untuk membatalkan materi tentang “pelarangan” peredaran miras, cukup pengendalian peredarannya. Namun DPRD-nya tetap ngotot. Akhirnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tetap meneruskan ke Pemerintah Pusat. Ternyata hasilnya, Perda tersebut dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri. Pembatalan tersebut dilakukan karena bertentangan dengan undang-undang dan kondisi di daerah. Ada tempat-tempat khusus yang tetap diperbolehkan orang untuk minum minuman keras (MIRAS) misalnya hotel, termasuk peredarannya dengan kadar alkohol tertentu, jadi bukan dilarang sama sekali .

Untuk mengontrol proses review Perda, selain dilakukan melalui persuratan, juga dilakukan komunikasi via telpon. Selama proses review, komunikasi terus dilakukan antara Pemerintah Kota/Kabupaten dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat (Kementrian Dalam Negeri dan departemen terkait) hingga proses review difinalisasikan yang selanjutnya akan ditindaklajuti oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Tindaklanjut hasil review oleh Pemerintah Pusat dilakukan oleh Pemerintah Kota bersama dengan Badan Legislasi DPRD dan atau Panitia Khusus DPRD atas Perda yang akan dibentuk. Jika Perda tersebut ada perubahan yang harus ditindaklanjuti, maka perubahan tersebut dibicarakan oleh pihak Pemerintah Kota bersama dengan DPRD untuk melakukan perbaikan sampai Perda tersebut difinalisasikan untuk selanjutnya ditetapkan dalam paripurna DPRD. Namun demikian, beberapa Perda ditunda pembahasannya karena ada perubahan regulasi di tingkat nasional yang menuntut Pemerintah Daerah untuk menunda pembahasan. Dalam masalah ini, contoh kasus Perda Hak Inisiatif DPRD Kota Makassar yakni Perda Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ranperda ini telah digulirkan sejak tahun 2009 hingga sekarang namun belum ditetapkan karena menunggu selesainya Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan dan Perda yang sama (RTRW) di tingkat Kota Makassar.

Dalam hal Perda yang sudah ditetapkan oleh DPRD yang dievaluasi oleh Pemerintah Pusat dan membutuhkan perbaikan, maka Kementerian Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan pembatalan, baik sebagian maupun keseluruhan Perda. Dalam rentan waktu 2004 – 2009, terdapat 1 (satu) buah Perda Kota Makassar yang dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia yakni Perda Nomor 9 tahun 2004 tentang Pengaturan, Perlindungan dan Jasa Pelayanan Ketenagakerjaan dalam wilayah Kota Makassar melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 284 tahun 2009. Pembatalan tersebut terkait lampiran nomor 3, 4, 6 dan 10 dalam Perda yang dimaksud.

Pembatalan Perda melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri yang selama ini dilakukan banyak ditentang oleh Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut M. Yusran, SH., MH. (Biro Hukum dan HAM Pemprov. Sulawesi Selatan) tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan Peraturan Daerah, yang ada itu adalah Peraturan Presiden. Ini pula yang banyak menuai protes pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada ketidak konsistenan pemerintah pusat dalam hal membatalkan sebuah Perda. Padahal sudah sangat jelas tindak lanjut pembatalan sebuah Perda telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 45 ayat (3). Jika pembatalah tersebut dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, seharusnya didahului dengan perintah pembatalan yang mekanismenya diatur melalui Peraturan Presiden .

Di dalam pasal 145 ayat (3), UU No 32 Tahun 2004, tindak lanjut dari pembatalan Perda harus dibuat melalui Peraturan Presiden yang menyatakan pembatalan Perda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut oleh Pemerintah Daerah. Kemudian, menurut ketentuan pada ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut, kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung (pasal 145 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004) melalui Judicial Review.

Lebih jauh dari hal tersebut di atas, kalangan akademisi tidak hanya memandang mekanisme pembatalan Perda secara normative sebagaimana yang dijelaskan di atas. Menurut Prof. Dr. Aswanto, SH., MSi., DFM., terkait dengan Perda yang dibatalkan oleh Kementrian Departemen Dalam Negeri sebenarnya menyalahi dari segi teori dan tidak lazim dilakukan. Dari segi teori, produk legislasi tidak boleh dibatalkan oleh eksekutif. Ini logika negara yang tidak jalan. Oleh karena itu, tidak semestinya Perda dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui sebuah keputusan, cukup Departemen Dalam Negeri memberikan masukan terhadap kajian mereka tentang Perda yang diasistensi dari daerah-daerah. Nanti Perda tersebut dibatalkan oleh Perda sendiri oleh daerah yang bersangkutan atas masukan dari berbagai pihak .

b. Judicial Review Perda oleh Mahkamah Agung

Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 145 ayat (5) menjelaskan bahwa apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan sebuah Perda karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung melalui Judicial Review.

Sejak tahun 2004 hingga sekarang, Pemerintah Kota Makassar belum pernah melakukan Judicial Review atas Peraturan Daerah yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Demikian juga halnya dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang lain di Sulawesi Selatan .

Selain Pemerintah Daerah yang dapat menjadi pemohon Judicial Review ke Mahkamah Agung atas Perda yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri, juga dimungkinkan warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya sebuah Peraturan Daerah (PERDA). Menurut ketentuan pasal 31A ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dijelaskan bahwa permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam undang-undang tersebut hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan atas berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
- perorangan warga negara Indonesia;
- kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau,
- badan hukum publik atau badan hukum privat.

Berdasarkan hasil identifikasi atas riset ini, belum ada warga Kota Makassar baik perseorangan maupun badan hukum yang pernah melakukan judicial review ke Mahkamah Agung atas Perda-Perda yang diberlakukan di Kota Makassar. Satu-satunya Judicial Review yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar bersama dengan unsure masyarakat dan KOPEL (Komite Pemantau Legislatif) adalah judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Undang-Undang nomor 27 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang akan menganulir Peraturan Walikota Makassar nomor 07 tahun 2008 tentang Pembentukan Ombudsman Kota Makassar .

Meskipun tidak ada yang pernah melakukan judicial review pemberlakuan Perda ke Mahkamah Agung baik perseorangan maupun badan hukum di Kota Makassar, bukan berarti tidak ada masalah dalam mekanisme judicial review atas peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Telah dijelaskan di atas bahwa tindak lanjut dari pembatalan Perda menurut pasal 145 ayat (3), UU No 32 Tahun 2004, harus dibuat melalui Peraturan Presiden (meskipun faktanya melalui Kepmendagri). Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, maka Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian, menurut Maria Farida (Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia), wewenang MA terkait pembatalan Perda berdasarkan Pasal 145 ayat (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 terbatas hanya menerima keberatan terhadap daerah yang tidak terima pembatalan Perda oleh Pemerintah, dan tidak berwenang menguji, apalagi membatalkannya. Dengan kata lain, Mahkamah Agung tidak membatalkan Perda. Tapi jika memang terbukti Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana telah dibatalkan melalui peraturan presiden, maka asasnya, Perda tersebut tidak bisa diberlakukan, karena sudah tidak punya kekuatan hukum lagi . Kesimpulannya, untuk apa lagi Pemerintah Daerah melakukan uji materil, jika tidak ada lagi peluang untuk memberlakukan kembali Perda yang telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Peraturan Presiden.

Sementara di lain pihak, kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang termasuk Perda (UU nomor 10 tahun 2004) telah diatur dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 juncto pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, pasal 11 UU Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 2004, pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009, dan pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang serta dapat membatalkannya.

Perda adalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dengan demikian dapat dianalisa dengan menggunakan metode logika deduktif/silogisme, maka yang menjadi premis mayornya adalah semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan premis minornya adalah peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dengan demikian, dapat di tarik sebuah konklusi/kesimpulan bahwa Peraturan Daerah dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Dengan kata lain, MA juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengujian dan pembatalan terhadap suatu Perda.

Dari analisa tersebut di atas, yang menjadi titik perhatian adalah pemohon yang mengajukan permohonan judicial review terhadap suatu Perda kepada Mahkamah Agung, yakni Pemerintah Daerah atas Perda yang dibatalkan oleh Peraturan Presiden menurut ketentuan UU Nomor 32 tahun 2004 dan warga negara perseorangan atau badan hukum menurut ketentuan pasal 31A ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Namun permohonan judicial review atas pembatalan Perda oleh Departemen Dalam Negeri tidak dengan serta merta Perda tersebut berlaku kembali karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau melanggar ketentuan umum. Artinya bahwa pasal 145 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang memberikan peluang kepada Kepala Daerah untuk melakukan judicial review atas Perda yang telah dibatalkan adalah mandul.

3. Respon Masyarakat atas Mekanisme Review Perda oleh Pemerintah Pusat dan Daerah


Berdasarkan data-data yang dikumpulkan, dalam rentan waktu 2004 - 2009 terdapat Perda yang dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia yakni Perda nomor 9 tahun 2004 tentang pengaturan dan perlindungan dan jasa pelayanan ketenagakerjaan dalam wilayah Kota Makassar. Melalui Kepmendagri nomor 284 tahun 2009, Perda tersebut dibatalkan khususnya lampiran nomor 3, 4, 6 dan 10.

Selain pembatalan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, beberapa Perda Lainnya yang kontroversi di masyarakat, antara lain Perda nomor 2 tahun 2006 tentang pengaturan perdagangan barang bekas layak pakai yang berasal dari luar Kota Makassar. Perlawanan masyarakat atas perda ini dilakukan oleh pebisnis barang bekas layak pakai karena dianggap diskriminatif. Di lain pihak, perdagangan barang bekas layak pakai dianggap dapat menurunkan omset penjualan barang yang penjualannya langsung dari produsen.

Perda lainnya adalah Perda nomor 2 tahun 2008 tentang Pembinaan anak jalanan gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Makassar. Perda ini banyak disoroti oleh NGO. Dalam Perda tersebut lebih pada pengaturan tata kota agar tidak semraut akibat banyaknya anak jalanan, pengemis, dan pengamen yang berkeliaran di jalan. Namun tidak ada upaya yang lebih kongkrit dilakukan untuk memberdayakan anak jalanan, pengemis, dan pengamen agar tidak berkeliaran lagi dijalan dengan sejumlah aktifitas yang mengganggu ketertiban kota. Padahal Perda ini menghasilkan anggaran milyaran rupiah. Menurut Prof. Dr. Aswanto, SH., MH., Perda ini pernah diteliti oleh mahasiswa Fakultas Hukum yang dipimpinnya dan menemukan bahwa pebentukan Perda ini menghabiskan anggaran sebanyak Rp. 2, 6 Milyar .

Implementasi Perda Nomor 2 tahun 2008 tentang Pembinaan anak jalanan gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Makassar ini hanya gencar dilakukan pada awal-awal pembentukannya. Di setiap perempatan jalan dibentuk posko oleh Dinas Sosial Pemerintah Kota Makassar. Namun akhir-akhir ini pengamen, anak jalanan dan pengemis kembali turun ke jalan dengan wajah baru sebagai peminta sumbangan, pengatur lalu lintas di persimpangan jalan dan penjual koran.

Perda nomor 7 tahun 2009 tentang Pelayanan Kesehatan di Kota Makassar juga menuai sorotan saat perancangannya. Seiring dengan kerja sama pelayanan kesehatan gratis antara pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Perda nomor 2 tahun 2009, maka pada saat perancangan Perda ini yang dituntut masyarakat adalah pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk Kota Makassar. Hal ini terkait juga dengan janji Syahrul Yasin Limpo yang saat itu baru saja terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Selatan yang saat kampanye telah menjanjikan pendidikan dan kesehatan gratis.

Namun faktanya dalam Perda ini, muatan materi pengaturannya lebih banyak pembebanan biaya pelayanan daripada pembebasan biaya pelayanan. Nampaknya Perda ini dibentuk sebagai pengganti Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Ujungpandang nomor 15 tahun 1999 tentang retribusi pelayanan kesehatan dan disingkronisasikan dengan Perda Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 tahun 2009 tentang kerjasama pelayanan kesehatan gratis antara pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Respon masyarakat atas Perda Pelayanan Kesehatan ini lebih banyak diakibatkan oleh euforia janji-janji politik saat kampanye Pilkada tentang kesehatan gratis. Masyarakat tidak mau tau atas pembebanan biaya kesehatan, yang namanya gratis sebagaimana yang telah dijanjikan, maka harus gratis. Polemik inilah yang biasanya bermasalah pada saat implementasinya di pusat-pusat layanan kesehatan, rumah sakit, puskesmas dan jarigannya. Padahal di samping pembebasan biaya pelayanan, masih ada komponen lain dalam pelayanan kesehatan tersebut yang dikenakan biaya.

Kasus-kasus tersebut di atas merupakan wujud respon masyarakat atas Peraturan Daerah yang akan diberlakukan maupun yang telah diberlakukan. Meskipun banyak Perda-Perda yang bermasalah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, hingga sekarang belum ada masyarakat maupun badan hukum yang melakukan judicial review atas Perda-Perda bermasalah tersebut ke Mahkamah Agung. Wujud respon tersebut baru sebatas diskusi untuk mendorong adanya revisi atas Perda yang dianggap bermasalah di masyarakat melalui rangkaian pertemuan, diskusi dengan instansi terkait, komunitas masyarakat dan DPRD untuk melakukan revisi maupun pembatalan terhadap materi pengaturan atas pasal-pasal yang dianggap bermasalah .

Ketiadaan masyarakat atau kelompok masyarakat atau badan hukum yang melakukan judicial review atas Perda yang dianggap merugikan hak-haknya disebabkan oleh beberapa factor, antara lain:
- Judicial review Perda ke Mahkamah Agung membutuhkan kemampuan financial;
- Kerugian materil atas hak-hak masyarakat yang dirugikan atas sebuah Perda tidak sebanding dengan kebutuhan financial yang harus dikeluarkan jika judicial review dilakukan;
- Pemahaman masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan dan mekanisme judicial review masih rendah.

Faktor-faktor tersebut di atas juga mempengaruhi sikap apatis masyarakat untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Agung, khususnya masyarakat yang terkena dampak atas pemberlakuan sebuah Perda. Belum lagi mekanisme pembatalan sebuah Perda masih terus menjadi pedebatan. Sikap masyarakat sipil, khususnya CSO/Ornop atas mekanisme review baik melalui eksekutif review oleh Kementrian Dalam Negeri maupun judicial review oleh Mahkamah Agung sama dengan pendapat kalangan akademisi. Bahwa sebuah produk legislasi tidak semestinya dibatalkan oleh eksekutif. Perda sejatinya hanya bisa dibatalkan dengan Perda .

Selain sorotan atas Perda yang sudah di bentuk, masyarakat sipil juga melakukan inisiasi dalam merumuskan rekomendasi atas sejumlah kebijakan Pemerintah Daerah. Pada bulan Februari 2010, KOPEL menfasilitasi terbentuknya gugus tugas (taskforce) pelayanan public yang terdiri dari akademisi, NGO, kelompok profesi, Ormas, dan anggota Partai Politik. Gusus tugas ini bertanggung jawab untuk mengkaji sejumlah kebijakan Pemerintah Daerah, melakukan identifikasi masalah-masalah sosial, melakukan kampanye dan media roudshow, serta menyusun paper akademik untuk mengusulkan rancangan Perda dan memberikan masukan atas kebijakan-kebijakan tersebut kepada DPRD dan Pemerintah Daerah. Naskah akademik yang telah berhasil dirumuskan adalah Naskah Akademik Perda Pelayanan Publik yang menjadi hak inisiatif DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dan Naskah Akademik Rancangan Perda Perlindungan Sumber Daya Alam yang sementara masih disosialisasikan .

F. Penutup

Demikian hasil riset ini kami susun. Kami berharap ada masukan dan tanggapan dari berbagai pihak yang dapat memperkaya hasil riset ini. Terima kasih kepada Biro Hukum Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan serta anggota DPRD Kota Makassar dan DPRD Sulawesi Selatan yang turut membantu memberikan informasi. Demikian pula dengan kawan-kawan dari NGO, masyarakat sipil, dan teman-teman KOPEL atas bantuannya dalam menyediakan dokumen yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini.