Jumat, 20 Agustus 2010

KAJANG DAN TRANSFORMASI NILAI BUDAYA

Oleh: Herman
(Bagian pertama dari dua tulisan)

Kajang tidak hanya sekedar wilayah administratif sebuah kecamatan di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Selain sebagai wilayah administratif, Kajang memendam segala rahasia kehidupan. Ia sebagai lambang dari tatanan komunitas adat, memiliki ciri tersendiri dari masyarakat kebanyakan, punya tata nilai, tradisi yang mengakar, unsur kepercayaan/religiusitas, hukum, sampai pada struktur kepemimpinan dan tatanan sosial yang diatur melalui hukum pasang ri kajang. Pasang ri Kajang adalah sebuah pesan-pesan lisan yang diwarisi oleh masyarakat Kajang secara turun temurun. Ia merupakan keseluruhan liku dan segala aspek kehidupan masyarakat yang wajib dituruti dan dilaksanakan. Ia bermakna sebagai fatwa, pesan, nasehat, tuntunan dan peringatan.

Semua tatanan kehidupan tersebut di atas tidak tercipta dengan sendirinya. Ada transfer pengetahuan dari dan di antara mereka. Proses ini lahir secara turun temurun dan dianut oleh masyarakat adat Kajang. Oleh karena itu ketika berbicara tentang Kajang, berarti ada dua hal yang harus dipahami dan dibedakan:

Pertama; Kajang sebagai wilayah administratif pemerintahan yakni salah satu kecamatan di antar 10 kecamatan lainnya di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.

Kedua; Kajang sebagai kawasan adat yang terletak di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang yang dalam struktur pemerintahan adat diistilahkan dengan lalang embaya (Kajang dalam/kawasan adat) dan ada pula disebut pantarang embaya (Kajang luar/di luar kawasan adat).

Dalam konteks bahasan kita kali ini, kita akan menggali Kajang sebagai kawasan adat yang memiliki tata nilai, tradisi yang dipelihara secara turun temurun yang dikenal bukan hanya masyarakat Indonesia, namun juga oleh manca negara. Sebagai kawasan adat dengan keaslian masyarakat yang bermukim di dalamnya menjadi daya tarik tersendiri bagi orang luar.

Karena keunikan masyarakatnya, tak sedikit dari mereka melakukan perjalanan ke dalam kawasan adat hanya untuk sekedar berkunjung dan melihat secara langsung kondisi alam dan aktifitas masyarakat di dalamnya. Bahkan tak sedikit orang terpelajar menyelesaikan studinya dengan menjadikan Kajang sebagai obyek penelitiannya. Karena itu kawasan adat Kajang bisa dikenal dimana-mana karena memiliki pengaruh bagi kehidupan masyarakat, baik dalam kawasan adat (lalang embaya) atau di luar kawasan adat (pantarang embaya).

Keunikan masyarakat Kajang tidak terlepas dari tata nilai yang sudah sejak lama terbangun. Sebagai sebuah komunitas adat terpencil yang hidup sederhana, bersahaja di tengah-tengah masyarakat dengan kehidupan yang hedonis, modern tentu saja sedikit banyak saling mempengaruhi. Kehidupan tradisional sebagaimana yang dicontohkan dalam kawasan adat dengan kehidupan modern begitu jauh berbeda. Masyarakat modern memandang bahwa kehidupan ini tidak boleh statis, ia harus dan terus bergerak untuk maju. Kondisi ini yang kemudian memungkinkan pada saat-saat tertentu akan terjadi akulturasi budaya yang dapat mengaburkan atau menghilangkan keaslian budaya masyarakat Kajang.

Pengaruh budaya atau tradisi dari luar sudah pasti akan banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat adat Kajang, tapi tidak sedikit pula sistim nilai dan budaya, tradisi atau kebiasaan masyarakat adat Kajang dapat menjadi contoh dan inspirasi masyarakat luar. Bahkan pemahaman akan kebiasaan masyarakat adat Kajang dapat menyadarkan orang luar tentang makna kehidupan, menjaga kelestarian alam dan lingkungan, ketaatan pada hukum dan aturan, sampai pada makna sebuah kepemimpinan.

Tallasa Kamasemasea (Hidup Sederhana/Bersahaja)

Hidup sederhana (tallasa kamasemase) adalah salah satu ciri kehidupan masyarakat adat Kajang. Ini salah satu pandangan dunia dari ciri utama budaya tradisonal yang menekankan orientasi hidup saling rukun dalam satu rumpun, saling berbagi, tidak menjatuhkan satu sama lain. Pendapat yang tajam, konfrontasi, persaingan terbuka, penonjolan prestasi yang berlebihan, hedonis, dipandang sebagai nilai-nilai yang kurang baik karena akan memicu disharmonisasi dalam masyarakat.

Kehidupan masyarakat adat Kajang patut menjadi contoh dalam hal kesederhanaan hidup. Hidup dengan kesederhanaan tanpa memikirkan hidup mewah membawa makna tersendiri di tengah kehidupan masyarakat modern. Di tengah-tengah kehidupan yang serba hedonis, masyarakat adat Kajang justeru kembali ke alam dengan memelihara harmonisasi kehidupan di antara makhluk. Selain harmonisasi dengan dan antar makhluk, juga tak terlepas dari hubungan dengan sang maha pencipta yang mereka sebut dengan Turia'ra'na (yang berkehendak).

Tallase kamase-mase merupakan bagian dari prinsip kehidupan dari pasang ri Kajang yang secara eksplisit memerintahkan masyarakat Kajang untuk hidup secara sederhana dan bersahaja. Secara harfiah, tallase kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turia’ra’na (yang berkehendak). Sikap hidup sehari-hari serba sederhana yang penting berkecukupan tidak belebihan. Pasang ri Kajang mengatakan:

Ammentengko nu kamase-mase.
A’cci’dongko nu kamase-mase.
A’dakkako nu kamase-mase.
A’mia’ko nu kamase-mase.

Artinya:
Berdiri engkau sederhana.
Duduk engkau sederhana.
Berjalan engkau sederhana.
Berbicara engkau sederhana.


Prinsip tallase kamase-mase juga berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan maupun dalam kebutuhan berpakaian. Karena itu, tallasa kamase-masea diwujudkan dalam kehidupan masyarakat Kajang antara lain tercermin pada cara berpakaian mereka yang hanya 2 (dua) warna yakni hitam dan putih. Baju, sarung, dan penutup kepala dengan warna hitam dan celana dengan warnah putih. Berpakaian dengan beragam warna menandakan kemewahan yang dimaknai seseorang dalam hidupnya lebih dari cukup. Dua warna pakaian ini juga tidak lepas dari makna spiritualitas dalam kehidupan masyarakat Kajang. Warna hitam yang dimaknai sebagai kedalaman pengetahuan/spiritualitas juga masyarakat Kajang memandang bahwa manusia berasal dari kegelapan dan terlahir ke dunia dengan cahaya yang terang benderang yang dimaknai dengan warna putih. Selain itu, hitam adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Menurut pasang, tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turia’ra’na.

Cermin kesederhanaan mereka yang lain adalah membangun rumah dengan sederhana. Masyarakat Kajang dalam membangun rumah tempat tinggal mereka hampir semua sama besar dengan model yang sama, tak ada yang mewah, tak ada yang bertingkat. Rumah kayu yang bahan bakunya diambil dari hutan sesuai dengan kebutuhan atas ijin pimpinan adat yang mereka sebut Amma Toa. Perabot dalam rumah pun tidak ada, cukup dengan tikar untuk duduk melantai yang terbuat dari daun lontar atau daun pandan. Ketika anda naik ke rumah, maka yang pertama didapati adalah dapur yang dekat dengan pintu masuk rumah, baru ruang tengah untuk tamu dan bilik bagian belakang. Selain model rumah yang sama, juga posisi rumah yang semuanya menghadap ke arah barat tempat terbenamnya matahari. Apa maknanya? Maknanya adalah bahwa semua kehidupan ini akan berakhir. Sama dengan tenggelamnya matahari dalam kegelapan malam. Tallasa kamase-masea ini tercermin dalam Pasang ri Kajang:

Anre kalumannyang kalumpepeang.
Nurie’a kamase-maseaji.
Angnganre na rie’.
Care-care na rie’.
Pammalli juku’ na rie’.
Koko na rie’.
Balla situju-tuju.

Artinya:
Kekayaan itu tidak kekal.
Yang ada hanya kesederhanaan.
Makan secukupnya.
Pakaian secukupnya.
Pembeli ikan secukupnya.
Kebun secukupnya.
Rumah seadanya.



Apa makna kesederahanaan masyarakat Kajang bagi kehidupan masyarakat modern saat ini? Masyarakat modern sekarang mengejar hidup dengan materi yang terkadang mengakibatkan stres, kecewa, bahkan kasus bunuh diri juga mewarnai kehidupan mereka. Perilaku sosial yang menyimpang yang semakin menjauhkan manusia dari eksistensinya sebagai manusia. Kehidupan hedonis, hura-hura dan segala macam bentuk kehidupan yang tak punya tata nilai. Perilaku hidup mereka mungkin sedikit bisa bercermin pada kehidupan masyarakat Kajang yang penuh dengan kebersahajaan. Meniru prinsip hidup mereka tanpa menghilangkan rasa optimis untuk maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan modernisasi yang dipahami. Sebab kebersahajaan dan kesederhanaan masyarakat Kajang tidak berarti menentang segala macam perubahan. Prinsip hidup kamase-masea ini diaktualisasikan dalam pemahaman kosmologi, antara Tuhan, alam dan manusia. Pemahaman ini diimplementasikan dalam ketaatan pada aturan adat, relasi social, dan lain-lain. Dari sini dapat dilihat bahwa implementasi pemahaman ini ada proses negoisasi kebudayaan dengan modernitas.

Menjaga Kelestarian Alam dan Lingkungan

Di tengah-tengah kehidupan yang hedonis, masyarakat Kajang justeru kembali ke alam dengan memelihara harmonisasi kehidupan di antara makhluk. Selain harmonisasi dengan dan antar makhluk, juga tak terlepas dari hubungan dengan sang maha pencipta yang mereka sebut dengan Turia'ra'na (yang berkehendak). Hal ini pulalah yang menginspirasi masyarakat Kajang untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan. Mereka percaya bahwa kerusakan lingkungan dapat membawa malapetaka bagi manusia. Hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia sebagai satu kesatuan kosmologi tetap terjaga. Terlepas dari kepercayaan "patuntun" , konsep ketauhidan dalam Islam terimplementasi dalam kehidupan masyarakat di dalam kawasan adat kamase-masea.

Tidak sembarang orang menebang kayu dalam hutan kawasan adat Kajang. Bila ketahuan melakukan penebangan atau pengrusakan hutan, maka akan dihukum sesuai dengan ketentuan adat. Penebangan kayu harus seijin dengan pemangku adat, itupun disesuaikan dengan kebutuhan. Ketentuan ini sangat ketat karena dipercaya oleh masyarakat Kajang bahwa hutan adalah sumber kehidupan. Tidak boleh ada pengrusakan karena akan terjadi musibah bila hal itu dilakukan.

Persepsi masyarakat Kajang tentang pentingnya menjaga hutan sebagai sumber kehidupan lebih dulu dipahami ketimbang masyarakat modern. Pemahaman mereka tidak sekedar memandang pengrusakan hutan yang akan mendatangkan bencana alam, misalnya banjir, akan tetapi lebih daripada itu, hutan merupakan sumber kehidupan, yang diagungkan dan disakralkan. Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya, sebagaimana tercermin dalam bunyi pasang berikut:

Jagai lino lollong bonena,
kammayatompa langika,
rupa taua siagang boronga

Artinya:
Peliharalah dunia beserta isinya,
demikian pula langit,
manusia dan hutan.