Kamis, 26 Agustus 2010

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian Kedua

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

2.2. Khusus

2.2.1. SUBSTANSI


Tujuan pengaturan dan masalah yang ingin dipecahkan


PERDA –PERDA yang lahir di Bulukumba umumnya tidak disertai dengan Naskah Akademik. Kelahiran sebuah PERDA lebih banyak dimotivasi oleh adanya perintah dari undang-undang yang di atasnya. Pemerintah daerah atas perintah undang-undang tersebut tidak merasa penting untuk menggali aspek-aspek filosofis, sosiologis, politis dan yuridis sehingga Naskah Akademik tidak dianggap penting untuk diadakan. Hal ini juga sebenarnya banyak dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran pihak DPRD dan Pemerintah Daerah atas pentingnya Naskah Akademik dalam proses pembahasan sebuah PERDA. Dengan tidak adanya NA berarti bahwa dalam proses penyusunan PERDA-PERDA oleh Pemerintah Daerah tidak barengi dengan penggalian dan pengkajian masalah dan kebutuhan masyarakat sehingga persoalan yang ingin dipecahkan oleh PERDA akhirnya tidak tepat sasaran dan tidak memiliki jaminan dalam penyelesaian persoalan apalagi memberikan perlindungan terhadap masyarakat.

Beberapa PERDA yang berhubungan dengan pajak dan retribusi daerah memang sangat dibutuhkan oleh daerah dalam hal memberikan tambahan pemasukan kas daerah, antara lain PERDA No 6 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Pasar, PERDA No 7 Tahun 2007 tentang Retribusi Terminal, PERDA No 9 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan, PERDA No 10 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Hewan, dan PERDA-PERDA APBD. Namun dalam pelaksanaan PERDA-PERDA ini tidak mampu menjawab permasalahan yang ada. Tingkat kemandirian daerah Kabupaten Bulukumba masih sangat rendah, hal ini ditandai dengan kemampuan meraup PAD rill yang hanya 3,8% dari total keseluruhan pendapatan atau Rp. 19,5 M (PAD – PPJ) dari total pendapatan sebanyak Rp. 505,2 M. Padahal untuk membiayai pembangunan di Kabupaten Bulukumba untuk satu tahun anggaran membutuhkan anggaran sebesar Rp. 566 M. Hal ini mengakibatkan terjadinya devisit anggaran untuk tahun 2008 sebesar Rp. 59,7 M. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan dalam memetakan potensi-potensi pendapatan daerah yang dapat menambah pemasukan kas daerah.

Dalam hal perlindungan kepada masyarakat atas obyek pajak dan retribusi, tidak menjelaskan secara khusus konpensasi bagi masyarakat.

Hal lain adalah PERDA No 11 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 09 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Penertiban Ternak. Munculnya PERDA ini dilatarbelakangi oleh banyaknya binatang ternak yang berkeliaran. Masyarakat cukup resah dengan masalah ini. Banyak kecelakaan di jalan karena ternak yang tidak diperhatikan oleh pemiliknya. Bukan hanya dilepas, tetapi juga ditambatkan di pinggir jalan yang mengakibatkan banyaknya terjadi kecelakaan lalu lintas.

Dalam PERDA ini dijelaskan bahwa pemilik ternak yang ternaknya berkeliaran akan dikenai pidana. Namun faktanya, masih banyak ternak yang berkeliaran di Kabupaten Bulukumba. Pemilik ternak melepas begitu saja, namun oleh pihak aparat hukum tidak melakukan penindakan. Bukan hanya di desa-desa, di dalam kota Kabupaten Bulukumba juga terjadi demikian.

Keberadaan PERDA ini tidak dibarengi dengan pengaturan tentang tidak lanjut penertiban ternak yang berkeliaran. Misalnya penjara bagi ternak yang berkeliaran dan dilepas oleh pemiliknya. Fasilitas ini terbatas, tidak diadakan di setiap desa. Bahkan untuk personil dan perlengkapannya yang akan digunakan untuk mengurusi ternak ini tidak disediakan.

Siapa yang diuntungkan dari lahirnya sebuah PERDA?

Dari PERDA-PERDA yang lahir dalam kurun waktu 2004 hinga sekarang dilatarbelakangi dengan berbagai kepentingan, baik kepentingan masyarakat, pemerintah dan pihak luar. Berbagai PERDA tentang retribusi lebih banyak menguntungkan pemerintah daerah dalam hal pencapaian target pendapatan daerah. Meskipun dalam satu sisi, PERDA-PERDA ini juga untuk kepentingan masyarakat dalam rangka mengakselerasi pembangunan di daerah. Namun faktanya, Dinas Pendapatan Daerah tidak mampu mencapai target PAD yang setiap tahun ditargetkan melalui penetapan APBD di DPRD. Dalam dua tahun terakhir, Bulukumba tidak mampu mencapai target PAD. Meskipun target tidak tercapai, setiap tahunnya, target PAD ini tetap dinaikkan. Hal ini memberatkan Dinas Pendapatan Daerah. Dalam penarikan pajak dan retribusi banyak kebocoran, pemerintah daerah tidak mampu mengantisipasi. Bentuk kebocoran dapat dilihat dari petugas yang tidak memberikan karcis kepada pengguna layanan, dan banyaknya pejabat tidak mengurus surat perijinan seperti IMB untuk bangunan melreka padahal pemberlakuan pajak tidak memberikan pengcualian kepada wajib pajak.

Menaikkan target PAD meskipun dapat diproyeksi tidak akan tercapai dengan berpijak pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, namun DPRD dalam pembahasan anggaran tetap memberikan target tersebut. Padahal oleh pihak eksekutif, khususnya Dinas Pendapatan Daerah telah memberikan pandangan yang berbeda, bahwa target tersebut tidak akan mungkin dicapai. Oleh berbagai kalangan dianggap politis. Karena hal ini cukup berpengaruh pada peningkatan tunjangan komunikasi intensif anggota DPRD. Semakin tinggi target PAD semakin tinggi tunjangan anggota dewan. Karena besarnya tunjangan anggota DPRD dicluster berdasarkan jumlah pendapatan daerah, termasuk target PAD setiap tahun. Ketidakmampuan Dinas Pendapatan Daerah untuk meraup PAD dan mencapai target dalam satu tahun anggaran lebih pada kapasitas dan sumber daya yang dimiliki. Sehingga PERDA-PERDA yang berhubungan dengan pajak dan retribusi daerah berjalan tidak efektif. Sama halnya dengan PERDA Nomor 09 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Penertiban Ternak. Kedua-duanya tidak mampu diimplementasikan karena perangkat untuk penegakan PERDA ini masih lemah. Tidak punya dukungan operasional dalam menata pelaksanaan implementasi PERDA sehingga tidak berjalan maksimal.

Bagi kalangan usaha, PERDA-PERDA yang terkait dengan pajak dan retribusi tidak menjadi persoalan. Hanya saja dalam implementasinya cenderung dipersulit dengan banyaknya aturan lain yang secara langsung tidak terkait dengan PERDA-PERDA tersebut. Sebagai contoh dalam pengurusan SITU, pengusaha diwajibkan untuk melampirkan berbagai dokumen, misalnya IMB. Sementara banyak pengusaha yang memiliki tempat usaha dengan status kontrakan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pihak luar selalu punya kepentingan dalam pembuatan PERDA. PERDA Transparansi dan Partisipasi awalnya diinisiasi atas prakarsa P2TPD (Program Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah). P2TPD merupakan program World Bank yang masuk ke 14 daerah kabupaten di Indonesia, salah satunya adalah Kabupaten Bulukumba. Oleh Word Bank mempersyaratkan bagi Pemerintah Kabupaten untuk membuat PERDA Transparansi dan Partisipasi untuk cairnya investasi di daerah sasaran program. Meskipun awalnya diinisiasi oleh World Bank, PERDA ini cukup menguntungkan masyarakat sipil sebagai “amunisi” dalam rangka turut berpartisipasi dalam kebijakan pemerintah daerah. Demikian pula dalam mendorong transparansi kebijakan pemerintah daerah sebagai salah satu prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, masyarakat sipil dapat menjadikan PERDA ini sebagai “senjata” untuk mengakses dokumen-dokumen publik yang oleh pemerintah selama ini dianggap sebagai rahasia negara. Keunggulan dalam PERDA ini juga adalah dilembagakannya Komisi Transparansi dan Partisipasi yang anggotanya terdiri dari masyarakat sipi. Komisi ini bertujuan untuk mengawal PERDA transparansi dan partisipasi dalam implementasinya agar dapat berjalan dengan baik.

Namun dalam pelaksanaannya, PERDA ini masih membutuhkan sosialisasi yang lebih merata, baik di tingkat pemerintahan maupun di tingkat masyarakat sipil. Karena PERDA ini tidak berangkat dari sebuah kesadaran dalam pembentukannya, maka dalam implementasi PERDA ini cenderung diabaikan oleh badan, kantor dan dinas-dinas. Tidak menjadi gayung bersambut antara masyarakat yang ingin berpartisipasi dan keinginan jajaran pemerintahan untuk transparan dalam setiap kebijakan. Hal ini terjadi karena PERDA ini awalnya dibentuk hanya sebagai prasyarat agar investasi World Bank dapat segera dicairkan.

Selain itu, secara umum PERDA dapat membuat terjadinya gejolak sosial. Dalam implementasinya sebuah PERDA dapat menimbulkan benturan kepentingan dalam masyarakat. Misalnya saja PERDA No 12 tahun 2006 tentang Tata Cara Pemilihan. Dalam hal pengangkatan kepala desa PERDA ini memberikan keistimewaan kepada PNS tinimbang TNI/POLRI dalam pencalonan. PNS dalam pencalonan tidak mesti hilang status PNS-nya, berbeda halnya dengan TNI/POLRI harus mengundurkan diri/pensiun. Hal ini dianggap menimbulkan diskriminasi. Di lain pihak, jika PERDA ini dijalankan akan menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Dengan satatus keanggotaan dalam TNI/POLRI, kekuasaan dan pengaruh atas status yang disandangnya akan memberikan tekanan psikologis bahkan intimidasi kepada masyarakat sipil yang tidak punya kekuatan apa-apa, khususnya yang terlibat dalam kepanitiaan. Akibatnya gejolak sosial sewaktu-waktu dapat terjadi.

Dalam hal kemandirian desa, PERDA Nomor 19 tahun 2006 tentang ADD (Alokasi Dana Desa) dan PERDA Nomor 15 tahun 2006 tentang Kedudukan Keuangan Desa memberikan keuntungan bagi masyarakat desa untuk dapat mengelola sendiri keuangannya. Ini dapat dilakukan oleh desa dengan membuat APBD desa dengan berpedoman pada PERDA Nomor 14 tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Namun dalam banyak fakta di Kabupaten Bulukumba, masih banyak desa yang belum mengimplementasikan PERDA-PERDA ini. Karena itu, perlu petunjuk teknis melalui Peraturan Bupati untuk dijadikan acuan oleh desa dalam mengimplementasikan PERDA-PERDA yang berhubungan dengan desa. Petunjuk teknis ini harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat desa, agar tidak memberatkan. Dengan jalan partisipasi masyarakat, PERDA-PERDA ini dapat dijalankan tanpa ada komplain dan masyarakat dapat menerima dengan baik.

Selain hal tersebut di atas, PERDA yang paling banyak muncul adalah PERDA Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. PERDA ini paling banyak mengalami perubahan akibat dari PP yang mengatur masalah ini juga berulang kali mengalami perubahan. PERDA ini terkait dengan kepentingan DPRD karena PERDA ini yang mengatur tentang gaji dan tunjangan anggota DPRD. Meskipun perubahan terakhir dari PERDA ini memberikan peluang peningkatan gaji dan tunjangan anggota DPRD, tapi tidak dapat dikatakan bahwa anggota DPRD mempunyai andil besar dalam mendongkrak penghasilan anggota dewan. Penambahan tunjangan ini bukan semata-mata dari peran DPRD, akan tetapi dipengaruhi oleh variabel dari luar DPRD dalam hal ini PP yang mengatur tentang kedudukan keuangan pimpinan dan anggota DPRD.