Kamis, 26 Agustus 2010

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian keempat

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Beban dan manfaat yang ditimbulkan terhadap anggaran daerah

Setiap PERDA yang ditetapkan membutuhkan biaya ratusan juta rupiah. Bila dikalkulasi besaran anggaran untuk melahirkan PERDA dengan jumlah 57 PERDA tentu akan membutuhkan milyaran rupiah dalam kurun waktu tahun 2004 hingga sekarang. Belum lagi saat implementasi PERDA, akan membutuhkan cost atas konsekuensi yang ditimbulkan dari pemberlakuan PERDA tersebut.

Satu-satunya manfaat yang mendatangkan uang atau menambah kas daerah adalah PERDA yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah. Bila dikalkulasi dengan mengambil sampel tahun 2007 dengan total PAD yang ditargetkan sebesar Rp. 20 milyar sebagai manfaat dari terbitnya PERDA pajak dan retribusi daerah, maka selama 4 tahun yang dapat diambil dari manfaat PERDA ini adalah sebesar Rp. 80 milyar. Hal inipun masih kurang dengan melihat target PAD Kabupaten Bulukumba yang tidak pernah tercapai dalam tahun-tahun terakhir ini. Jika dikalkulasi dengan jumlah PERDA sebanyak 57 buah, maka dapat diprediksi di atas 50 % dari Rp. 80 milyar akan tersedot hanya untuk penyusunan dan pembentukan PERDA selama kurun waktu 4 tahun. Hal ini dapat diprediksi dengan melihat ritme penyusunan PERDA di eksekutif dan pembahasan PERDA di legislatif. Karena setiap PERDA yang akan ditetapkan, tidak dianggap “sah” bila tidak disertai dengan ritual studi banding. Sebagai gambaran untuk pembahasan PERDA Nomor 1 tahun 2007 tentang perubahan nama Rumah Sakit Umum Bulukumba saja, anggota DPRD keluar daerah untuk studi banding atas PERDA tersebut. Padahal PERDA ini hanya satu lembar dengan 3 pasal yang mengatur tentang (1) definisi; (2) Perubahan nama dari RSUD Kabupaten Bulukumba ke RSUD H. Sultan Daeng Raja; dan (3) waktu pemberlakuan PERDA. Bisa dibayangkan dengan PERDA-PERDA yang lain yang lebih banyak ditetapkan atas perintah UU setelah diatur dalam PP yang membutuhkan konsultasi kepada Mendagri. Hal ini tentu tidak membutuhkan biaya yang sedikit. Padahal di kabupaten tetangganya yakni Bantaeng telah lama mengganti nama RSUDnya dengan nama tokoh dari Kabupaten Bantaeng. Ongkos pulang balik dari dan ke Bantaeng hanya Rp. 10.000

Tingkat kesesuaian terhadap konstitusi dan peraturan perundang-undangan

Dalam kontes Bulukumba justru PERDA-PERDA lebih banyak dihasilkan hanya karena tuntutan dari aturan yang lebih diatas atau tingkat nasional. Belum banyak PERDA yang dihasilkan dari upaya menggali potensi daerah atau melindungi warga secara ekonomi, sosial budaya dan hukum. Kecendrungannya adalah setiap ada peraturan atau perubahan aturan ditingkat nasional, maka pemerintah daerah akan menindak lanjuti dengan pembuatan PERDA atau perubahan PERDA. Contohnya PERDA tentang Pembentukan tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja lembaga teknis kabupaten.

Di Bulukumba ada dua PERDA yang direkomendasikan oleh pusat untuk segera dicabut, yaitu PERDA tentang Pajak Produksi hasil Perkebunan, yang obyeknya adalah PT. Lonsum, karena hasil perkebunan karet ini juga telah dipungut pajaknya oleh pemerintah pusat. Kedua adalah pajak pengangkutan hasil bumi, alasan pusat untuk segera dicabut adalah akan menghambat perekonomoian dengan tingginya biaya operasional produksi, analoginya adalah kalau setiap daerah memungut pengangkutan tersebut setiap kabupaten yang dilewati maka biayanya akan semakin tinggi dan ini merugikan masyarakat dan pengusaha. Memang pada awal masa-masa otonomi daerah, muncul trend di kabupaten-kabupaten untuk membuat regulasi yang tujuannya mengumpulkan pajak atau retribusi, pemerintah kabupaten berusaha sekreatif mungkin bagaimana ada pos-pos yang dapat dipungut bayaran dari sektor ekonomi masyarakat. Alhasil banyak PERDA yang tiba-tiba bermunculan mengerus uang rakyat dengan alasan otonomi daerah, bahwa sebuah kabupaten mempunyai otonomi yang luas untuk mengatur daerahnya, termasuk meningkatkan pendapatan daerah.

Setelah berjalan beberapa tahun, dan dievaluasi ternyata justru PERDA –PERDA tersebut menghambat peningkatan ekonomi masyarakat, belum lagi pajaknya menjadi dobel karena obyek pajak juga telah membayar kepada pemerintah pusat.

Kemudian ada beberapa PERDA –PERDA yang tidak memasukkan PERDA No 10 Tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di konsideran PERDA tersebut, padahal PERDA itu ditetapkan setelah PERDA 10 tahun 2005 lahir. PERDA –PERDA tersebut adalah :
• PERDA No. 12 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan Pengangkatan, Pelantikan, Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa
• PERDA No. 13 Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa
• PERDA No. 14 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Desa
• PERDA No. 15 Tahun 2006 tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa
• PERDA No. 16 Tahun 2006 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa
• PERDA No. 18 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa
• PERDA No. 19 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Desa
• PERDA No. 20 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa

Potensi masalah dalam implementasi


Ada asumsi yang mengatakan bahwa anggota DPRD dalam membahas dan menetapkan sebuah PERDA tidak akan lepas dari kepentingan pragmatis anggota DPRD. Contohnya adalah upaya DPRD ngotot untuk menargetkan Pendapatan Asli Daerah yang lebih besar di APBD, meski pihak Dispenda telah memberikan argumentasi bahwa target tersebut sulit tercapai dengan beberapa alasan pertimbangan, namun anggota DPRD tetap menargetkannya kepada Dispenda. Kepentingan pragmatis anggota DPRD dalam kasus ini jelas nampak bahwa kenaikan PAD akan berdampak langsung bagi peningkatan tunjangan anggota DPRD. DPRD tidak mampu menghitung atau mengukur potensi daerah, terlebih lagi dengan tidak adanya kesepahaman dengan eksekutif tentang target PAD.

PERDA no 12 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan Pengangkatan, Pelantikan, Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa juga tidak lepas dari kepentingan sebagian anggota DPRD. Anggota DPRD sangat berkepentingan untuk duduk kembali pada pemilu 2009, sehingga mereka mendorong orang-orangnya untuk menjadi kepala desa, yang nantinya akan menjadi pendulang suara dalam pemilu.

Pengalaman pelaksanaan pilkades yang telah dilakukan 2 kali secara serentak di beberapa desa, ternyata masih menyisahkan banyak masalah. Salah satu alasan dan tudingan munculnya banyak masalah tersebut karena PERDA yang mengatur tentang pemilihan itu kurang jelas mengatur proses pemilihannya. DPRD dituding punya kontribusi atas lahirnya PERDA yang samar-samar tersebut, bahwa karena ketidak tegasan dalam PERDA tersebut, memungkinkan ada kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan besar mengintervensi proses pilkades baik secara langsung atau tidak langsung untuk memenangkan calonnya. Salah satu item dianggap bermasalah adalah pada pasal Pembentukan Panitia Pemilihan. Dalam pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci kriteria-kriteria atau syarat menjadi panitia pemilihan, yang disebutkan hanyalah unsurnya saja seperti terdiri dari unsur perangkat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan golongan profesi. Nah di item inilah banyak menimbulkan masalah, karena proses politik yang terjadi di desa adalah bagaimana untuk lebih awal merebut kepanitiaan dipemilihan, sehingga yang banyak terjadi adalah upaya saling menjegal untuk menjadi calon kepala desa. Karena kriterianya tidak`diatur secara rinci sehingga biasanya panitia yang terbentuk adalah hasil konsipirasi dari salah satu kandidat calon kepala desa. Karena panitia tidak dianggap independen lagi sehingga banyak warga masyarakat yang protes, apalagi calon kepala desa yang tidak diloloskan.

Meski sudah jelas faktor penyebab dari beberapa persoalan pilkades yang telah berlangsung, namun Pemerintah Kabupaten Bulukumba dan DPRD, berkilah bahwa pelaksanaan pilkades dinilai cukup sukses, karena dari puluhan desa yang melaksanakan pilkades, hanya 1-5 desa saja yang bermasalah. Dan beberapa permasalahan telah berproses hukum di pengadilan.


bersambung ......