Oleh Ilham Hamudy, peneliti Litbang Departemen Dalam Negeri
Pengantar:
tulisan ini adalah sebagian catatan dari penelitian etnografis yang dilakukan penulis selama hampir tiga bulan di tengah masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan. Tulisan ini dimuat berseri dalam dua bagian.
Suatu hari di bulan Mei 2004, sebuah pertemuan besar digelar di tanah adat komunitas Kajang, Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Pertemuan itu dihadiri oleh Muspida Bulukumba dan seluruh pemangku adat komunitas Kajang.
Komunitas Kajang adalah salah satu komunitas adat di Sulawesi Selatan. Komunitas ini memiliki panduan hidup dalam bentuk tuturan lisan yang disebut pasang ri Kajang (pesan-pesan suci dari Kajang) yang sudah dilestarikan dari generasi ke generasi. Sebagai pemimpinan adat, ditunjuk seorang pimpinan yang disebut Ammatoa (pemimpin tertua), lalu di bawahnya ada pemangku adat lain sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dalam pertemuan antara berbagai elemen itu, soal utama yang dibahas adalah munculnya dua Ammatoa. Saat itu ada dua orang yang mengaku menjadi Ammatoa, yaitu Puto Palasa dan Puto Bekkong.
Pertemuan dipandu oleh pemangku adat yang bergelar Galla, yaitu Galla Lombo’. Sebelumnya, ia menjelaskan mengenai aturan dalam pasang ri Kajang dalam proses pemilihan Ammatoa. Di sana dikatakan bahwa yang berhak mendapat gelar Ammatoa adalah yang sanggup melewati proses pengangkatan yang terdiri dari empat tahapan.
Dalam kesaksian salah satu pemangku adat, empat tahapan itu sudah dilalui oleh keduanya. Dalam proses itu Puto Palasa yang berhasil melalui empat tahapan. Sementara Puto Bekkong, tidak sampai mengikuti seluruh tahapan. Oleh karena itu, secara hukum adat Kajang, yang berhak menjabat Ammatoa adalah Puto Palasa yang usianya lebih muda dari Puto Bekkong. Dari hasil ini diputuskan bahwa Puto Palasa yang berhak menjadi Ammatoa.
Beberapa hari sebelumnya telah berlangsung pertemuan serupa, dihadiri para pemangku adat butta Kajang. Dengan disaksikan warga komunitas adat Kajang dan unsur pemerintah setempat, pertemuan tersebut berusaha mencari solusi dualisme Ammatoa.
Pertemuan itu berusaha membahas duduk perkara terjadinya dualisme dan mendamaikan dua kubu yang bersengketa, antara pihak Puto Bekkong dan Puto Palasa (keduanya merasa sebagai Ammatoa). Akhirnya, setelah melewati urun rembug yang menyita waktu hampir enam jam, disepakati yang menjadi Ammatoa adalah Puto Bekkong. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pengakuan Anrongta ri Pangi, orang yang berhak melantik Ammatoa. Dalam pengakuannya, ia mengatakan:
Oh anakku ia ngase irate nasaba maengmi kulantik Ammatoa siurang atoran riolo mariolo, iamintu i Puto Bekkong. Kuerai nupalekkoki nanutimbahoi, nasaba malla inakke allese riatoran riolo mariolo. Inakke tanggung jawab ri lino, sambenna ri allo ri boko saba tojeng nasiurang kalambusang, kupaingakko anak:
Lambusukko nu karaeng. Pissonaku nu guru.
Gattangko nu ada. Sabbarakko nusanro.
Salama kointu ri lino sambenna ri allo ri boko
Akko jamaii punna tania jamannu
Artinya:
Hai anakku, berdasarkan aturan yang berlaku turun temurun, dengan ini sudah saya lantik yaitu Puto Bekkong sebagai Ammatoa. Saya tidak menyeleweng dari aturan nenek moyang kita. Saya bertanggung jawab di dunia dan akhirat atas apa yang sudah saya lakukan. Saya ingatkan kamu anakku:
Lurus dalam memerintah. Pasrah seperti ulama.
Tegas pada aturan adat. Sabar seperti orang yang berilmu tinggi.
Niscaya kamu akan selamat di dunia dan akhirat kelak.
Jangan mengerjakan hal yang bukan pekerjaanmu.
Ketika itu saya sedang mengkaji fenomena politik masyarakat Kajang. Banyak orang yang menganggap, kontestasi politik di Kajang relatif lebih sengit dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Bulukumba. Tidak jarang di antara sanak saudara mereka berselisih paham, hanya karena pandangan dan afiliasi politik yang berbeda. Sebagian besar warga Kajang menjadi pengurus partai politik. Sehingga, tidak heran dapat kita jumpai pelbagai bendera partai politik yang berbeda di setiap rumah warga. Istilah warga setempat, ero ngaseng appaenteng bandera. Masing-masing warga ingin mendirikan bendera partai politik sendiri.
Saya telah mendengar banyak kisah tentang seorang calon legislatif (caleg) yang menghalalkan segala cara. Kisah tentang bagaimana para politisi Kajang selalu menjual isu marginalisasi orang Kajang dalam segala bidang. Namun, setelah terpilih, para politisi itu mengabaikan isu marginalisasi yang pernah ia hembuskan. Alih-alih mengentaskan warga Kajang dari marginalisasi, malahan para politisi itu mengeruk keuntungan dari marginalisasi orang Kajang. Orang Kajang, tetap terpinggirkan.
Saya juga sering mendengar kisah-kisah tentang politisi yang terjebak pesona magis bersekutu dengan setan, untuk mendapatkan kekuasaan, sebuah tindakan irrasional dalam politik modern. Saya menyimak secara hati-hati terhadap kisah ini, tetapi sebagian juga memahaminya sebagai hiperbola orang Kajang yang tipikal.
Kebanyakan orang Kajang yang saya jumpai menganggap, adanya dualisme kepemimpinan Ammatoa tidak terlepas dari keterlibatan Ammatoa dalam kontestasi kekuasaan di antara partai politik dan caleg. Mereka saling berebut dukungan Ammatoa yang memiliki pengaruh di seantero Kajang. Sesiapa yang dekat dengan Ammatoa, otomatis merasa memiliki lumbung suara. Sementara Ammatoa pun mengeruk keuntungan dari partai politik dan caleg berupa perlindungan kekuasaan di hadapan pemerintah daerah dan materi, tentu saja. Orang Kajang pada umumnya miskin dan tidak terdidik. Tetapi, dalam hal politik, hampir semuanya melek politik.
Mencermati inti ajaran adat Kajang untuk mengekang hawa nafsu, jujur, rendah hati, tidak merugikan orang lain, dan menjaga keseimbangan alam, tidak tergoda kekuasaan duniawi, patut diduga bahwa pengingkaran atas nilai-nilai itulah yang jadi biang terjadinya dualisme Ammatoa.
Tulisan ini membincangkan kontestasi kekuasaan di Kajang dan perselingkuhan politik Ammatoa untuk menjelaskan bahwa realitas munculnya dualisme Ammatoa, mengindikasikan kontestasi politik di Kajang.Tidak hanya domain politik modern di antara partai politik dan caleg, tetapi juga politik tradisional dalam komunitas adat. Orang Kajang yang dianggap memiliki stereotipe yang bersahaja, berpegang pada prinsip adat hidup sederhana, jauh dari persoalan materi yang duniawi, ternyata tidak luput dari godaan kekuasaan yang kemaruk. Alih-alih Ammatoa yang semestinya berperan sebagai pemimpin adat dan penjaga moral prinsip kamase-masea dalam pasang ri Kajang, tetapi malah terlibat dalam perselingkuhan politik. Tulisan ini didasarkan pada penelitian lapangan yang saya lakukan di dan sekitar Tana Toa selama hampir 2,5 bulan. Komunitas adat Kajang berdomisili di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.
SETTING ETNOGRAFI PENELITIAN
Pak Kepala Desa Tambangan memandu saya menyusuri jalan beraspal yang keropos dan berdebu menuju kediamannya di Desa Tambangan, Kecamatan Kajang. Mobil yang kami tumpangi bekerja setengah mati menaklukan jalan yang rusak berat. Sepanjang jalan Pak Desa bercerita pelbagai hal tentang komunitas adat Kajang, mulai dari budaya setempat, beberapa peristiwa terkini yang terjadi di Kajang, masalah-masalah politik, sampai pada hal-hal mistik yang membuat saya bergidik. Saya diingatkan untuk berlaku semadyanya pada orang Kajang. Sikap atau perbincangan yang membuat orang Kajang terhina akan berimpak fatal pada keselamatan saya. Sontak saya teringat dengan cerita kawan saya yang mengatakan bahwa kalau orang Kajang sudah marah dan dendam kesumat, bisa-bisa kepala kita jadi lembek
Selama sekira satu jam kemudian, kami sampai di kediamannya di Desa Tambangan. Hari itu sudah menjelang pukul 16.00 wita. Sembari menyeruput teh panas dan menikmati jajanan pasar, Pak Desa kembali bercerita dan menanyakan fokus penelitian saya. Awalnya, Pak Desa menyarankan saya untuk tinggal di rumahnya saja. Menurutnya, kajian politik yang akan saya teliti sangat tepat jika dilakukan di Desa Tambangan. Sebab, menurutnya, kontestasi politik di Tambangan relatif lebih sengit dibandingkan desa lain di Kecamatan Kajang. Selain itu pula, hampir semua caleg yang ada di daerah pemilihan (Dapil I) berdomisili di Tambangan. Sehingga, akan memudahkan saya untuk mewawancarai para caleg tersebut. Kendati begitu, saran Pak Desa saya tampik dengan halus. Meski Tambangan sangat menarik untuk dijadikan lokus penelitian, saya lebih memilih Desa Tana Toa sebagai lokus utama. Alasannya, komunitas adat Kajang terpusat di Desa Tana Toa. Sementara di Desa Tambangan, struktur masyarakat sudah mengarah kepada desa urban, hal yang kurang tepat dalam penelitian saya. Setelah meyakinkan Pak Desa, akhirnya saya diantar menuju Desa Tana Toa yang jaraknya lumayan jauh, sekira 10 km dari Desa Tambangan. Saya yakin, tinggal di Desa Tana Toa akan banyak membantu saya untuk memahami masyarakat Kajang dan kehidupan desa sehari-hari.
Dalam komunitas adat ada tekanan kebutuhan untuk menengahi tema yang saya usung: budaya, politik dan arus modernitas, ketimbang mencari di desa lain di Kecamatan Kajang yang relatif lebih urban. Saya menginsyafi bahwa kompleksitas yang inheren itu sendiri menawarkan keuntungan-keuntungan tertentu. Dalam sebuah lingkungan semacam itu di mana wacana, ideologi, dan kontestasi kepentingan kekuasaan yang dibawa oleh pelbagai pihak, bercampur dengan nilai-nilai adat (acap kali bertentangan satu sama lain) segera dan secara langsung terasakan. Maka, kebutuhan untuk merasakan dan mengintegrasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari adalah lebih urgen.
SISTEM POLITIK DAN STRUKTUR KEKUASAAN ADAT KAJANG
Dalam konteks sistem politik, komunitas adat Kajang di Tana Toa dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa dan mereka sangat patuh padanya. Kalau Tana Toa berarti tanah yang tertua, maka Ammatoa berarti bapak atau pemimpin tertua. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Sebabnya proses pemilihan Ammatoa tidak gampang. Adalah sesuatu yang tabu di Tana Toa bila seseorang bercita-cita jadi Ammatoa. Pasalnya, Ammatoa bukan dipilih oleh rakyat, tetapi seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Tu Rie’A’ ra’na.
Yusuf Akib, peneliti antropologi, dalam buku Potret Manusia Kajang (2003) menuliskan bahwa fungsi dan peran Ammatoa telah bergeser dari pemimpin pemerintahan (dalam skala komunitas) menjadi sekadar pemimpin acara ritual keagamaan. Itu terjadi sejak era pascakemerdekaan, yang diperkuat pada 2-3 dekade terakhir. Alhasil, peran-peran majelis adat untuk membantu Ammatoa mengurusi berbagai bidang pemerintahan skala komunitasnya jadi kerdil. Peran para pembantu Ammatoa yang lazim disebut kolehai menjadi tumpul. Kendati begitu, Ammatoa masih berperan dalam mekanisme politik tradisional yang berlaku di Kajang.
Selain sebagai pemimpin adat, Ammatoa bertugas sebagai penegak hukum sebagaimana dipesankan dalam pasang ri Kajang. Komunitas adat Kajang menerapkan ketentuan-ketentuan adat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Ketentuan adat yang diberlakukan di wilayah adat Ammatoa Kajang diberlakukan kepada seluruh komponen komunitas, tanpa kecuali. Ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur yang disampaikan secara turun-temurun. Ketentuan adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku (lebba) yang diterapkan kepada setiap orang yang telah melakukan pelanggaran. Dalam hal ini diberlakukan sikap tegas (gattang), dalam arti konsekuen dengan aturan dan pelaksanaannya tanpa ada dispensasi, sebagaimana disebutkan dalam pasang yang berbunyi: ‘Anre na‘kulle nipinra-pinra punna anu lebba‘ Artinya : Jika sudah menjadi ketentuan, tidak bisa diubah lagi.
Menurut mitologi orang Kajang, ketika manusia belum banyak menghuni bumi, sebutan Ammatoa belum dikenal. Yang ada ialah Sanro atau Sanro Lohe (dukun yang sakti). Sanro Lohe bukan hanya sekadar sebagai dukun yang dapat mengobati penyakit, melainkan juga tokoh pimpinan dalam upacara ritual keagamaan sekaligus sebagai pemimpin kelompok. Selepas manusia kian ramai dan kebutuhan semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, istilah Amma mulai dikenal. Struktur organisasi pun dibentuk dengan pembagian tugas dan fungsi masing-masing. Pembagian kekuasaan ini termaktub dalam pasang ri Kajang: Amma mana’ ada’ (Amma melahirkan adat) dan Amma mana’ karaeng (Amma melahirkan pemerintahan).
Ammatoa didampingi dua orang Anrong (ibu) masing-masing Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina dan para pemangku adat. Anrongta ri Pangi bertugas melantik Ammatoa. Selain itu, dalam sistem politik tradisional yang berlaku di Kajang, Ammatoa juga dibantu oleh yang disebut sebagai Ada’ Lima Karaeng Tallu. Ada’ Lima (ri Loheya dan ri Kaseseya) adalah pembantu Ammatoa yang khusus bertugas mengurusi adat (ada’ pallabakki cidong). Di antaranya, mereka bergelar Galla Puto yang bertugas sebagai juru bicara Ammatoa, dan Galla Lombo’ yang bertugas untuk urusan pemerintahan luar dan dalam kawasan (selalu dijabat oleh Kepala Desa Tana Toa). Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah ritual keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan. Setiap pemangku adat memunyai tugas dan kewenangan berbeda-beda. Sementara Karaeng Tallu bertugas membantu dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan (ada’ tanayya). Karaeng Tallu merupakan tri tunggal dalam pemerintahan, dan dikenal dengan “tallu karaeng mingka se’reji”. Yang berarti bahwa apabila salah satu di antaranya telah hadir dalam upacara adat, maka Karaeng Tallu sudah dianggap hadir.
Dalam perkembangannya, kendati Ammatoa adalah orang tertinggi dalam struktur pemerintahan Tana Toa, keberadaan pemerintah di luar kawasan adat tetap diakui. Bahkan karena dianggap lebih berpendidikan, pemerintah di luar Tana Toa juga sangat dihormati. Pemerintah dalam hal ini adalah camat, bupati, dan seterusnya. Bukti penghormatan ini terlihat dalam upacara adat atau sebuah pertemuan di mana pejabat pemerintah mendapat kappara dengan jumlah piring lebih banyak dari Ammatoa. Kappara adalah baki yang berisi sejumlah piring dengan beragam makanan. Dengan kappara ini pula kedudukan seseorang akan terlihat karena semakin besar sebuah kappara atau makin banyak piringnya, maka makin tinggi kedudukannya.
Bila seorang Ammatoa meninggal (a’linrung), majelis adat menunjuk pejabat sementara yang memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dengan Ammatoa. Jabatan sementara dijabat selama tiga tahun. Selepas masa tersebut, tepat pada malam bulan purnama (bangngi kentarang) dilaksanakan appa’runtu pa’nganro, yaitu upacara ritual anyuru’ borong, memohon petunjuk Tu Rie’ A’ra’na untuk memilih Ammatoa yang baru. Para calon Ammatoa ini biasanya harus tahu betul adat istiadat di Tana Toa. Selain itu mereka harus bisa menjelaskan asal-usul manusia secara rinci di Tana Toa sejak yang pertama. Ini tentu saja bukan hal mudah dilakukan dan diyakini masyarakat memang hanya orang tertentu yang bisa melakukannya. Pasalnya, di Tana Toa, tabu membicarakan asal-usul manusia bahkan tentang keturunan seseorang.
Dikisahkan Pak Sekdes Tana Toa, setiap kali penobatan Ammatoa dilakukan, seekor ayam jantan dilepas. “Kalau sudah tiba saatnya, atau sudah tiga tahun, para calon dikumpulkan dan ayam yang sudah dilepas saat penobatan terdahulu, “didatangkan” lagi. Di mana ayam itu bertengger maka, dialah yang jadi Ammatoa. Biasanya setelah ayam bertengger wajah orang tersebut langsung berubah-ubah dan sangat bercahaya. Setelah itu ayamnya langsung mati,” jelas Pak Sekdes.
DUALISME AMMATOA DAN MEMUDARNYA ADAT
Hari itu, Sabtu siang 18 Agustus 2007, belasan warga komunitas adat Kajang, dipimpin salah seorang anak kandung Puto Palasa dan tokoh pemuda Kajang, mendatangi rumah jabatan Wakil Bupati Bulukumba. Kedatangan mereka untuk mengadukan anggota kelompok Puto Bekkong yang memanen sawah adat, yang terdapat dalam kawasan adat Kajang di Desa Tambangan, Kecamatan Kajang. Padahal, dalam musyawarah antara Puto Palasa dan Puto Bekkong yang dihadiri seluruh pemangku adat Kajang dan difasilitasi oleh Bupati Bulukumba serta unsur muspida, April 2007 silam, diputuskan bahwa untuk sementara waktu pengelolaan dan penggunaan harta adat, termasuk sawah itu, dalam penguasaan pemerintah kecamatan.
Menurut warga yang mengadu, apa yang dilakukan anggota kelompok Puto Bekkong melanggar kesepakatan hasil musyawarah. Hal itu menimbulkan kemarahan warga Kajang dari kelompok Puto Palasa. “Kami datang menemui wakil bupati untuk meminta saran dan solusi, karena ingin menyelesaikan masalah ini secara baik-baik,” ujar tokoh pemuda Kajang itu, seperti dikatakan Kabag Kesbang Bulukumba, usai mendampingi Wakil Bupati menerima keluhan warga tersebut. Menurut Kabag Kesbang, masalah itu telah diselesaikan pada 20 Agustus 2007, melalui rapat tripika Kecamatan Kajang. Wakil Bupati memerintahkan Camat Kajang untuk memfasilitasi pertemuan tripika dan mencari solusi.
Perseteruan antara Puto Palasa dan Puto Bekkong sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Dalam prosesi pemilihan Ammatoa, keduanya sama-sama mengaku sebagai Ammatoa yang mendapat restu. Keduanya sama-sama memiliki pendukung. Dualisme kepemimpinan inilah yang menimbulkan perseteruan warga, termasuk pengelolaan harta adat. Selama perseteruan ini, beberapa kali terjadi insiden yang nyaris menimbulkan bentrok di antara kedua kelompok. April 2007, pemerintah setempat dipimpin Bupati Bulukumba, memfasilitasi pertemuan Puto Palasa dan Puto Bekkong serta seluruh pemangku adat Kajang untuk menyelesaikan dualisme kepemimpinan. Salah satu keputusan dalam pertemuan itu adalah pengelolaan dan penggunaan harta adat untuk sementara dikuasai pemerintah kecamatan hingga ada keputusan pasti. Dalam pertemuan itu, Puto Bekkong sudah mengalah dan mengakui Puto Palasa sebagai Ammatoa. Mayoritas pemangku adat juga sudah mengakui Puto Palasa. Tetapi, masih ada juga pemangku adat yang belum mau mengakui Puto Palasa.
Persengketaan sawah itu hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya dualisme Ammatoa. Warga komunitas dan para pemangku adat kerap merasa gamang dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan adat. Sebab, seperti yang telah saya uraikan pada bagian awal tulisan ini, Ammatoa sebagai orang yang dipandang sebagai pemimpin dan hakim dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan adat, dijabat oleh dua orang yang berbeda, Puto Palasa dan Puto Bekkong.
Menurut Akib (2003), sejak komunitas adat Kajang berdiri, Ammatoa sudah dijabat oleh 13 orang. Ammatoa terakhir dijabat oleh Puto Nyonyo, ayah kandung Puto Palasa. Meninggalnya Ammatoa tidak serta-merta dilakukan pemilihan Ammatoa yang baru. Untuk sementara, berdasarkan kesepakatan para pemangku adat, “caretaker” Ammatoa disandang oleh Puto Palasa. Selama tiga tahun masa tenggat persiapan pelantikan Ammatoa yang baru, Puto Palasa melaksanakan tugas dan fungsi keseharian Ammatoa. Pertanyaannya, mengapa sampai muncul dua Ammatoa? Padahal, sejak awal mula kehidupan di Kajang, tidak pernah ada kasus munculnya dualisme Ammatoa. Faktor apa yang menjadi pemicunya? Pertanyaan itu menggelayut dalam pikiran saya. Niat awal untuk memotret fenomena politik identitas, sesuai dengan ancangan penelitian saya, berubah ketika saya mengetahui realitas itu. Awalnya, saya sangat kesulitan untuk menggali informasi tentang dualisme itu. Hampir semua orang bungkam ketika saya memulai untuk membincangkannya. Saya tidak tahu, apakah para informan saya itu takut mengemukakan fakta sebenarnya, merasa bosan membahasnya karena terlalu sering dibincangkan, atau mereka sengaja menutup cerita yang sebenarnya karena dianggap sebagai sebuah aib tentang komunitas mereka. Bahkan, Galla Lombo’, Kepala Desa Tana Toa, tempat saya tinggal selama di Kajang, diam seribu bahasa ketika saya ajak berdiskusi tentang dualisme itu. Selama itu, saya tidak mendapatkan informasi yang berarti tentang dualisme Ammatoa. Akhirnya, saya memutuskan untuk keluar sejenak dari Tana Toa (Bersambung)