Sabtu, 09 Oktober 2010
Perlindungan Sumber Daya Alam di Sulawesi Selatan
Dari Diskusi Taskforce "Perlu Pengaturan Melalui PERDA"
Latarbelakang
Salah satu isu yang belakangan ini mengemuka di Sulawesi Selatan adalah isu lingkungan hidup dan perlindungan terhadap sumber daya alam. Isu ini muncul dan mendapatkan banyak respon dari masyarakat di Sulawesi Selatan seiring dengan munculnya masalah-masalah lingkungan di sejumlah kabupaten/kota yang berujung pada terjadinya bencana banjir, longsor, erosi dan berbagai petaka SDA (sumber Daya Alam) dengan berbagai akibat sejumlah korban jiwa dan materil.
Daerah Sulawesi Selatan cukup dikenal dengan banyaknya hutan yang dimilikinya dan sebagian dari sumber pendapatan masyarakat banyak bergantung pada produksi hasil hutan. Dengan luas wilayah sekitar 45 764,53 km, sebagian besar wilayah itu adalah hutan dengan luas 2,1 juta hektare (Ha). Dengan luas wilayah hutan tersebut, maka masyarakat Sulawesi Selatan akan banyak menemukan masalah di lingkungan mereka ketika hutan yang ada mengalami kerusakan.
Terkait dengan hampir setiap tahunnya ada-ada saja daerah yang mengalami musibah yang cukup banyak menelan korban jiwa dan korban materi akibat terjadinya banjir dan longsor. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini bencana banjir dan longsor ini sangat sering terjadi khususnya di daerah-daerah yang dulunya dikenal dengan hutan-hutannya yang luas dan hijau.
Kondisi ini membawa banyak kerugian secara fisik dan non fisik terhadap kelangsungan hidup masyarakat di Sulsel. Ironisnya, dampak dari kerusakan lingkungan ini belum mendapatkan penyikapan yang serius dari pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota dalam bentuk kebijakan yang permanen.
Dengan melihat kondisi ini, Gugus Tugas Sulawesi Selatan memandang bahwa dampak dari kerusakan lingkungan ini perlu mendapatkan penanganan yang serius dalam bentuk regulasi tersendiri khususnya yang mengatur tentang sumber-sumber daya alam yang ada di Sulawesi Selatan yang memberikan pengaturan terhadap upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan mengatur tentang proses pembenahan secara berkelanjutan terhadap alam dan lingkungan yang telah mengalami kerusakan.
Tinjauan Filosofis
Upaya-upaya terhadap perlindungan sumber daya alam merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh Negara karena pada dasarnya sumber daya alam merupakan asset yang tak ternilai harganya bagi Negara dan masyarakat. Selain memiliki nilai ekonomis, alam juga memilki nilai estetis dan nilai etis. Alam dari segi ekonomis dapat diolah oleh sebuah Negara untuk dapat berproduksi dan memberikan pendapatan bagi Negara. Begitu pula alam dari segi estetika merupakan sumber keindahan yang dapat memberikan ruang segar bagi masyarakat untuk beraktifitas secara nyaman dan aman. Sementara itu, dari segi etikanya alam dapat menjadi symbol dari baik buruknya moralitas sebuah bangsa. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang memberikan perlakuan terhadap alam dan lingkungan secara baik.
Manusia dan alam hidup bersama dan saling berinteraksi secara mutualisme. Alam telah memberikan kehidupan bagi manusia dan begitu pula sebaliknya alam tumbuh berkembang karena adanya kontribusi manusia. Hubungan saling menguntungkan ini semestinya berlangsung terus menerus secara berimbang tanpa ada satupun yang dirugikan atau dirusak. Kerusakan yang terjadi pada keduanya akan menjadi penyebab dari munculnya ketidak seimbangan yang akan menyebabkan kerugian pada kedua belah pihak. Manusia sebagai mahluk yang sadar semestinya menjadi pelaku yang aktif dalam menjaga proses keseimbangan tersebut dengan senantiasa memberikan perlindungan terhadap alam dan sumber-sumber daya yang terkandung di dalamnya.
Tinjauan Yuridis
Secara konstitusional, Negara kita telah mengatur hubungan antara lingkungan hidup dengan masyarakat dalam UUD 1945. Dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia. Dengan demikian bahwa negara memberikan jaminan terhadap keberadaan lingkungan dan sumber-sumber daya alam yang ada di dalamnya dan jaminan bagi setiap warga masyarakat untuk hidup dengan menikmati lingkungan yang sehat tanpa ada kerusakan dan pencemaran.
Dalam pasal lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga disebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam pasal ini bahkan mengharuskan setiap proses pembangunan ekonomi merujuk pada prinsip pembangunan yang tidak merusak atau mencemari lingkungan. Negara melakukan pelarangan pada setiap aktifitas yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Bahkan konsekuensi dari perbuatan yang melanggar dari Undang-undang akan mendapatkan sanksi demi menjaga kelestarian lingkungan.
Agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,telah diatur dalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis masyarakat di Sulawesi Selatan memiliki interaksi sangat kuat dengan alam sekitar mereka. Khususnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Daerah Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah agraris dengan luas persawahan dan perkebunan tanaman jangka pendek yang sangat luas membentang di hampir semua daerah. Begitu pula masyarakatnya amat terkenal sebagai Petani dan pekebun yang ulet.
Selain pada bidang pertanian, bidang kelautan juga menjadi tempat mencari nafkah bagi masyarakat di Sulawesi Selatan. Daerah pesisir yang memanjang di daerah Selatan dan Timur merupakan lahan garapan yang merupakan tempat penghidupan bagi para nelayan di Sulawesi Selatan. Mereka hidup sebagai nelayan yang hari-harinya dijalani dengan mencari ikan di laut. Selain itu mereka juga banyak memanfaat laut sebagai tempat pembudidayaan rumput laut.
Dengan kondisi ini, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap lingkungan alam sekitarnya. Sejak dahulu pola interaksi secara timbal balik ini tentunya sudah berlangsung sangat lama yaitu sejak nenek moyang kita mengenal adanya system pertanian bercocok tanam.
Kasus-kasus ini tentunya bisa saja dicegah seandainya upaya-upaya untuk melakukan perlndungan terhadap pengelolaan sumber daya alam di Sulawesi Selatan di lakukan secara serius termasuk penegakan aturan hokum yang kuat bagi siapa saja dan tidak memandang bulu, penanganan hutan yang disertai dengan kebijakan daerah yang maksimal dengan focus pada adanya perlindungan terhadap sumber-sumber daya alam. Begitu pula upaya recovery yand diinisiasi pemerintah daerah dengan melibatkan pihak swasta dan masyarakat terhadap wilayah-wilayah pertambangan.
Fakta-fakta Empiris
Sejumlah kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan bisa menjadi indicator terhadap pentingnya memberikan perhatian serius terhadap masalah-masalah sumber-sumber daya alam di wilayah Sulawesi Selatan. Misalnya saja kasus penggundulan hutan di sejumlah daerah, pencemaran lingkungan, pengrusakan lingkungan, penyerobatan lahan pertanian dan lain-lain.
Kerusakan Hutan
Terkait dengan hutan, dari data yang diperoleh dari data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, hingga 2010 diperkirakan hutan yang rusak telah mencapai 30,6 persen hingga 40% . Luas lahan kehutanan tersebut terdiri atas 1,2 juta hektare hutan lindung, 488 hektare hutan produksi terbatas, 131 ribu hektare hutan produksi, 23 ribu hektare hutan konvensi, dan 242 ribu hektare hutan swaka alam atau wisata.
Data yang mendukung juga dikemukakan oleh Jurnal Celebes. Jurnal Celebes di salah satu media massa mengutarakan bahwa luas hutan yang ada terus menerus mengalami pengurangan. Pada 2007 hutan Sulsel berkurang sekitar 10,6 persen dan 2008 berkurang sekitar 30,6 persen dari total luas hutan yang ada di Sulsel yang pernah seluas 2,7 hektare. Pengurangan luas hutan tersebut bukan hanya karena penebangan atau aktivitas perambahan hutan tapi juga karena aktivitas pertambangan.
Pencemaran Lingkungan
Selain itu, sejumlah kasus pencemaran lingkungan juga sangat banyak. Kasus yang masih hangat (2010) adalah Kasus PT Barawaja Makassar yang melakukan pencemaran lingkungan akibat dari Amdal yang tidak diperhatikan oleh perusahaan dan pengawas yang terkait dengan itu. PT Barawaja adalah pabrik pembuat baja yang berada di Kota Makassar. Pabrik ini sudah lama diproters oleh warga karena warga menggap perusahaan telah merusak lingkungan sekitar.
Kerugian masyarakat akibat Penambangan
Untuk kasus-kasus yang diakibatkan oleh aktifitas penambangan juga banyak terjadi di Sulsel. Dalam beberapa penelitian ditemukan banyaknya dampak negative yang ditimbulkannya. Salah satu yang menarik adalah aktifitas penambangan Batu Alam di Kab. Pangkep.
Dari Penelitian yang dilakukan oleh SP Anging Mammiri ditemukan bahwa telah terjadi sejumlah aktifitas yang merugikan masyarakan dan alam di sekitar penambangan. Dampak-dampak buruk yang ditimbulkannya seperti :
- Peledakan yang membahayakan masyarakat sekitar
- Suara bising yang mengganggu
- Debu yang mengganggu kesehatan dan bahkan dapat menyebabkan penyakit asma
- Serpihan dan Bongkahan batu yang menimpa kebun/sawah dan rumah penduduk
- Pemulihan alam yang tidak maksimal menimbulkan kerusakan pada lingkungan
- Peningkatan tindak criminal
- Limbah tailing membahayakan kesehatan masyarakat.
Hal yang sama juga terjadi di sekitar daerah pertambangan PT Inco sebagaimana yang diberitakan oleh sejumlah media massa di Sulsel. Yang banyak disorot adalah sebagian kawassan tambang yang berada di hutan lindung. PT Inco menyerobot hutan damar dan rotan milik masyarakat adat. Selain itu juga, Sawah warga Dongi diubah jadi lapangan golf. Warga terpaksa membangun rumah di atas limbah batuan. Sebagian warga Soroako dipaksa meninggalkan danau Towuti yang berlumpur dengan kadar E-coli menjadi 2400 ppjm. Normalnya, sebenarnya hanya 200 ppm.
Diduga, masuknya perusahaan pertambangan oleh PT.Etam Energi Sejahtera di dusun Mari-mario pada Desember 2008 untuk melakukan eksplorasi, telah menimbulkan dampak pada kehidupan sosial dan lingkungan. PT ETAM Energi sejahtera sedang melakukan eksplorasi di dusun Mari-mario dengan luas konsensi 10 hektar. Adapun dampak sosial yang ditimbulkan oleh aktifitas pertambangan di Dusun Mari-mario, berupa :
- Saluran (pipa) air bersih yang selama ini menjadi sumber air minum warga setempat menjadi rusak, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh air bersih. Hingga saat ini masyarakat hanya memanfaatkan air hujan yang tertampung dalam sebuah bak untuk dijadikan alternatif konsumsi air minum, sehingga dapat dibayangkan apabila musim penghujan telah berhenti.
- Persawahan masyarakat terendam pasir diakibatkan oleh longsornya sisa kerukan disekitar areal tambang yang memenuhi areal persawahan, sehingga menyebabkan lahan persawahan tersebut secara otomatis tidak bisa lagi dikerjakan oleh pemiliknya, disamping itu juga disebabkan oleh putusnya saluran irigasi.
- Kebun masyarakat dijadikan jalan bagi kendaraan (truck) perusahaan.
- Lubang kubangan bekas pertambangan yang tergenang air menjadi ancaman buat masyarakat dan ternak masyarakat. Salah satu contoh faktual pada tahun 2006, seorang anak kecil yang bernama Amir anak dari bapak Arifin telah menjadi korban (meninggal dunia) akibat tenggelam dalam lubang bekas galian yang tidak di reklamasi oleh perusahaan.
- Areal Persawahan yang sudah ditanami padi terendam dengan air akibat areal dekat persawahan dijadikan Jalan tambang yang menutup saluran air.
Dampak kerusakan lingkungan yang timbulkan oleh aktifitas pertambangan di Dusun Mari-mario berupa:
- Sungai yang mengalami abrasi dan telah tercemari diakibatkan limbah perusahaan tambang yang selama ini beroperasi diwilayah dusun mari-mario.
- Jalan pemukiman masyarakat rusak (berlumpur) akibat mobil operasional (truck) perusahaan yang mengangkut pasir dan batubara yang lalu lalang.
- Kandungan asam tambang yang dapat mengancam kesehatan warga masyarakat sekitar areal tambang.
Dampak dari kerusakan lingkungan ini baik hutan, tanah dan air ini, dalam kenyataannya telah menimbulkan bencana besar di sejumlah daerah di Sulsel. katakanlah yang paling besar adalah bencana longsor di Kabupaten Gowa dan Sinjai yang terjadi sejak tahun 2004. Longsor juga terjadi hampir setiap tahunnya di Kabupaten Bone, Barru, Enrekang, Palopo, Toraja. Begitu pula dengan bencana banjir yang hampir setiap tahunnya terjadi di Kabupaten Wajo, Soppeng, Bone, Makassar, Bulukumba, Sinjai dan Bantaeng.
Sejumlah fakta-fakta di atas menjadi akibat dari beberapa hal di bawah ini :
Pemberian izin tanpa mempertimbangkan aspek Perlindungan
Pemberian izin yang dilakukan oleh pemerintah sering kali tidak mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan keberadaan sumber-sumber daya alam. Padahal upaya perlindungan terhadap sumber daya alam ini bermula dari pemberian izin oleh pemerintah karena dalam proses inilah sejumlah persyaratan dan larangan dari aspek hokum mulai ditegakkan.
Di Sulawesi selatan tampaknya proses pemberian perizinan kurang mendapatkan perhatian. Izin pengelolaan atau eksplorasi diberikan tanpa melakukan proses verifikasi yang ketat. Sejumlah kasus lingkungan yang terjadi di Sulsel ditengarai berangkat dari masalah yang muncul pada proses pemberian izin oleh pemerintah. Salah satu yang menarik adalah temuan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menemukan adanya pemberian izin pelepasan kawasan hutan di daerah Palopo dan Tana Toraja yang bermasalah. Areal hutan yang diizinkan untuk dieksplorasi termasuk hutan lindung dan tanah adat.
Data dari Jurnal Celebes menyebutkan bahwa ada 60 izin pengelolaan potensi hutan di Sulsel bermasalah dan harus diawasi karena pengelolaan izin tersebut terindikasi menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Dari 60 izin pengelolaan hutan di Sulsel, terbanyak atau 11 izin pengelolaan hutan di antaranya berada di Kabupaten Luwu, kemudian menyusul Kabupaten Maros tujuh izin dan Kabupaten Bone serta Toraja masing-masing enam izin.
Selain itu, perizinan juga bermasalah pada tambang galian golongan C, Misalnya saja di Kabupaten Pinrang. Balai Lingkungan Hidup menemukan banyaknya kerusakan lingkungan yang sangat parah akibat dari penambangan golongan C yang disebabkan karena dari awal proses perizinan itu tidak melihat kondisi obyek penambangan dan dampak yang akan ditimbulkannya. Bahkan dari kasus ini, mengindikasikan kurangnya kordinasi antar instansi pemerintah dalam hal pemberian izin. Kasus-kasus seperti ini juga terjadi di hampir semua daerah di Sulawesi Selatan karena melihat maraknya penambangan golongan C yang hampir tidak terkendali seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembangunan perumahan dan penimbunan di area-area perkotaan.
Lemahnya Penegakan Hukum.
Kebijakan dan daya control yang lemah dari pemerintah terhadap “pengelolaan dan issu perlindungan sumber daya alam”, dapat berimplikasi pada terjadinya peluang yang besar terhadap munculnya praktek “perkoncoan” dan “pelanggaran hukum”. Hal ini ditandai dengan banyaknya pihak yang terkait, telah berbuat tanpa melihat aspek hukum yang harusnya menjadi pedoman dalam stiap aktifitasnya, disamping tanpa mempertimbangkan dampak negative yang akan ditimbulkannnya. Akan halnya, pembinaan, daya control dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, terkesan “asalan”, atau bahkan tidak sama sekali dilibatkan partisipasi masyarakat, dan termasuk disalurkan keinginannya.
Hal ini dapat dilihat bahwa, permasalahan pokok dari penegakan hukum yang terkait dengan perlindungan sumber daya alam adalah kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada, yang menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Sepertio halnya, maraknya pengambilan terumbu karang dan pemboman ikan, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lahan, pertambangan tanpa izin.
Pelibatan Masyarakat yang Kurang
Selama ini proses penyusunan kebijakan di tingkat pemerintah, baik itu di tingkat pusat maupun di daerah sangatlah minim. Akibatnya banyak kebijakan yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek kepentingan, kebutuhan dan keselamatan masyarakat. Pentingnya pelibatan masyarakat kelihatannya belum dianggap sebagai sebuah kebutuhan dalam proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Padahal dalam suasana pemerintah yang demokratis ini mestinya peran serta masyarakat selalu harus di maksimalkan. Apalagi selama ini dalam sejumlah kasus pelaksanaan kebijakan lingkungan, masyarakat selalu menjadi obyek penderita secara langsung dan tidak langsung.
Minimnya partisipasi warga ini mengakibatkan banyaknya kebijakan-kebijakan pusat dan daerah yang elitis yang pelaksanaannya cenderung dipaksakan. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan sikap apatis yang tentunya akan menekan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya.
Peran serta masyarakat sebenanya telah diatur dalam UU No. 32/2009, peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur secara khusus pada Bab XI, Pasal 70. Dalam ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bentuk-bentuk peran diatur dalam ayat (2) berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan. Sementara tujuan peran masyarakat itu sesuai ayat (3) untuk: meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Alokasi Anggaran yang Belum Memadai
Pengembangan sumberdaya Alam, kaitan dengan “Isu perlindungan terhadap Sumber Daya Alam” di daerah dapat dikatakan belum menjadi perhatian yang serius oleh pihak pemerintah, sehingga penyediaan dan dukungan anggaran untuk proses pengelolaan dan perlindungan tersebut juga belum cukup dan bahkan belum memadai.
Partisipasi pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dalam mengaloklasikan anggaran pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam tentunya sant diharsapakan. Hal ini dimaksudkan agar bisa mengantisipasi implikasi positif dan implikasi negative terhadap pengelolaan dan perlindungan Sumber Daya Alam tersebut. Beberapa daerah yang dapat menjadi “sentra pendukung” terhadap peningkatan pendapatan pemerintah daerah Propensi karena pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam, terkesan tidak terjamah atau tergarap secara baik, Alokasi anggaran masih dianggap belum cukup dan sangat minim. Dalam APBD tahun 2009 total belanja lansung untuk BAPEDALDA hanya 0,2% dari total APBD Propinsi Sulawesi Selatan. Karenaya, demi peningkatan pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam tersaebut maka perlu Pememrintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan, penambahan anggaran penangannya, sebesar 5 %.
Hal yang terkait, pada Beberapa daerah yang memiliki hutan dan sumber daya alam yang besar seperti Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Gowa, Enrekang, Tana Toraja dan lain-lain, dapat dianggap belumlah memiliki program-program yang baik, terkait dengan pencegahan, pengelolaan atau pun recovery lingkungan/sumber daya alam.
Akibat dari dukungan anggaran yang minim tersebut, menyebabkan lemahnya bentuk pengelolaan, penyelenggaran kebijakan, kaitan dengan “pengelolaan dan isu perlindungan sumber daya alam”.
Rekomendasi
Dari Sudut pandang di atas, maka dipandang perlu adanya sebuah kebijakan yang mengatur tentang
1. Mekanisme perizinan yang mempertimbangkan aspek-aspek perlindungan terhadap sumber-sumber daya alam yang mencakup sumber daya air, darat, udara dan laut.
2. Mekanisme pengelolaan sumber daya alam yang terintegrasi antara pemerintah dengan intansi yang jelas, masyarakat dan seluruh stakeholder yang concern dengan pemanfaatan sumber-sumber daya alam
3. Mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan dan implementasi kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam
4. Komitmen pemerintah yang ditunjukkan dengan adanya pengalokasian anggaran yang cukup untuk pelaksanaan perlindungan sumber daya secara berkesinambungan.
5. Penegakan sanksi hukum bagi pihak-pihak yang mengabaikan dan melanggaran aspek-aspek yang terkait dengan perlindungan sumber daya alam.