Sabtu, 09 Oktober 2010
Perlindungan Sumber Daya Alam di Sulawesi Selatan
Dari Diskusi Taskforce "Perlu Pengaturan Melalui PERDA"
Latarbelakang
Salah satu isu yang belakangan ini mengemuka di Sulawesi Selatan adalah isu lingkungan hidup dan perlindungan terhadap sumber daya alam. Isu ini muncul dan mendapatkan banyak respon dari masyarakat di Sulawesi Selatan seiring dengan munculnya masalah-masalah lingkungan di sejumlah kabupaten/kota yang berujung pada terjadinya bencana banjir, longsor, erosi dan berbagai petaka SDA (sumber Daya Alam) dengan berbagai akibat sejumlah korban jiwa dan materil.
Daerah Sulawesi Selatan cukup dikenal dengan banyaknya hutan yang dimilikinya dan sebagian dari sumber pendapatan masyarakat banyak bergantung pada produksi hasil hutan. Dengan luas wilayah sekitar 45 764,53 km, sebagian besar wilayah itu adalah hutan dengan luas 2,1 juta hektare (Ha). Dengan luas wilayah hutan tersebut, maka masyarakat Sulawesi Selatan akan banyak menemukan masalah di lingkungan mereka ketika hutan yang ada mengalami kerusakan.
Terkait dengan hampir setiap tahunnya ada-ada saja daerah yang mengalami musibah yang cukup banyak menelan korban jiwa dan korban materi akibat terjadinya banjir dan longsor. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan ini bencana banjir dan longsor ini sangat sering terjadi khususnya di daerah-daerah yang dulunya dikenal dengan hutan-hutannya yang luas dan hijau.
Kondisi ini membawa banyak kerugian secara fisik dan non fisik terhadap kelangsungan hidup masyarakat di Sulsel. Ironisnya, dampak dari kerusakan lingkungan ini belum mendapatkan penyikapan yang serius dari pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota dalam bentuk kebijakan yang permanen.
Dengan melihat kondisi ini, Gugus Tugas Sulawesi Selatan memandang bahwa dampak dari kerusakan lingkungan ini perlu mendapatkan penanganan yang serius dalam bentuk regulasi tersendiri khususnya yang mengatur tentang sumber-sumber daya alam yang ada di Sulawesi Selatan yang memberikan pengaturan terhadap upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam dan mengatur tentang proses pembenahan secara berkelanjutan terhadap alam dan lingkungan yang telah mengalami kerusakan.
Tinjauan Filosofis
Upaya-upaya terhadap perlindungan sumber daya alam merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh Negara karena pada dasarnya sumber daya alam merupakan asset yang tak ternilai harganya bagi Negara dan masyarakat. Selain memiliki nilai ekonomis, alam juga memilki nilai estetis dan nilai etis. Alam dari segi ekonomis dapat diolah oleh sebuah Negara untuk dapat berproduksi dan memberikan pendapatan bagi Negara. Begitu pula alam dari segi estetika merupakan sumber keindahan yang dapat memberikan ruang segar bagi masyarakat untuk beraktifitas secara nyaman dan aman. Sementara itu, dari segi etikanya alam dapat menjadi symbol dari baik buruknya moralitas sebuah bangsa. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang memberikan perlakuan terhadap alam dan lingkungan secara baik.
Manusia dan alam hidup bersama dan saling berinteraksi secara mutualisme. Alam telah memberikan kehidupan bagi manusia dan begitu pula sebaliknya alam tumbuh berkembang karena adanya kontribusi manusia. Hubungan saling menguntungkan ini semestinya berlangsung terus menerus secara berimbang tanpa ada satupun yang dirugikan atau dirusak. Kerusakan yang terjadi pada keduanya akan menjadi penyebab dari munculnya ketidak seimbangan yang akan menyebabkan kerugian pada kedua belah pihak. Manusia sebagai mahluk yang sadar semestinya menjadi pelaku yang aktif dalam menjaga proses keseimbangan tersebut dengan senantiasa memberikan perlindungan terhadap alam dan sumber-sumber daya yang terkandung di dalamnya.
Tinjauan Yuridis
Secara konstitusional, Negara kita telah mengatur hubungan antara lingkungan hidup dengan masyarakat dalam UUD 1945. Dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia. Dengan demikian bahwa negara memberikan jaminan terhadap keberadaan lingkungan dan sumber-sumber daya alam yang ada di dalamnya dan jaminan bagi setiap warga masyarakat untuk hidup dengan menikmati lingkungan yang sehat tanpa ada kerusakan dan pencemaran.
Dalam pasal lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga disebutkan bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam pasal ini bahkan mengharuskan setiap proses pembangunan ekonomi merujuk pada prinsip pembangunan yang tidak merusak atau mencemari lingkungan. Negara melakukan pelarangan pada setiap aktifitas yang tidak memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Bahkan konsekuensi dari perbuatan yang melanggar dari Undang-undang akan mendapatkan sanksi demi menjaga kelestarian lingkungan.
Agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,telah diatur dalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis masyarakat di Sulawesi Selatan memiliki interaksi sangat kuat dengan alam sekitar mereka. Khususnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Daerah Sulawesi Selatan dikenal sebagai daerah agraris dengan luas persawahan dan perkebunan tanaman jangka pendek yang sangat luas membentang di hampir semua daerah. Begitu pula masyarakatnya amat terkenal sebagai Petani dan pekebun yang ulet.
Selain pada bidang pertanian, bidang kelautan juga menjadi tempat mencari nafkah bagi masyarakat di Sulawesi Selatan. Daerah pesisir yang memanjang di daerah Selatan dan Timur merupakan lahan garapan yang merupakan tempat penghidupan bagi para nelayan di Sulawesi Selatan. Mereka hidup sebagai nelayan yang hari-harinya dijalani dengan mencari ikan di laut. Selain itu mereka juga banyak memanfaat laut sebagai tempat pembudidayaan rumput laut.
Dengan kondisi ini, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap lingkungan alam sekitarnya. Sejak dahulu pola interaksi secara timbal balik ini tentunya sudah berlangsung sangat lama yaitu sejak nenek moyang kita mengenal adanya system pertanian bercocok tanam.
Kasus-kasus ini tentunya bisa saja dicegah seandainya upaya-upaya untuk melakukan perlndungan terhadap pengelolaan sumber daya alam di Sulawesi Selatan di lakukan secara serius termasuk penegakan aturan hokum yang kuat bagi siapa saja dan tidak memandang bulu, penanganan hutan yang disertai dengan kebijakan daerah yang maksimal dengan focus pada adanya perlindungan terhadap sumber-sumber daya alam. Begitu pula upaya recovery yand diinisiasi pemerintah daerah dengan melibatkan pihak swasta dan masyarakat terhadap wilayah-wilayah pertambangan.
Fakta-fakta Empiris
Sejumlah kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan bisa menjadi indicator terhadap pentingnya memberikan perhatian serius terhadap masalah-masalah sumber-sumber daya alam di wilayah Sulawesi Selatan. Misalnya saja kasus penggundulan hutan di sejumlah daerah, pencemaran lingkungan, pengrusakan lingkungan, penyerobatan lahan pertanian dan lain-lain.
Kerusakan Hutan
Terkait dengan hutan, dari data yang diperoleh dari data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, hingga 2010 diperkirakan hutan yang rusak telah mencapai 30,6 persen hingga 40% . Luas lahan kehutanan tersebut terdiri atas 1,2 juta hektare hutan lindung, 488 hektare hutan produksi terbatas, 131 ribu hektare hutan produksi, 23 ribu hektare hutan konvensi, dan 242 ribu hektare hutan swaka alam atau wisata.
Data yang mendukung juga dikemukakan oleh Jurnal Celebes. Jurnal Celebes di salah satu media massa mengutarakan bahwa luas hutan yang ada terus menerus mengalami pengurangan. Pada 2007 hutan Sulsel berkurang sekitar 10,6 persen dan 2008 berkurang sekitar 30,6 persen dari total luas hutan yang ada di Sulsel yang pernah seluas 2,7 hektare. Pengurangan luas hutan tersebut bukan hanya karena penebangan atau aktivitas perambahan hutan tapi juga karena aktivitas pertambangan.
Pencemaran Lingkungan
Selain itu, sejumlah kasus pencemaran lingkungan juga sangat banyak. Kasus yang masih hangat (2010) adalah Kasus PT Barawaja Makassar yang melakukan pencemaran lingkungan akibat dari Amdal yang tidak diperhatikan oleh perusahaan dan pengawas yang terkait dengan itu. PT Barawaja adalah pabrik pembuat baja yang berada di Kota Makassar. Pabrik ini sudah lama diproters oleh warga karena warga menggap perusahaan telah merusak lingkungan sekitar.
Kerugian masyarakat akibat Penambangan
Untuk kasus-kasus yang diakibatkan oleh aktifitas penambangan juga banyak terjadi di Sulsel. Dalam beberapa penelitian ditemukan banyaknya dampak negative yang ditimbulkannya. Salah satu yang menarik adalah aktifitas penambangan Batu Alam di Kab. Pangkep.
Dari Penelitian yang dilakukan oleh SP Anging Mammiri ditemukan bahwa telah terjadi sejumlah aktifitas yang merugikan masyarakan dan alam di sekitar penambangan. Dampak-dampak buruk yang ditimbulkannya seperti :
- Peledakan yang membahayakan masyarakat sekitar
- Suara bising yang mengganggu
- Debu yang mengganggu kesehatan dan bahkan dapat menyebabkan penyakit asma
- Serpihan dan Bongkahan batu yang menimpa kebun/sawah dan rumah penduduk
- Pemulihan alam yang tidak maksimal menimbulkan kerusakan pada lingkungan
- Peningkatan tindak criminal
- Limbah tailing membahayakan kesehatan masyarakat.
Hal yang sama juga terjadi di sekitar daerah pertambangan PT Inco sebagaimana yang diberitakan oleh sejumlah media massa di Sulsel. Yang banyak disorot adalah sebagian kawassan tambang yang berada di hutan lindung. PT Inco menyerobot hutan damar dan rotan milik masyarakat adat. Selain itu juga, Sawah warga Dongi diubah jadi lapangan golf. Warga terpaksa membangun rumah di atas limbah batuan. Sebagian warga Soroako dipaksa meninggalkan danau Towuti yang berlumpur dengan kadar E-coli menjadi 2400 ppjm. Normalnya, sebenarnya hanya 200 ppm.
Diduga, masuknya perusahaan pertambangan oleh PT.Etam Energi Sejahtera di dusun Mari-mario pada Desember 2008 untuk melakukan eksplorasi, telah menimbulkan dampak pada kehidupan sosial dan lingkungan. PT ETAM Energi sejahtera sedang melakukan eksplorasi di dusun Mari-mario dengan luas konsensi 10 hektar. Adapun dampak sosial yang ditimbulkan oleh aktifitas pertambangan di Dusun Mari-mario, berupa :
- Saluran (pipa) air bersih yang selama ini menjadi sumber air minum warga setempat menjadi rusak, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh air bersih. Hingga saat ini masyarakat hanya memanfaatkan air hujan yang tertampung dalam sebuah bak untuk dijadikan alternatif konsumsi air minum, sehingga dapat dibayangkan apabila musim penghujan telah berhenti.
- Persawahan masyarakat terendam pasir diakibatkan oleh longsornya sisa kerukan disekitar areal tambang yang memenuhi areal persawahan, sehingga menyebabkan lahan persawahan tersebut secara otomatis tidak bisa lagi dikerjakan oleh pemiliknya, disamping itu juga disebabkan oleh putusnya saluran irigasi.
- Kebun masyarakat dijadikan jalan bagi kendaraan (truck) perusahaan.
- Lubang kubangan bekas pertambangan yang tergenang air menjadi ancaman buat masyarakat dan ternak masyarakat. Salah satu contoh faktual pada tahun 2006, seorang anak kecil yang bernama Amir anak dari bapak Arifin telah menjadi korban (meninggal dunia) akibat tenggelam dalam lubang bekas galian yang tidak di reklamasi oleh perusahaan.
- Areal Persawahan yang sudah ditanami padi terendam dengan air akibat areal dekat persawahan dijadikan Jalan tambang yang menutup saluran air.
Dampak kerusakan lingkungan yang timbulkan oleh aktifitas pertambangan di Dusun Mari-mario berupa:
- Sungai yang mengalami abrasi dan telah tercemari diakibatkan limbah perusahaan tambang yang selama ini beroperasi diwilayah dusun mari-mario.
- Jalan pemukiman masyarakat rusak (berlumpur) akibat mobil operasional (truck) perusahaan yang mengangkut pasir dan batubara yang lalu lalang.
- Kandungan asam tambang yang dapat mengancam kesehatan warga masyarakat sekitar areal tambang.
Dampak dari kerusakan lingkungan ini baik hutan, tanah dan air ini, dalam kenyataannya telah menimbulkan bencana besar di sejumlah daerah di Sulsel. katakanlah yang paling besar adalah bencana longsor di Kabupaten Gowa dan Sinjai yang terjadi sejak tahun 2004. Longsor juga terjadi hampir setiap tahunnya di Kabupaten Bone, Barru, Enrekang, Palopo, Toraja. Begitu pula dengan bencana banjir yang hampir setiap tahunnya terjadi di Kabupaten Wajo, Soppeng, Bone, Makassar, Bulukumba, Sinjai dan Bantaeng.
Sejumlah fakta-fakta di atas menjadi akibat dari beberapa hal di bawah ini :
Pemberian izin tanpa mempertimbangkan aspek Perlindungan
Pemberian izin yang dilakukan oleh pemerintah sering kali tidak mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan keberadaan sumber-sumber daya alam. Padahal upaya perlindungan terhadap sumber daya alam ini bermula dari pemberian izin oleh pemerintah karena dalam proses inilah sejumlah persyaratan dan larangan dari aspek hokum mulai ditegakkan.
Di Sulawesi selatan tampaknya proses pemberian perizinan kurang mendapatkan perhatian. Izin pengelolaan atau eksplorasi diberikan tanpa melakukan proses verifikasi yang ketat. Sejumlah kasus lingkungan yang terjadi di Sulsel ditengarai berangkat dari masalah yang muncul pada proses pemberian izin oleh pemerintah. Salah satu yang menarik adalah temuan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menemukan adanya pemberian izin pelepasan kawasan hutan di daerah Palopo dan Tana Toraja yang bermasalah. Areal hutan yang diizinkan untuk dieksplorasi termasuk hutan lindung dan tanah adat.
Data dari Jurnal Celebes menyebutkan bahwa ada 60 izin pengelolaan potensi hutan di Sulsel bermasalah dan harus diawasi karena pengelolaan izin tersebut terindikasi menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Dari 60 izin pengelolaan hutan di Sulsel, terbanyak atau 11 izin pengelolaan hutan di antaranya berada di Kabupaten Luwu, kemudian menyusul Kabupaten Maros tujuh izin dan Kabupaten Bone serta Toraja masing-masing enam izin.
Selain itu, perizinan juga bermasalah pada tambang galian golongan C, Misalnya saja di Kabupaten Pinrang. Balai Lingkungan Hidup menemukan banyaknya kerusakan lingkungan yang sangat parah akibat dari penambangan golongan C yang disebabkan karena dari awal proses perizinan itu tidak melihat kondisi obyek penambangan dan dampak yang akan ditimbulkannya. Bahkan dari kasus ini, mengindikasikan kurangnya kordinasi antar instansi pemerintah dalam hal pemberian izin. Kasus-kasus seperti ini juga terjadi di hampir semua daerah di Sulawesi Selatan karena melihat maraknya penambangan golongan C yang hampir tidak terkendali seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembangunan perumahan dan penimbunan di area-area perkotaan.
Lemahnya Penegakan Hukum.
Kebijakan dan daya control yang lemah dari pemerintah terhadap “pengelolaan dan issu perlindungan sumber daya alam”, dapat berimplikasi pada terjadinya peluang yang besar terhadap munculnya praktek “perkoncoan” dan “pelanggaran hukum”. Hal ini ditandai dengan banyaknya pihak yang terkait, telah berbuat tanpa melihat aspek hukum yang harusnya menjadi pedoman dalam stiap aktifitasnya, disamping tanpa mempertimbangkan dampak negative yang akan ditimbulkannnya. Akan halnya, pembinaan, daya control dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, terkesan “asalan”, atau bahkan tidak sama sekali dilibatkan partisipasi masyarakat, dan termasuk disalurkan keinginannya.
Hal ini dapat dilihat bahwa, permasalahan pokok dari penegakan hukum yang terkait dengan perlindungan sumber daya alam adalah kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada, yang menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Sepertio halnya, maraknya pengambilan terumbu karang dan pemboman ikan, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lahan, pertambangan tanpa izin.
Pelibatan Masyarakat yang Kurang
Selama ini proses penyusunan kebijakan di tingkat pemerintah, baik itu di tingkat pusat maupun di daerah sangatlah minim. Akibatnya banyak kebijakan yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek kepentingan, kebutuhan dan keselamatan masyarakat. Pentingnya pelibatan masyarakat kelihatannya belum dianggap sebagai sebuah kebutuhan dalam proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Padahal dalam suasana pemerintah yang demokratis ini mestinya peran serta masyarakat selalu harus di maksimalkan. Apalagi selama ini dalam sejumlah kasus pelaksanaan kebijakan lingkungan, masyarakat selalu menjadi obyek penderita secara langsung dan tidak langsung.
Minimnya partisipasi warga ini mengakibatkan banyaknya kebijakan-kebijakan pusat dan daerah yang elitis yang pelaksanaannya cenderung dipaksakan. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan sikap apatis yang tentunya akan menekan peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya.
Peran serta masyarakat sebenanya telah diatur dalam UU No. 32/2009, peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur secara khusus pada Bab XI, Pasal 70. Dalam ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bentuk-bentuk peran diatur dalam ayat (2) berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan. Sementara tujuan peran masyarakat itu sesuai ayat (3) untuk: meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Alokasi Anggaran yang Belum Memadai
Pengembangan sumberdaya Alam, kaitan dengan “Isu perlindungan terhadap Sumber Daya Alam” di daerah dapat dikatakan belum menjadi perhatian yang serius oleh pihak pemerintah, sehingga penyediaan dan dukungan anggaran untuk proses pengelolaan dan perlindungan tersebut juga belum cukup dan bahkan belum memadai.
Partisipasi pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dalam mengaloklasikan anggaran pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam tentunya sant diharsapakan. Hal ini dimaksudkan agar bisa mengantisipasi implikasi positif dan implikasi negative terhadap pengelolaan dan perlindungan Sumber Daya Alam tersebut. Beberapa daerah yang dapat menjadi “sentra pendukung” terhadap peningkatan pendapatan pemerintah daerah Propensi karena pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam, terkesan tidak terjamah atau tergarap secara baik, Alokasi anggaran masih dianggap belum cukup dan sangat minim. Dalam APBD tahun 2009 total belanja lansung untuk BAPEDALDA hanya 0,2% dari total APBD Propinsi Sulawesi Selatan. Karenaya, demi peningkatan pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam tersaebut maka perlu Pememrintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan, penambahan anggaran penangannya, sebesar 5 %.
Hal yang terkait, pada Beberapa daerah yang memiliki hutan dan sumber daya alam yang besar seperti Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Gowa, Enrekang, Tana Toraja dan lain-lain, dapat dianggap belumlah memiliki program-program yang baik, terkait dengan pencegahan, pengelolaan atau pun recovery lingkungan/sumber daya alam.
Akibat dari dukungan anggaran yang minim tersebut, menyebabkan lemahnya bentuk pengelolaan, penyelenggaran kebijakan, kaitan dengan “pengelolaan dan isu perlindungan sumber daya alam”.
Rekomendasi
Dari Sudut pandang di atas, maka dipandang perlu adanya sebuah kebijakan yang mengatur tentang
1. Mekanisme perizinan yang mempertimbangkan aspek-aspek perlindungan terhadap sumber-sumber daya alam yang mencakup sumber daya air, darat, udara dan laut.
2. Mekanisme pengelolaan sumber daya alam yang terintegrasi antara pemerintah dengan intansi yang jelas, masyarakat dan seluruh stakeholder yang concern dengan pemanfaatan sumber-sumber daya alam
3. Mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan dan implementasi kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam
4. Komitmen pemerintah yang ditunjukkan dengan adanya pengalokasian anggaran yang cukup untuk pelaksanaan perlindungan sumber daya secara berkesinambungan.
5. Penegakan sanksi hukum bagi pihak-pihak yang mengabaikan dan melanggaran aspek-aspek yang terkait dengan perlindungan sumber daya alam.
PERDA PENDIDIKAN GRATIS DI SULSEL
Dari hasil diskusi Taskforce
Beberapa rekomendasi kebijakan untuk evaluasi PERDA
Pendidikan gratis di Sulawesi Selatan merupakan program prioritas Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008 – 2013. Program ini merupakan janji Gubernur terpilih saat PILKADA 2008 yang harus diimplementsikan selama periode kepemimpinannya. Implementasi janji tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Gubernur nomor 11 tahun 2008 dan pada tahun 2009, penyelenggaraan pendidikan gratis ini selanjutnya di-PERDA-kan melalui Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan. Pendidikan gratis adalah skema pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang ditanggulangi bersama oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota guna membebaskan atau meringankan biaya pendidikan peserta didik di Sulawesi Selatan.
Inisiasi pemerintah daerah tentang program pendidikan gratis tidak semata-mata untuk mengimplementasikan janji Gubernur Sulawesi Selatan dalam PILKADA 2008 yang lalu, akan tetapi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa kewenangan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Sementara dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional tahun 2003, beberapa pasal yang lebih rinci mengatur masalah ini, antara lain:
1. Pasal 5 ayat 1
Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
2. Pasal 5 ayat 5
Setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat;
3. Pasal 34 ayat 2
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya;
4. Pasal 46 ayat 2
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat 4 UUD Negara RI tahun 1945.
Dalam undang-undang tersebut di atas menjelaskan bahwa kebutuhan akan pendidikan yang bermutu dan bebas dari pungutan menjadi kewajiban bagi negara untuk dipenuhi demi kepentingan warga negara. Oleh karena itu, Perda nomor 4 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan adalah tepat. Namun pelaksanaan Perda kadang mendapatkan hambatan dengan kenyataan di lapangan. Masalah kemudian muncul, baik di masyarakat, Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun di penyelenggara pendidikan sendiri.
KOPEL Sulawesi memandang bahwa niat baik pemerintah propinsi Sulawesi Selatan melalui PERDA Nomor 4 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan gratis ini perlu mendapat apresiasi dari semua pihak, termasuk memberikan masukan-masukan perbaikan yang dapat mendorong implementasi Perda ini agar berjalan dengan baik. Melalui task force (gugus tugas) pelayanan publik yang dibentuk oleh KOPEL yang terdiri dari unsur Partai Politik, NGO, akademisi, dan pelaku usaha telah melakukan kajian atas pendidikan gratis di Sulawesi Selatan. Atas hasil diskusi dan kajian terhadap PERDA ini, beberapa rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
2. Mutu Pendidikan
3. Komisi Pengawas Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Ketiga rekomendasi kebijakan tersebut di atas, dapat kami paparkan sebagai berikut:
1. Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah penyelenggara pendidikan membutuhkan anggaran yang begitu besar. Tidak hanya keperluan anak sekolah yang harus ditanggulangi, akan tetapi operasional, perbaikan fasilitas dan sejumlah kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang harus ditutupi. Sementara anggaran pendidikan gratis yang dikucurkan oleh pemerintah daerah sangat terbatas. Dengan anggaran yang terbatas dari subsidi pendidikan gratis yag dikucurkan oleh pemerintah daerah, membuat penyelenggara pendidikan keteteran.
Asumsi yang terbangun di masyarakat bahwa pendidikan gratis tidak lagi ada pungutan kepada siswa/orang tua siswa dalam bentuk apapun. Di pihak lain subsidi pemerintah daerah melalui pendidikan gratis sangat terbatas, praktis penyelenggara pendidikan harus mencari pudi-pundi lain untuk menutupi kekurangan anggaran. Penyelenggara pendidikan diharapkan mencari sumber pembiayaan lain selain subsidi dari pemerintah daerah.
Dalam PERDA No 4 tahun 2009 sinyal itu sudah ada, khususnya pada pasal 10 ayat (6), namun jalan keluar yang ditempuh dalam pasal ini adalah pungutan dapat dilakukan dari peserta didik atas persetujuan orang tua murid melalui Komite Sekolah. Dalam konteks ini, ada pertentangan atas Perda ini antara keinginan untuk menggratiskan peserta didik dengan ketidakmampuan pihak sekolah membiayai penyelenggaraan pendidikan. Wajar jika orang tua murid banyak yang protes “Katanya pendidikan gratis, tapi mengapa masih ada yang harus dibayar”.
Harusnya pasal dalam Perda ini menegaskan bahwa pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di luar subsidi gratis pemerintah tidak dibebankan kepada peserta didik. Perda ini perlu menegaskan kepada penyelenggara pendidikan yang masih memiliki komponen lain yang harus dibiayai untuk kreatif mencari sumber pembiayaan di luar subsidi gratis pemerintah daerah. Penyelenggara pendidikan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud dapat berupa:
• Corporate (perusahaan/BUMN/BUMD) melalui dana CSR (Corporate Social Responsibility).
• Peranserta individu/kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan financial dan peduli terhadap pengembangan pendidikan.
Masukan tersebut di atas adalah jalan keluar untuk mengatasi keterbatasan anggaran bagi penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, pasal 10 khususnya ayat (6) dan (7) Perda No. 4 Tahun 2009 agar dipertimbangkan untuk dihapus. Masukan sumber pembiayaan lainnya dapat dipertegas dalam BAB IX Pasal 14 tentang sumber pembiayaan. Penegasannya dapat dilakukan dengan merevisi pasal tersebut dan memasukkan pengaturannya dengan tegas (untuk tidak mengatakan sedikit memaksa) tentang kreatifitas penyelenggara pendidikan untuk dapat bekerja sama dengan corporate dan atau individu/kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan financial dan peduli terhadap pengembangan pendidikan ke dalam batang tubuh PERDA.
2. Mutu Pendidikan
Sejatinya Perda Penyelenggaraan Pendidikan Gratis tidak sekedar mendorong penyelenggara pendidikan untuk membebaskan anak didik dari segala pengutan, akan tetapi PERDA ini juga penting mengatur tentang peningkatan mutu pendidikan.
Dalam Pasal 12 ayat (3) menjelaskan bahwa “Subsidi pembiayaan dari pemerintah daerah dimaksudkan untuk perluasan kesempatan belajar bagi seluruh anak usia sekolah dan peningkatan mutu penyelenggaraan dan mutu luaran/lulusan”. Pasal 10 ayat (3) dan (4) menyebutkan “Sekolah swasta dan pesantren yang menolak menyelenggarakan pendidikan gratis wajib menjamin mutu proses belajar mengajar dan standar mutunya diatur dalam peraturan gubernur”. Konteks dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (3) dan (4) ini menginformasikan kepada kita bahwa subsidi pembiayaan gratis dari pemerintah daerah dimaksudkan untuk peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan dan mutu luaran/lulusan. Namun dengan subsidi yang terbatas dari pemerintah daerah diperparah dengan persepsi masyarakat tentang “pendidikan gratis” yang menganggap semuanya harus digratiskan membuat penyelenggara pendidikan terbebani. Antara perintah PERDA dengan desakan kuat dari masyarakat tentang pendidikan gratis membuat penyelenggara pendidikan tertekan dan tak mampu berbuat apa-apa. Termasuk memikirkan mutu pendidikan dan keluaran/lulusan anak didik.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam Perda No. 4 tahun 2009 yang mengatur tentang mutu pendidikan hanya beberapa pasal, antara lain Tujuan, sasaran, dan pengawasan:
- BAB IV Pasal 7 tentang tujuan penyelenggaraan pendidikan gratis, yakni point (b) “Meningkatkan mutu penyelenggaraan dan lulusan”; dan point (d) “Meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggara pendidikan gratis untuk memenuhi mutu dan produktivitas sumber daya manusia yang unggul”.
- Pasal 10 ayat (3) dan (4) “Sekolah swasta dan pesantren yang menolak menyelenggarakan pendidikan gratis wajib menjamin mutu proses belajar mengajar dan standar mutunya diatur dalam peraturan gubernur”.
- Pasal 25 “Pengawasan diharapkan dapat mengefektifkan penggunaan dan pemanfaatan dana subsidi dan peningkatan mutu lulusan penyelenggaraan pendidikan gratis”
Bila dilihat dari tujuan Perda tentang mutu pendidikan yang diharapkan tercapai begitu mulya (pasal 7 point b dan d), namun tak satupun pasal dalam Perda ini yang mengatur tentang bagaimana penyelenggara pendidikan didorong untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan dan luaran/lulusan peserta didik. Apa sebab? Setelah ditelusuri pasal demi pasal dalam PERDA ini, ada asumsi yang terbangun bahwa sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis sudah dijamin mutunya padahal belum tentu, sementara sekolah yang menolak, standar mutunya akan diatur dalam peraturan gubernur (pasal 10 ayat 3 dan 4).
Ada beberapa aspek yang mendukung terselenggaranya pendidikan yang bermutu, antara lain pembiayaan, cara dan metode, serta kapasitas pengajar/guru. Dari segi pembiayaan, jelas subsidi pemerintah daerah dalam pendidikan gratis ini tidak bisa mencukupi seluruh pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis. Sementara cara, metode, dan kapasitas tenaga pengajar/guru sama sekali tidak disinggung dalam Perda ini.
3. Komisi Pengawas Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Penyelenggaraan pendidikan gratis oleh sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis penting untuk diawasi. Banyaknya masalah yang dihadapi baik oleh penyelenggara pendidikan, pemerintah kabupaten/kota maupun komplain dari orang tua siswa yang mengharuskan penyelenggaraan pendidikan gratis perlu pengawasan yang ketat.
Dalam Perda No. 4 tahun 2009 komisi ini telah diatur dalam Bab tersendiri yakni BAB XV tentang Komisi Pengawasa Penyelenggaraan Pendidikan Gratis dalam 3 pasal yakni pasal 23, 24, dan 25. Namun dalam pengawasan ini ada beberapa catatan:
- Komisi Pengawas yang diatur dalam PERDA ini menuntut adanya anggaran operasioanal untuk memonitoring pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan gratis di 23 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan. Mengingat anggaran yang dibutuhkan lembaga ini tidak sedikit, maka perlu mempertimbangkan efektifitas keberadaan komisi ini.
- Dipahami bahwa prioritas subsidi pemerintah daerah untuk pembentukan PERDA ini adalah sekolah penyelenggara pendidikan gratis, maka sejatinya pemerintah daerah menimalkan pembengkakan anggaran selain kepada penyelenggara pendidikan gratis. Untuk pengawasan penyelenggaraan pendidikan gratis, pemerintah daerah dapat memberdayakan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah serta DPRD dengan fungsi pengawasannya.
Demikianlah rekomendasi ini dibuat, semoga menjadi catatan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan untuk perbaikan regulasi dan kebjikan atas penyelenggaraan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan.
Beberapa rekomendasi kebijakan untuk evaluasi PERDA
Pendidikan gratis di Sulawesi Selatan merupakan program prioritas Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008 – 2013. Program ini merupakan janji Gubernur terpilih saat PILKADA 2008 yang harus diimplementsikan selama periode kepemimpinannya. Implementasi janji tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Gubernur nomor 11 tahun 2008 dan pada tahun 2009, penyelenggaraan pendidikan gratis ini selanjutnya di-PERDA-kan melalui Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan. Pendidikan gratis adalah skema pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang ditanggulangi bersama oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota guna membebaskan atau meringankan biaya pendidikan peserta didik di Sulawesi Selatan.
Inisiasi pemerintah daerah tentang program pendidikan gratis tidak semata-mata untuk mengimplementasikan janji Gubernur Sulawesi Selatan dalam PILKADA 2008 yang lalu, akan tetapi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa kewenangan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Sementara dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional tahun 2003, beberapa pasal yang lebih rinci mengatur masalah ini, antara lain:
1. Pasal 5 ayat 1
Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
2. Pasal 5 ayat 5
Setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat;
3. Pasal 34 ayat 2
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya;
4. Pasal 46 ayat 2
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat 4 UUD Negara RI tahun 1945.
Dalam undang-undang tersebut di atas menjelaskan bahwa kebutuhan akan pendidikan yang bermutu dan bebas dari pungutan menjadi kewajiban bagi negara untuk dipenuhi demi kepentingan warga negara. Oleh karena itu, Perda nomor 4 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan adalah tepat. Namun pelaksanaan Perda kadang mendapatkan hambatan dengan kenyataan di lapangan. Masalah kemudian muncul, baik di masyarakat, Pemerintah Kabupaten/Kota, maupun di penyelenggara pendidikan sendiri.
KOPEL Sulawesi memandang bahwa niat baik pemerintah propinsi Sulawesi Selatan melalui PERDA Nomor 4 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan gratis ini perlu mendapat apresiasi dari semua pihak, termasuk memberikan masukan-masukan perbaikan yang dapat mendorong implementasi Perda ini agar berjalan dengan baik. Melalui task force (gugus tugas) pelayanan publik yang dibentuk oleh KOPEL yang terdiri dari unsur Partai Politik, NGO, akademisi, dan pelaku usaha telah melakukan kajian atas pendidikan gratis di Sulawesi Selatan. Atas hasil diskusi dan kajian terhadap PERDA ini, beberapa rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
2. Mutu Pendidikan
3. Komisi Pengawas Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Ketiga rekomendasi kebijakan tersebut di atas, dapat kami paparkan sebagai berikut:
1. Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah penyelenggara pendidikan membutuhkan anggaran yang begitu besar. Tidak hanya keperluan anak sekolah yang harus ditanggulangi, akan tetapi operasional, perbaikan fasilitas dan sejumlah kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang harus ditutupi. Sementara anggaran pendidikan gratis yang dikucurkan oleh pemerintah daerah sangat terbatas. Dengan anggaran yang terbatas dari subsidi pendidikan gratis yag dikucurkan oleh pemerintah daerah, membuat penyelenggara pendidikan keteteran.
Asumsi yang terbangun di masyarakat bahwa pendidikan gratis tidak lagi ada pungutan kepada siswa/orang tua siswa dalam bentuk apapun. Di pihak lain subsidi pemerintah daerah melalui pendidikan gratis sangat terbatas, praktis penyelenggara pendidikan harus mencari pudi-pundi lain untuk menutupi kekurangan anggaran. Penyelenggara pendidikan diharapkan mencari sumber pembiayaan lain selain subsidi dari pemerintah daerah.
Dalam PERDA No 4 tahun 2009 sinyal itu sudah ada, khususnya pada pasal 10 ayat (6), namun jalan keluar yang ditempuh dalam pasal ini adalah pungutan dapat dilakukan dari peserta didik atas persetujuan orang tua murid melalui Komite Sekolah. Dalam konteks ini, ada pertentangan atas Perda ini antara keinginan untuk menggratiskan peserta didik dengan ketidakmampuan pihak sekolah membiayai penyelenggaraan pendidikan. Wajar jika orang tua murid banyak yang protes “Katanya pendidikan gratis, tapi mengapa masih ada yang harus dibayar”.
Harusnya pasal dalam Perda ini menegaskan bahwa pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di luar subsidi gratis pemerintah tidak dibebankan kepada peserta didik. Perda ini perlu menegaskan kepada penyelenggara pendidikan yang masih memiliki komponen lain yang harus dibiayai untuk kreatif mencari sumber pembiayaan di luar subsidi gratis pemerintah daerah. Penyelenggara pendidikan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud dapat berupa:
• Corporate (perusahaan/BUMN/BUMD) melalui dana CSR (Corporate Social Responsibility).
• Peranserta individu/kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan financial dan peduli terhadap pengembangan pendidikan.
Masukan tersebut di atas adalah jalan keluar untuk mengatasi keterbatasan anggaran bagi penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, pasal 10 khususnya ayat (6) dan (7) Perda No. 4 Tahun 2009 agar dipertimbangkan untuk dihapus. Masukan sumber pembiayaan lainnya dapat dipertegas dalam BAB IX Pasal 14 tentang sumber pembiayaan. Penegasannya dapat dilakukan dengan merevisi pasal tersebut dan memasukkan pengaturannya dengan tegas (untuk tidak mengatakan sedikit memaksa) tentang kreatifitas penyelenggara pendidikan untuk dapat bekerja sama dengan corporate dan atau individu/kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan financial dan peduli terhadap pengembangan pendidikan ke dalam batang tubuh PERDA.
2. Mutu Pendidikan
Sejatinya Perda Penyelenggaraan Pendidikan Gratis tidak sekedar mendorong penyelenggara pendidikan untuk membebaskan anak didik dari segala pengutan, akan tetapi PERDA ini juga penting mengatur tentang peningkatan mutu pendidikan.
Dalam Pasal 12 ayat (3) menjelaskan bahwa “Subsidi pembiayaan dari pemerintah daerah dimaksudkan untuk perluasan kesempatan belajar bagi seluruh anak usia sekolah dan peningkatan mutu penyelenggaraan dan mutu luaran/lulusan”. Pasal 10 ayat (3) dan (4) menyebutkan “Sekolah swasta dan pesantren yang menolak menyelenggarakan pendidikan gratis wajib menjamin mutu proses belajar mengajar dan standar mutunya diatur dalam peraturan gubernur”. Konteks dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (3) dan (4) ini menginformasikan kepada kita bahwa subsidi pembiayaan gratis dari pemerintah daerah dimaksudkan untuk peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan dan mutu luaran/lulusan. Namun dengan subsidi yang terbatas dari pemerintah daerah diperparah dengan persepsi masyarakat tentang “pendidikan gratis” yang menganggap semuanya harus digratiskan membuat penyelenggara pendidikan terbebani. Antara perintah PERDA dengan desakan kuat dari masyarakat tentang pendidikan gratis membuat penyelenggara pendidikan tertekan dan tak mampu berbuat apa-apa. Termasuk memikirkan mutu pendidikan dan keluaran/lulusan anak didik.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam Perda No. 4 tahun 2009 yang mengatur tentang mutu pendidikan hanya beberapa pasal, antara lain Tujuan, sasaran, dan pengawasan:
- BAB IV Pasal 7 tentang tujuan penyelenggaraan pendidikan gratis, yakni point (b) “Meningkatkan mutu penyelenggaraan dan lulusan”; dan point (d) “Meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggara pendidikan gratis untuk memenuhi mutu dan produktivitas sumber daya manusia yang unggul”.
- Pasal 10 ayat (3) dan (4) “Sekolah swasta dan pesantren yang menolak menyelenggarakan pendidikan gratis wajib menjamin mutu proses belajar mengajar dan standar mutunya diatur dalam peraturan gubernur”.
- Pasal 25 “Pengawasan diharapkan dapat mengefektifkan penggunaan dan pemanfaatan dana subsidi dan peningkatan mutu lulusan penyelenggaraan pendidikan gratis”
Bila dilihat dari tujuan Perda tentang mutu pendidikan yang diharapkan tercapai begitu mulya (pasal 7 point b dan d), namun tak satupun pasal dalam Perda ini yang mengatur tentang bagaimana penyelenggara pendidikan didorong untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan dan luaran/lulusan peserta didik. Apa sebab? Setelah ditelusuri pasal demi pasal dalam PERDA ini, ada asumsi yang terbangun bahwa sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis sudah dijamin mutunya padahal belum tentu, sementara sekolah yang menolak, standar mutunya akan diatur dalam peraturan gubernur (pasal 10 ayat 3 dan 4).
Ada beberapa aspek yang mendukung terselenggaranya pendidikan yang bermutu, antara lain pembiayaan, cara dan metode, serta kapasitas pengajar/guru. Dari segi pembiayaan, jelas subsidi pemerintah daerah dalam pendidikan gratis ini tidak bisa mencukupi seluruh pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis. Sementara cara, metode, dan kapasitas tenaga pengajar/guru sama sekali tidak disinggung dalam Perda ini.
3. Komisi Pengawas Penyelenggaraan Pendidikan Gratis.
Penyelenggaraan pendidikan gratis oleh sekolah yang menerima penyelenggaraan pendidikan gratis penting untuk diawasi. Banyaknya masalah yang dihadapi baik oleh penyelenggara pendidikan, pemerintah kabupaten/kota maupun komplain dari orang tua siswa yang mengharuskan penyelenggaraan pendidikan gratis perlu pengawasan yang ketat.
Dalam Perda No. 4 tahun 2009 komisi ini telah diatur dalam Bab tersendiri yakni BAB XV tentang Komisi Pengawasa Penyelenggaraan Pendidikan Gratis dalam 3 pasal yakni pasal 23, 24, dan 25. Namun dalam pengawasan ini ada beberapa catatan:
- Komisi Pengawas yang diatur dalam PERDA ini menuntut adanya anggaran operasioanal untuk memonitoring pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan gratis di 23 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan. Mengingat anggaran yang dibutuhkan lembaga ini tidak sedikit, maka perlu mempertimbangkan efektifitas keberadaan komisi ini.
- Dipahami bahwa prioritas subsidi pemerintah daerah untuk pembentukan PERDA ini adalah sekolah penyelenggara pendidikan gratis, maka sejatinya pemerintah daerah menimalkan pembengkakan anggaran selain kepada penyelenggara pendidikan gratis. Untuk pengawasan penyelenggaraan pendidikan gratis, pemerintah daerah dapat memberdayakan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah serta DPRD dengan fungsi pengawasannya.
Demikianlah rekomendasi ini dibuat, semoga menjadi catatan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan untuk perbaikan regulasi dan kebjikan atas penyelenggaraan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan.
Kamis, 07 Oktober 2010
Minggu, 03 Oktober 2010
MENILAI LKPJ AKHIR MASA JABATAN BUPATI BULUKUMBA PERIODE 2005 - 2010
Bagian 3 (terakhir)
Misi Ketiga
“Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dengan mengoptimalkan potensi unggulan dan mendorong tumbuhnya pusat-pusat ekonomi dan pengembangan kerja sama daerah”
Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni membangun agro bisnis, peningkatan produksi hasil-hasil pertambangan, dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Tujuan 5: “Membangun agro bisnis dengan revitalisasi dan pemanfaatan sumber daya alam”
Salah satu Indikator untuk pencapaian tujuan ini ditetapkan oleh pemerintah daerah pada akhir masa jabatan adalah peningkatan produktifitas yang terdiri dari dua sektor, yakni (1) pertanian dan (2) perikanan dan kelautan.
1. Pertanian
Potensi pertanian Kabupaten Bulukumba terdiri dari beberapa komuditas, antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang ijo, dan kedelai. Dari sekian banyak potensi pertanian Kabupaten Bulukumba, padi adalah tanaman yang paling potensial yang merupakan bahan pangan utama masyarakat. Produksi tanaman pertanian yang rata-rata produksinya meningkat adalah padi, jagung, kacang tanah, dan kedelai. Sementara tanaman ubi kayu, ubi jalar, kacang ijo tingkat produksinya berpluktuasi dari tahun ke tahun.
Jika dilihat target capaian yang diharapkan Pemerintah Kabupaten Bulukumba di akhir masa jabatan berdasarkan dengan indikator yang dituangkan dalam RPJMD, jumlah produksi pertanian tanaman pangan ditargetkan 429.743 ton. Namun fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa target tersebut belum tercapai. Jumlah produksi tertinggi hanya pada tahun 2008 yang juga tak memenuhi target hanya 397.946 ton, demikian juga rata-rata produksi dari 5 tahun produksi hanya 342.810 ton.
2. Perikanan dan Kelautan
Potensi perikanan dan kelautan Kabupaten Bulukumba terdiri dari perikanan tangkap (perikanan laut) dan perikanan budidaya (perikanan darat).
Dari data menunjukkan bahwa peningkatan produksi pertanian dan perikanan dari tahun ke tahun juga berpluktuasi. Peningkatan produksi dari tahun 2004 sebesar 36.920,60 ton meningkat pada tahun 2005 sebesar 37.507,80 ton. Namun pada tahun 2006 menurun sebesar 37.455,20 ton dan meningkat drastis pada tahun 2007 sebesar 44.591,00, tapi kemudian mengalami penurunan pada tahun 2008 sebesar 38.585 ton. Jika dirata-ratakan hasil produksi selama 5 tahun 39.011,92 ton.
Jika dibandingkan dengan fakta tersebut di atas dengan harapan Pemerintah Kabupaten Bulukumba terhadap peningkatan produksi perikanan dan kelautan sangat jauh dari target. Target indikator pencapaian dari tujuan misi ini dalam hal peningkatan produksi perikanan dan kelautan adalah jumlah ikan yang diproduksi untuk konsumsi pertahun adalah 81.773 ton (yang di bagian lain juga dalam RPJMD ini dengan indikator yang sama ditargetkan 121.500 ton. Sekali lagi RPJMD ini dibuat tidak by design/ngawur).
Jika kita mengambil target terendah dari dua target yang berbeda ini sebesar 81.773 ton, maka dari 5 tahun produksi perikanan tak satu pun yang memenuhi target. Target yang tertinggi hanya pada tahun 2007, itu pun tak memenuhi target, hanya 44.591 ton dari 81.773 ton yang ditargetkan di akhir masa jabatan.
Tujuan 6: “Peningkatan produksi hasil-hasil pertambangan dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber energi”
Target yang ingin dicapai Pemerintah Kabupaten Bulukumba di akhir masa jabatan tahun 2010 untuk tujuan peningkatan produksi hasil-hasil pertambangan dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber energi adalah peningkatan sumbangan PDRB sektor pertambangan dan penggalian terhadap total PDRB Kabupaten Bulukumba.
Selain pertambangan dan penggalian, lapangan usaha yang memberikan kontribusi pertumbuhan PDRB kabupaten adalah pertanian, Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Bersih; Bangunan/Konstruksi; Perdagangan, Restoran & Hotel; Angkutan dan komunikasi; Bank dan Lembaga Keuangan; serta Jasa.
Dari sekian banyak sektor lapangan usaha, sektor pertanian yang mendominasi kontribusi peningkatan PDRB Kabupaten Bulukumba 5 tahun terakhir (2004 – 2008). Ternyata pertambangan dan penggalian yang diharapkan meningkat oleh pemerintah daerah berdasarkan dengan indikator pencapaian visi dan misi berdasarkan tujuan ini menempati persentase terendah dari lapangan usaha lainnya, yakni 0,33 (2004); 0,35 (2005); 0,36 (2006); 0,39 (2007); dan 0,40 (2008)
Tujuan 7: “Peningkatan pendapatan masyarakat”
Sasaran indikator pencapaian tujuan peningkatan pendapatan masyarakat adalah terbukanya lapangan pekerjaan dan menurunnya jumlah penduduk miskin Kabupaten Bulukumba tahun 2010. Hal ini dapat dilihat dari angka partisipasi angkatan kerja, penurunan angka pengangguran dan persentase keluarga pra sejahtera dari jumlah total keluarga.
Untuk menurunkan angka kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Bulukumba telah menargetkan persentase penurunan angka kemiskinan pada tahun 2010 berdasarkan RPJMD sebesar 6,1%. Penurunan ini dapat dilihat dari jumlah keluarga pra sejahtera dari total keluarga. Jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, penurunan presentase ini bakal tidak dicapai dengan melihat kondisi hidup masyarakat. Jika dilihat penurunan angka kemiskinan sejak dari tahun 2004 sampai dengan 2007, menunjukkan angka sebesar 1,6% atau rata-rata penurunan angka kemiskinan setiap tahunnya hanya 0,5%. Sehingga mustahil diakhir masa jabatan tahun 2010, angka kemiskinan ini dapat tercapai penurunannya sebesar 6,1%.
Jika melihat kondisi pergeseran angka tersebut, maka capaian penurunan angka kemiskinan hingga tahun 2010 hanya sebesar 2,7%. Persentase ini tidak memenuhi target sebesar 6,1% sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba di akhir masa jabatannya.
Sementara penurunan angka pengangguran terhadap angkatan kerja sedikit menggembirakan. Jumlah pengangguran terbuka sedikit menurun. Melihat perbandingan data tahun 2007 dengan 2008, angkatan kerja pada tahun 2008 yang bekerja sebanyak 187.729 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 173.445 orang, dan jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 12.566 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 16.361 orang. Sehingga diperoleh persentase bekerja terhadap angkatan kerja pada tahun 2008 sebesar 93,73% dan tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2008 sebesar 6,27% atau turun dibandingkan pada tahun 2007 yang mencapai 8,62% .
Dengan melihat data tersebut di atas, bahwa penurunan angka pengangguran yang berarti jumlah bekerja meningkat ternyata tidak diikuti dengan pengurangan jumlah kemiskinan yang signifikan atau memadai. Artinya bahwa peningkatan pendapatan masyarakat masih kurang dibandingkan dengan jumlah biaya hidup yang harus dikeluarkan, sehingga kemiskinan tetap menghantui masyarakat Kabupaten Bulukumba.
Misi Keempat
“Meningkatnya prasarana dan infrastruktur pendukung ekonomi dan kualitas pelayanan dalam pemenuhan hak dasar masyarakat”
Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni peningkatan kualitas pengelolaan usaha perekonomian rakyat.
Tujuan 8 : “Peningkatan kualitas pengelolaan usaha perekonomian rakyat”
Peningkatan kualitas pengelolaan usaha perekonomian rakyat, khususnya usaha-usaha pemberdayaan lembaga ekonomi koperasi, usaha kecil menengah dan usaha mikro merupakan salah satu indikator pencapaian dari tujuan misi ini.
Salah satu indikator yang ditetapkan dalam RPJMD sebagai pencapaian tujuan dari misi pemerintah daerah adalah jumlah koperasi yang aktif sebanyak 200 unit. Jika dilihat dari data tahun 2007, jumlah koperasi sudah melebihi dari target sebanyak 256 unit.
Meskipun demikian, jumlah ini belum bisa dipastikan berapa unit yang aktif karena LKPJ akhir masa jabatan ini tidak menyediakan data yang cukup untuk melihat target capaian koperasi yang aktif untuk mengukur sejauh mana indikator yang telah ditentukan sebelumnya – tercapai atau tidak. Demikian juga dengan jumlah anggota koperasi yang ditargetkan aktif di akhir masa jabatan sebanyak 30.000 yang pada tahun 2007 total anggota seluruhnya mencapai 69.963. Jumlah ini pun tidak bisa dipastikan berapa anggota yang aktif, apakah memenuhi target atau tidak.
Misi Kelima
“Pelestarian Sumber Daya Alam (SDA), budaya, dan peninggalan sejarah”
Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni peningkatan kualitas lingkungan hidup yang melibatkan peran serta masyarakat.
Tujuan 9 : “peningkatan kualitas lingkungan hidup yang melibatkan peran serta masyarakat”
Salah satu indikator dari pencapaian misi ini adalah meningkatnya potensi sumber daya wisata di Kabupaten Bulukumba. Dalam dokumen LKPJ masa akhir jabatan tidak ditemukan adanya potensi wisata yang baru yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba. 15% jumlah wisatawan yang berkunjung yang dijadikan indikator oleh pemerintah kabupaten juga dikeluhkan. Hal ini juga diakui oleh pemerintah kabupaten dalam LKPJ-nya bahwa hal tersebut merupakan permasalahan karena kurangnya minat wisatawan untuk mengunjungi situs-situs dan obyek wisata lainnya . Hal ini disayangkan karena Kabupaten Bulukumba adalah salah satu daerah pariwisata yang tidak hanya dikenal oleh wisatawan domestik tapi juga oleh manca negara. (Selesai)
Misi Ketiga
“Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dengan mengoptimalkan potensi unggulan dan mendorong tumbuhnya pusat-pusat ekonomi dan pengembangan kerja sama daerah”
Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni membangun agro bisnis, peningkatan produksi hasil-hasil pertambangan, dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Tujuan 5: “Membangun agro bisnis dengan revitalisasi dan pemanfaatan sumber daya alam”
Salah satu Indikator untuk pencapaian tujuan ini ditetapkan oleh pemerintah daerah pada akhir masa jabatan adalah peningkatan produktifitas yang terdiri dari dua sektor, yakni (1) pertanian dan (2) perikanan dan kelautan.
1. Pertanian
Potensi pertanian Kabupaten Bulukumba terdiri dari beberapa komuditas, antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang ijo, dan kedelai. Dari sekian banyak potensi pertanian Kabupaten Bulukumba, padi adalah tanaman yang paling potensial yang merupakan bahan pangan utama masyarakat. Produksi tanaman pertanian yang rata-rata produksinya meningkat adalah padi, jagung, kacang tanah, dan kedelai. Sementara tanaman ubi kayu, ubi jalar, kacang ijo tingkat produksinya berpluktuasi dari tahun ke tahun.
Jika dilihat target capaian yang diharapkan Pemerintah Kabupaten Bulukumba di akhir masa jabatan berdasarkan dengan indikator yang dituangkan dalam RPJMD, jumlah produksi pertanian tanaman pangan ditargetkan 429.743 ton. Namun fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa target tersebut belum tercapai. Jumlah produksi tertinggi hanya pada tahun 2008 yang juga tak memenuhi target hanya 397.946 ton, demikian juga rata-rata produksi dari 5 tahun produksi hanya 342.810 ton.
2. Perikanan dan Kelautan
Potensi perikanan dan kelautan Kabupaten Bulukumba terdiri dari perikanan tangkap (perikanan laut) dan perikanan budidaya (perikanan darat).
Dari data menunjukkan bahwa peningkatan produksi pertanian dan perikanan dari tahun ke tahun juga berpluktuasi. Peningkatan produksi dari tahun 2004 sebesar 36.920,60 ton meningkat pada tahun 2005 sebesar 37.507,80 ton. Namun pada tahun 2006 menurun sebesar 37.455,20 ton dan meningkat drastis pada tahun 2007 sebesar 44.591,00, tapi kemudian mengalami penurunan pada tahun 2008 sebesar 38.585 ton. Jika dirata-ratakan hasil produksi selama 5 tahun 39.011,92 ton.
Jika dibandingkan dengan fakta tersebut di atas dengan harapan Pemerintah Kabupaten Bulukumba terhadap peningkatan produksi perikanan dan kelautan sangat jauh dari target. Target indikator pencapaian dari tujuan misi ini dalam hal peningkatan produksi perikanan dan kelautan adalah jumlah ikan yang diproduksi untuk konsumsi pertahun adalah 81.773 ton (yang di bagian lain juga dalam RPJMD ini dengan indikator yang sama ditargetkan 121.500 ton. Sekali lagi RPJMD ini dibuat tidak by design/ngawur).
Jika kita mengambil target terendah dari dua target yang berbeda ini sebesar 81.773 ton, maka dari 5 tahun produksi perikanan tak satu pun yang memenuhi target. Target yang tertinggi hanya pada tahun 2007, itu pun tak memenuhi target, hanya 44.591 ton dari 81.773 ton yang ditargetkan di akhir masa jabatan.
Tujuan 6: “Peningkatan produksi hasil-hasil pertambangan dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber energi”
Target yang ingin dicapai Pemerintah Kabupaten Bulukumba di akhir masa jabatan tahun 2010 untuk tujuan peningkatan produksi hasil-hasil pertambangan dan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber energi adalah peningkatan sumbangan PDRB sektor pertambangan dan penggalian terhadap total PDRB Kabupaten Bulukumba.
Selain pertambangan dan penggalian, lapangan usaha yang memberikan kontribusi pertumbuhan PDRB kabupaten adalah pertanian, Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Bersih; Bangunan/Konstruksi; Perdagangan, Restoran & Hotel; Angkutan dan komunikasi; Bank dan Lembaga Keuangan; serta Jasa.
Dari sekian banyak sektor lapangan usaha, sektor pertanian yang mendominasi kontribusi peningkatan PDRB Kabupaten Bulukumba 5 tahun terakhir (2004 – 2008). Ternyata pertambangan dan penggalian yang diharapkan meningkat oleh pemerintah daerah berdasarkan dengan indikator pencapaian visi dan misi berdasarkan tujuan ini menempati persentase terendah dari lapangan usaha lainnya, yakni 0,33 (2004); 0,35 (2005); 0,36 (2006); 0,39 (2007); dan 0,40 (2008)
Tujuan 7: “Peningkatan pendapatan masyarakat”
Sasaran indikator pencapaian tujuan peningkatan pendapatan masyarakat adalah terbukanya lapangan pekerjaan dan menurunnya jumlah penduduk miskin Kabupaten Bulukumba tahun 2010. Hal ini dapat dilihat dari angka partisipasi angkatan kerja, penurunan angka pengangguran dan persentase keluarga pra sejahtera dari jumlah total keluarga.
Untuk menurunkan angka kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Bulukumba telah menargetkan persentase penurunan angka kemiskinan pada tahun 2010 berdasarkan RPJMD sebesar 6,1%. Penurunan ini dapat dilihat dari jumlah keluarga pra sejahtera dari total keluarga. Jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, penurunan presentase ini bakal tidak dicapai dengan melihat kondisi hidup masyarakat. Jika dilihat penurunan angka kemiskinan sejak dari tahun 2004 sampai dengan 2007, menunjukkan angka sebesar 1,6% atau rata-rata penurunan angka kemiskinan setiap tahunnya hanya 0,5%. Sehingga mustahil diakhir masa jabatan tahun 2010, angka kemiskinan ini dapat tercapai penurunannya sebesar 6,1%.
Jika melihat kondisi pergeseran angka tersebut, maka capaian penurunan angka kemiskinan hingga tahun 2010 hanya sebesar 2,7%. Persentase ini tidak memenuhi target sebesar 6,1% sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba di akhir masa jabatannya.
Sementara penurunan angka pengangguran terhadap angkatan kerja sedikit menggembirakan. Jumlah pengangguran terbuka sedikit menurun. Melihat perbandingan data tahun 2007 dengan 2008, angkatan kerja pada tahun 2008 yang bekerja sebanyak 187.729 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 173.445 orang, dan jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 12.566 orang dan pada tahun 2007 sebanyak 16.361 orang. Sehingga diperoleh persentase bekerja terhadap angkatan kerja pada tahun 2008 sebesar 93,73% dan tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2008 sebesar 6,27% atau turun dibandingkan pada tahun 2007 yang mencapai 8,62% .
Dengan melihat data tersebut di atas, bahwa penurunan angka pengangguran yang berarti jumlah bekerja meningkat ternyata tidak diikuti dengan pengurangan jumlah kemiskinan yang signifikan atau memadai. Artinya bahwa peningkatan pendapatan masyarakat masih kurang dibandingkan dengan jumlah biaya hidup yang harus dikeluarkan, sehingga kemiskinan tetap menghantui masyarakat Kabupaten Bulukumba.
Misi Keempat
“Meningkatnya prasarana dan infrastruktur pendukung ekonomi dan kualitas pelayanan dalam pemenuhan hak dasar masyarakat”
Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni peningkatan kualitas pengelolaan usaha perekonomian rakyat.
Tujuan 8 : “Peningkatan kualitas pengelolaan usaha perekonomian rakyat”
Peningkatan kualitas pengelolaan usaha perekonomian rakyat, khususnya usaha-usaha pemberdayaan lembaga ekonomi koperasi, usaha kecil menengah dan usaha mikro merupakan salah satu indikator pencapaian dari tujuan misi ini.
Salah satu indikator yang ditetapkan dalam RPJMD sebagai pencapaian tujuan dari misi pemerintah daerah adalah jumlah koperasi yang aktif sebanyak 200 unit. Jika dilihat dari data tahun 2007, jumlah koperasi sudah melebihi dari target sebanyak 256 unit.
Meskipun demikian, jumlah ini belum bisa dipastikan berapa unit yang aktif karena LKPJ akhir masa jabatan ini tidak menyediakan data yang cukup untuk melihat target capaian koperasi yang aktif untuk mengukur sejauh mana indikator yang telah ditentukan sebelumnya – tercapai atau tidak. Demikian juga dengan jumlah anggota koperasi yang ditargetkan aktif di akhir masa jabatan sebanyak 30.000 yang pada tahun 2007 total anggota seluruhnya mencapai 69.963. Jumlah ini pun tidak bisa dipastikan berapa anggota yang aktif, apakah memenuhi target atau tidak.
Misi Kelima
“Pelestarian Sumber Daya Alam (SDA), budaya, dan peninggalan sejarah”
Untuk mencapai misi ini, pemerintah kabupaten Bulukumba menetapkan tujuan, yakni peningkatan kualitas lingkungan hidup yang melibatkan peran serta masyarakat.
Tujuan 9 : “peningkatan kualitas lingkungan hidup yang melibatkan peran serta masyarakat”
Salah satu indikator dari pencapaian misi ini adalah meningkatnya potensi sumber daya wisata di Kabupaten Bulukumba. Dalam dokumen LKPJ masa akhir jabatan tidak ditemukan adanya potensi wisata yang baru yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba. 15% jumlah wisatawan yang berkunjung yang dijadikan indikator oleh pemerintah kabupaten juga dikeluhkan. Hal ini juga diakui oleh pemerintah kabupaten dalam LKPJ-nya bahwa hal tersebut merupakan permasalahan karena kurangnya minat wisatawan untuk mengunjungi situs-situs dan obyek wisata lainnya . Hal ini disayangkan karena Kabupaten Bulukumba adalah salah satu daerah pariwisata yang tidak hanya dikenal oleh wisatawan domestik tapi juga oleh manca negara. (Selesai)
Langganan:
Postingan (Atom)