Rabu, 12 Mei 2010

SALAH KAPRAH TENTANG KEKAYAAN

Bagikan
Kemarin jam 12:49
Diunggah melalui Facebook Seluler
"Dan kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Qs. Luqman: 18)

Sebagaimana biasa dalam halaqahnya Rasulullah saww duduk dikelilingi para sahabat. Yang terakhir datang, adalah sahabat Nabi dari kalangan fakir. Ia mengenakan pakaian yang sangat sederhana, kumal dan sudah tidak jelas warnanya. Sebagaimana anjuran Nabi, bahwa dalam sebuah majelis seseorang dianjurkan duduk ditempat manapun yang ia jangkau dan masih kosong. Ia pun tanpa merasa sungkan duduk di bagian sahabat-sahabat Nabi yang dari kalangan orang kaya, sebab ia melihat masih ada tempat kosong di situ. Iapun duduk tenang bersebelahan dengan salah seorang sahabat yang berpakaian bagus, bersih dan tampak mewah. Ada gurat wajah ketidak senangan yang tiba-tiba ditampakkan sahabat Nabi yang kaya ini, ia pun menggeserkan tubuhnya sedikit demi sedikit, ia berupaya menjauh agar tidak tampak sedang bersebelahan dengan seseorang yang pakaiannya kumal. Tingkah lakunya tidak luput dari pandangan Nabi, beliau saww pun bertanya:

"Apa engkau takut bersentuhan dengan dia?"
"Tidak ya Rasulullah!"
"Apa engkau takut, ia mengambil hartamu?"
"Tidak juga ya Rasulullah!".
"Apa engkau takut, jubahmu menjadi kotor karenanya?"
"Tidak ya Rasulullah!".
"Lantas mengapa engkau menjauh darinya?"

Sahabat Nabi tersebutpun tertunduk dan tidak berani menjawab. Sesaat ia terdiam, kemudian berkata, "Ya Rasulullah, saya mengaku telah melakukan kesalahan. Untuk menebus kesalahan saya, separuh dari kekayaan saya, saya berikan kepada saudara muslim saya ini."

Sahabat Nabi yang miskin dan berpakaian kumal ini berkata, "Tapi saya tidak mau menerima pemberiannya ya Rasulullah."

Sontak sahabat-sahabat yang lain serentak bertanya, "Kenapa?"
"Saya takut, jika memiliki harta sebagaimana dia, saya juga akan sombong dan suatu hari melakukan hal yang sama sebagaimana yang dia lakukan padaku hari ini."

Kisah di atas diriwayatkan dalam kitab Ushul Kafi jilid 2 halaman 260. Riwayat ini mengajarkan, bahwa diantara penyebab timbulnya rasa angkuh, sombong, takabur dan merasa lebih mulia dari orang lain adalah kekayaan dunia.
Tidak sedikit dari kita menilai dan beranggapan, kekayaan adalah simbol kemuliaan. Bukan hanya merasa mulia pada pandangan manusia namun juga pada pandangan Allah SWT. Allah SWT menyangkal pandangan tersebut dalam firmanNya, "Adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu Dia memuliakannya dan memberi kesenangan kepadanya, maka dia (lupa daratan seraya) berkata (dengan angkuh), "Tuhan-ku telah memuliakanku.", Adapun bila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata (dengan putus asa), "Tuhan-ku menghinakanku." (Qs. Al-Fajr: 15-16). Menurutnya, dengan kelimpahan rezeki yang Allah berikan padanya adalah petanda dan bukti bahwa Allah telah memberikan pemuliaan baginya, sementara orang-orang yang rezekinya terbatas atau berada dalam kemelaratan, baginya adalah orang-orang yang telah dihinakan oleh Allah, oleh karena itu ia merasa pantas untuk menyombongkan diri. Dalam pandangan Allah, kekayaan dan kemiskinan adalah sama-sama ujian dari-Nya, siapakah dari hamba-hambaNya, yang keimanan dan penghambaannya tidak terpengaruh oleh ada tidaknya pundi-pundi kekayaan di tangannya. Kita terkadang merasa aneh dengan orang-orang yang mencari rezeki dengan cara-cara yang diharamkan, merampas dan menggenjet hak orang lain, dan merasa telah dimuliakan oleh Allah. Harta kekayaan yang diperoleh secara baik-baik saja tidaklah menjadi tolok ukur bahwa Allah telah memuliakan seseorang, apalagi harta yang diperoleh dengan cara yg zalim.
Paradigma bahwa kekayaan adalah simbol kemuliaan dan kemiskinan adalah keterhinaan telah ada sejak zaman dahulu. Para Anbiyah as pun berhadapan dengan orang-orang yang berpandangan seperti ini. Setiap ada Nabi yang menyerukan kepada mereka keselamatan dan kebenaran, maka mereka melihat terlebih dahulu, harta kekayaan apa yang dimiliki Nabi tersebut. Ketika Allah SWT mengangkat Thalut menjadi raja bagi Bani Israil, "Mereka menjawab, "Bagaimana mungkin Thalut memerintah kami, sedangkan kami lebih berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan ia tidak diberi kekayaan yang melimpah?" (Qs. Al-Baqarah: 247). Nabi Muhammad saww pun berhadapan dengan orang-orang yang berpandangan serupa. Mereka berkata, "Mengapa tidak diturunkan kepadanya perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama dengan dia seorang malaikat?" (Qs. Huud: 12). Mereka berpandangan, kalau orang yang mengaku Nabi adalah benar-benar utusan Tuhan, maka Tuhan pasti memuliakannya dengan harta dan kekayaan yang melimpah, bukan dari orang-orang yang menurut mereka hina dina karena kepapaan dan ketiadaan harta benda yang mewah dan banyak.

Inilah diantara hikmahnya, Allah SWT mengutus para Nabi-Nya dari kalangan orang-orang biasa. Dari kelompok orang-orang sederhana yang bahkan terpinggirkan secara sosial. Bahwa kemuliaan seseorang tidaklah diukur dari banyaknya harta kekayaan yang dimiliki, melainkan ketakwaan dan ketundukan hati dalam menyembah dan memasrahkan diri pada-Nya.

Allah SWT menguraikan di antara sifat-sifat hamba-hamba yang dimuliakan-Nya, dalam firman-Nya, "Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan." (Qs. Al Furqaan: 63).

Qom, 26 Jumadil Awal 1431 H (dari Ismail Amin)