Jumat, 08 Juli 2011

TAK SEKEDAR MENILAI ANGKA-ANGKA, ADVOKASI ANGGARAN ADALAH KERJA-KERJA POLITIK

by: Herman

Dibawakan pada materi kuliah OL di Akademi KOPEL Indonesia

Mengawali kuliah kita untuk advokasi anggaran kali ini, saya akan memulainya dengan materi yang sederhana, tapi juga akan menggugah nyali anda untuk tetap bertahan mengikuti kuliah saya pada pekan-pekan selanjutnya terkait dengan advokasi anggaran. Kenapa saya katakana demikian? karena berbicara anggaran adalah berbicara tentang angka-angka dalam APBD. Bukunya tebal, dan isinya adalah angka-angka. Membacanya sungguh membosangkan (jika itupun anda paham), karena di dalamnya tak ada gambar, tak ada cela untuk membuat otak anda refresing. Oleh karena itu, saya akan memulainya dengan hal-hal yang sederhana yang semua aktivis (apapun background anda) dapat memahaminya. Soal angka-angka, cara cepat membaca dan analisanya kita akan ketemu pada pertemuan pekan-pekan selanjutnya.

Mari Kita Mulai dengan Kata “Advokasi”

Materi kuliah kali ini, saya awali dengan kata “advokasi”. Istilah advokasi lekat sekali dalam profesi hukum, menurut bahasa Belanda, advokasi itu berasal dari kata “advocaat” atau “advocaateur” yaitu pengacara atau pembela. Dalam bahasa Inggris, advokasi berasal dari kata “to advocate” yang artinya membela. Dalam konsep para aktivis, advokasi tidak hanya membela atau mendampingi masyarakat bawah, melainkan pula bersama-sama melakukan upaya-upaya perubahan sosial secara sistematis dan strategis.

Advokasi mudah sekali dilakukan, asalkan saja advokasi harus terorganisir dengan baik, dan jelas pembagian kerjanya, tak hanya itu saja bila kita siap ber-advokasi maka harus siap pula menanggung resiko yang ada karena setiap advokasi selalu ada yang menjadi korban, maksudnya korban disini ialah orang yang terkena masalah karena kerja-kerja advokasinya. Bisa berlawanan dengan kekuasaan, kebijakan yang menindas dll. Ujung-ujungnya anda bisa kena pencemaran nama baik, intimidasi (baik psikis maupun fisik), bahkan nyawa anda bisa melayang.

Memaknai Advokasi Anggaran Sebagai Kerja-Kerja Politik

Proses penyusunan, pembahasan, pelaksanaan sampai kepada pertanggungjawaban anggaran adalah sebuah siklus tahunan pemerintah daerah bersama dengan DPRD dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Proses dalam siklus anggaran ini adalah sebuah peristiwa politik. Upaya untuk mengubah anggaran dalam setiap siklusnya kepada yang lebih baik merupakan sebuah peristiwa politik. Oleh karena itu jika kita melakukan sebuah advokasi anggaran, sebenarnya kita sedang melakukan kerja-kerja politik. Namun sangat disayangkan, sebagian aktivis atau pegiat anggaran tidak memaknainya demikian. Bukan hanya kurang dipahami, namun sampai pada tingkat tertentu para aktivis advokasi anggaran masih mengidap penyakit “alergi” politik. Sering kita dengar ungkapan, “ini wilayah politik, kita jangan masuk, kita harus menjaga jarak”, dan seterusnya.

Bila kondisinya terus menerus seperti ini, maka bagaimana mungkin kita dapat melakukan perubahan, atau bagaimana kita dapat melakukan advokasi anggaran kalau kita sendiri mempresepsikan advokasi anggaran sebagai kerja-kerja teknis belaka ataupun kita alergi terhadap sesuatu yang berbau politik? Semoga kita tidak berpresepsi demikian.

Kerja-Kerja Politik dalam Advokasi Anggaran

Ada banyak macam bentuk kerja-kerja politik dalam melakukan advokasi anggaran. Kerja-kerja politik tersebut tentu saja dalam rangka mempengaruhi kebijakan anggaran yang kewenangannya hanya dimiliki oleh Pemerintah dan legislative. Bila kita sudah mengetahui bahwa kebijakan penentuan program dan kegiatan setiap SKPD, besarnya alokasi anggaran, tempat pelaksanaan (proyek) anggaran, dan pelaksana program/kegiatan (proyek), adalah mereka yang dekat dengan penentu kebijakan, maka sudah barang tentu merekalah yang paling bisa dipastikan mengetahui, bahkan “memangsa” anggaran tersebut. Lantas bagaimana dengan masyarakat bawah, terpinggirkan, termarginalkan, atau kaum duafa? Siapa yang akan membela mereka? Siapa yang akan memperjuangkan mereka agar anggaran tersebut berpihak kepadanya?

Anggaran layaknya sebuah kue. Ia adalah “kue” pembangunan yang semua orang berkeinginan untuk mencicipinya. “Saya yang merencanakan dan menyusun anggaran, masa saya harus kasih orang lain”? Kata Gubernur/Bupati/Walikota dan SKPD jajarannya. “Saya yang membahas APBD, saya yang katto palunya di paripurna DPRD, masa saya harus kasih orang lain”? Kata anggota DPRD. “Masa tak ada racci-racci’na” Kata tim sukses. “Awas….! Saya akan PAW” Kata Partai Politik terhadap kadernya di DPRD. “Boss…! Saya yang modaliko saat Pilkada, mana proyek yang mau saya kerja” Kata pengusaha.
……di lain pihak …….. “Saya kodong, dimanama kau simpang, adaji bagianku, nasudah nuambil semuami itu”? kata tukang becak, penjual sayur, pagandeng, kaum papa, miskin kota, duafa, nelayan, petani, dan sederet profesi masyarakat kita yang tertindas.

Di atas itu adalah fakta-fakta, kondisi yang sesungguhnya terjadi. Apakah dalam mengadvokasi anggaran kita harus berkutak katik terus dan memaknai anggaran hanya sebagai kerja-kerja teknis belaka? Tentu saja tidak. Lantas apa yang harus dikerjakan? Mari kita maknai advokasi anggaran sebagai kerja-kerja politik. Ada beberapa bentuk kerja-kerja politik dalam advokasi anggaran:

1. Lobby
Lobby adalah aktifitas untuk meyakinkan pihak lain supaya pihak lain tersebut seide, sekepentingan, seagenda, dan sepandangan dengan kita.

2. Negosiasi
Meskipun keadaan senilai, seagenda, dan sepandangan belum tentu tujuan advokasi dapat tercapai. Oleh karena itu dibutuhkan negosiasi.

3. Public Hearing
Meminta atau tidak diminta, kelompok masyarakat sipil harus memberikan pandangan terhadap performance APBD kita di hadapan DPRD atau Pemerintah Daerah

4. Pengaruhi Opini Publik
Melalui media, kita harus pengaruhi public terhadap sebuah isu, atau problem yang terjadi dalam setiap siklus anggaran yang dilakukan oleh DPRD/Pemerintah. Berjaringan dengan media sangat penting untuk menarik dukungan massa atas apa yang kita perjuangkan.

5. Mobilisasi koalisi atau Aliansi yang Luas
Satu suara seringkali tidak cukup, maka diperlukan suara yang lebih banyak dan keras. Mengajak orang lain yang bukan korban untuk bergabung dalam gerakan.

6. Tekanan Publik
Tekanan public bisa dilakukan melalui protes, petisi, boikot, aksi langsung.

Itu saja mahasiswaku yang cerdas2… maumi jam 20.00…….. kali lain kita sambung dengan topic yang berbeda meskipun dalam kerangka yang sama “Advokasi Anggaran”.

salam