Minggu, 23 Januari 2011

PASANG RI KAJANG UNTUK SBY

Gonjang ganjing politik, hukum yang tak adil, mafia merajalela (pajak, peradilan, hukum), telah jadi sarapan pagi setiap hari. Apakah ini terkait dengan kepemimpinan? Entahlah. Di kampung saya ada ajaran yang disebut "pasang ri Kajang". Ia merupakan keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang liku kehidupan masyarakat. Sebuah pesan-pesan lisan yang dapat berarti petuah, pesan, fatwa, nasehat, tuntunan dan peringatan. setiap orang tunduk padanya, dan jika tak diikuti dapat mendatangkan bencana bagi masyarakat. Meskipun SBY tak tau apa itu "pasang ri Kajang" berikut kutipannya kusampaikan padamu

Lambusukko nu karaeng. Piso'nako nu guru.
Gattangko nu ada'. Sabbarakko nusanro.
Salama'ko intu ri lino sambenna ri allo ri boko
Ako jamai punna tania jamannu

Artinya:

Lurus dalam memerintah. Pasrah seperti ulama.
Tegas pada aturan. Sabar seperti orang yang berilmu tinggi.
Niscaya kamu akan selamat di dunia dan akhirat kelak.
Jangan mengerjakan sesuatu hal yang bukan pekerjaanmu.

Sabtu, 22 Januari 2011

KAJANG NIGHT

Zero untuk Pemerintah Kabupaten Bulukumba
Cinta & keberanian adalah modal utama untuk berkarya


Saya cukup apresiatif atas penyelenggaran "Kajang Night" di Gedung LPTQ Makassar 21 Januari 2011. Ia menyentakkan kesadaranku betapa banyak potensi yang dimiliki kampung halaman saya KAJANG. Sebuah komunitas adat yang terpelihara dengan simbol yang banyak dikenal dengan "pakaian hitam-hitam". Tak usalah jauh-jauh memikirkan sumber daya alam di sana, prospek ekonomi, gonjang ganjing politik dll. Malam itu, sejumlah anak muda mengangkat kembali kekayaan intelektual yang selama ini terpendam di daerah ini melalui seni dan sastra. Ada pembacaan pasang ri Kajang, seni bela diri rahasia, angngaru, appirau, kelong konjo (bahasa suku asli Kajang) yang dipadukan dengan musik modern, pembacaan puisi dll.

Adakah yang memperhatikan dan mengapresiasi kesungguhan anak-anak muda di atas? Sayangnya, pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba tak satupun yang peduli. Hadir dalam kegiatan ini pun tak ada. Justru yang hadir dari Dinas Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan dan Akademisi asal Bulukumba. Padahal Kabupaten Bulukumba adalah salah satu andalan pariwisata, termasuk Kajang yang banyak dijual oleh mereka ke mancanegara. Cinta dan keberanianlah menurut Kanda Ahyar Anwar menjadi pendorong untuk terus berkarya.

Tidak pernah terbayangkan dalam pikiran saya kalau hal ini dapat diperankan oleh mereka. Siapa yang menggagas semua ini? mereka adalah Andika Mappasomba, Kanda Ahyar Anwar. Hanya dua itu yang saya tau. Andika adalah seniman dan sastrawan muda asal Bulukumba, sebuah kabupaten dimana komunitas adat Kajang bermukim. Ahyar Anwar adalah dosen muda UNM (ketua jurusan Bahasa Indonesia dan daerah). Beliau masuk di UNM kala saya sudah meninggalkan kampus tercinta ini tahun 1999. Namun dari karya-karyanya tentang kesusastraan (puisi, novel dll.)banyak saya baca.

Selain dua orang tersebut di atas, ada group band kelor, ada Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia UNM yang jadi penyelenggara. Sebuah lembaga internal kampus yang pernah saya nahkodai di tahun 1995/1996. Namun adik-adik ini tak ada satupun yang saya tau, demikian juga sebaliknya. Dan di periode itu pula didirikan sebuah lembaga di bawah himpunan yang bernama Bengkel Sastra, ini pun saya tak tau kondisinya sekarang seperti apa. Wajar, sudah lebih dari satu dekade umurnya.Di samping terhenti komunikasi, juga kesibukan merambah dunia politik. Bukan sebagai kader Parpol yang beriming-iming masuk di DPRD, tapi mengobok-obok kebijakan politik pemerintah dengan malang melintag di dunia NGO.

Terima kasih kepada Kanda Ahyar Anwar, meskipun anda orang Gowa tapi peduli dengan daerah saya Kajang. Andika ... teruslah berkarya. Adik-adik dari Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia terima kasih atas persembahanmu, jangan seperti mahasiswa lain yang kerjanya tawuran. Group Band Kelor sukses selalu.... suatu saat anda semua akan jadi orang-orang besar. ... salam dari "PASANG RI KAJANG".

Jumat, 21 Januari 2011

MENGUKUR KINERJA LEGISLASI DAERAH

(dari diskusi "Menoropong Kinerja DPRD Sulsel")

Diskusi yang berlangsung 2 jam di Kampung Popsa yang disiarkan langsung oleh Makassar FM menghadirkan narasumber Ketua DPRD Sulsel H. Muh. Room, Prof. Aminuddin Ilmar (Fak. Hukum UNHAS), Herman (KOPEL) dan Subair (koordinator Sopir) mengupas kinerja satu tahun lebih DPRD Sulsel. Kegiatan yang dilaksanakan Jumat, 21 Januari 2011 ini dihadiri oleh sejumlah anggota DPRD, NGO, dan masyarakat umum. Salah satu yang jadi sorotan adalah masalah legislasi daerah.

Menurut Muh Room, DPRD Sulawesi Selatan periode ini dalam hal legislasi sudah lebih baik dari periode sebelumnya. Menurutnya, periode yang lalu selama 5 tahun hanya menghasilkan 1 Perda hak inisiatif DPRD. Sekarang ini, baru satu tahun sudah menghasilkan 3 Perda hak inisiatif. 2 diantaranya sudah ditetapkan oleg DPRD yakni, Perda Bencana Alam dan Perda Pelayanan Publik. 1 lagi yakni Perda Ketahanan Pangan sementara masih dalam pembahasan.

Meskipun ada peningkatan dalam hal legislasi daerah, KOPEL memandang bahwa, mengukur kinerja legislasi daerah yang diperankan oleh DPRD tidak ahanya diukur dari segi jumlah. Herman dalam paparannya lebih menekankan pada substansi atas Perda yang dihasilkan oleh DPRD. Saat ini, alat kelengkapan DPRD dalam hal ini Badan Legislasi sudah merupakan alat kelengkapan DPRD yang tetap dan permanen. Sehingga anggota Badan Legislasi sudah seharusnya melakukan kajian terhadap Perda-Perda yang bermasalah, termasuk yang tidak implementatif di masyarakat. Hal lain adalah melakukan kajian dan pemetaan masalah-masalah sosial yang ada di Sulawesi Selatan untuk merumuskan permasalahan tersebut agar dapat ditindaklanjuti penyelesaiannya. Jika sebuah masalah membutuhkan regulasi untuk menanganinya, maka DPRD sudah seharusnya bergerak cepat untuk memenentukan seperti apa regulasi yang dibuat untuk penyelesaiannya.

Namun demikian, hal tersebut di atas belum sepenuhnya dilakukan oleh DPRD. Ruang Badan Kehormatan saja di DPRD tempat yang seharusnya menjadi pusat kajian regulasi daerah tidak terurus, jorok, banyak debu karena tidak pernah difungsikan. Ruang kerja saja tidak terurus apalagi kalau mau bekerja maksimal melakukan kerja-kerja kelegislasian. padahal banyak masalah yang ada di masyarakat yang perlu penanganan. Contoh ril yang diungkapkan oleh Subair sebagai masyarakat rentang yang terkena dampak sebuah kebijakan tidak pernah melihat anggota DPRD membicarakan masalah kesemrautan masalah transportasi di Sulawesi Selatan. Transportasi antar daerah di propinsi Sulasel, bahkan transportasi antar propinsi tidak pernah diurus. Banyak terminal bus antar daerah di dalam kota yang mengambil penumpang yang merugikan angkot di dalam kota. Terminal transportasi antar kota sepi. Masalah-masalah tersebut tak pernah disentuh oleh anggota DPRD.

Sabtu, 15 Januari 2011

Berbagi Makan & Minum dengan Rakyat Miskin

Sebuah buku yang dihimpun dari hasil-hasil rapat pembahasan APBD 2010 di DPRD Kabupaten Bulukumba. Menarik untuk ditelaah, sebab terdokumentasi siapa berbicara apa? siapa memperjuangkan apa? di antara anggota DPRD Bulukumba dalam sidang-sidang Pembahasan ANGGARAN

PERDA KOTA MAKASSAR PERIODE 2004 -2009




RISET REVIEW PERDA

Studi Mekanisme Kerja di Daerah terkait Dengan Review Perda
oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung

by. Herman

A. Pendahuluan

Laporan ini menyajikan pemetaan masalah sekaligus analisa terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan Daerah dan masyarakat terkait dengan review Perda. Permasalahan tersebut akan dipetakan dan dianalisis terkait dengan kewajiban review Perda oleh Pemerintah Pusat dan kendala yang dihadapi oleh masyarakat dalam memanfaatkan mekanisme review Perda sebagai instrument untuk memperjuangkan hak mereka apabila ada Perda yang dianggap melanggar kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam pembentukannya, Peraturan Daerah mendapatkan landasan konstitusional dalam konstitusi untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945). Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Undang-undang tersebut, Pasal 12 menentukan materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka:
a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan;
b) menampung kondisi khusus daerah; serta
c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berdasarkan ketentuan materi muatan Peraturan Daerah tersebut di atas, maka perlu singkronisasi peroduk peraturan perundang-undangan. Salah satu produk peraturan perundang-undangan dalam hirarkinya berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2004 adalah Peraturan Daerah. Peraturan Daerah yang dibentuk oleh daerah lebih bercorak kedaerahan/local, mengagregasi nilai-nilai masyarakat di daerah. Peraturan Daerah dapat berisi materi muatan berdasarkan dengan hasil identifikasi yang merupakan kondisi khusus daerah. Oleh karena itu banyak Peraturan Daerah yang isi materi muatannya mengatur tentang pemerintahan daerah yang bercorak lokal. Selain itu, di era otonomi daerah, Pemerintah Daerah menjadikan Peraturan Daerah sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Peraturan Daerah tentang pajak daerah atau Peraturan Daerah tentang retribusi daerah.

Terkait dengan banyaknya Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah karena bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, memberatkan masyarakat di daerah, sebagai sistem instrumen hukum negara telah menentukan mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesaian konflik peraturan dilakukan melalui pengujian peraturan perundang-undangan.

Peraturan Daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga melalui dua model kewenangan, yaitu executive review oleh Pemerintah yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri dan judicial review oleh Mahkamah Agung.

B. Pokok Permasalahan yang Ingin Digali

Ada dua hal pokok yang ingin digali melalui riset ini yaitu:

1. Kinerja Legislasi Pemerintahan Daerah Selama Periode 2004-2009

Pada bagian ini diharapkan diperoleh data mengenai hasil kerja legislasi Pemerintahan Daerah yang atara lain dalam hal jumlah Perda yang dibentuk, jenis Perda dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan fungsi legislasi selama periode tersebut.

2. Permasalahan yang Dihadapi oleh Pemerintahan Daerah dan Masyarakat Terkait dengan Review Perda.


Bagian ini ingin menggali permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan Daerah dalam melaksanakan kewajiban terkait review Perda oleh Pemerintah (pusat) dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dalam memanfaatkan mekanisme review perda sebagai instrument untuk memperjuangkan hak mereka apabila ada perda yang dianggap melanggar kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Permasalahan yang ingin digali dari sisi pemerintahan daerah tersebut meliputi:
a. Mekanisme atau prosedur rinci yang dijalankan oleh pemerintah daerah dalam menyerahkan perda maupun raperda (APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang) kepada Pemerintah (pusat);
b. Mekanisme penerimaan kembali atas Perda atau Raperda dari Pemerintah (pusat) setelah direview dan tindaklanjut yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan hasil review;
c. Hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan kewajiban untuk menyerahkan Perda atau Raperda untuk di review.

Sementara itu dalam kaitan penggalian permasalahan dari sisi masyarakat, beberapa pokok permasalahannya antara lain:
a. Wujud respon yang selama ini dilakukan untuk menguji atau mengadvokasikan perubahan atau pembatalan Perda yang sudah berlaku dan dianggap melanggar kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga dapat berakibat merugikan kepentingan masyarakat atau menguntungkan sebagian kelompok masyarakat
b. Pendapat masyarakat mengenai mekanisme review yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri; dan,
c. Pendapat masyarakat mengenai mekanisme Judicial Review oleh Mahkamah Agung serta masalah dan kesulitan yang dihadapi dalam mengajukan permohonan judicial review.

C. Metode Riset

Metode yang dilakukan untuk menggali beberapa pokok permasalahn tersebut di atas dilakukan melalui studi literature dan wawancara.

1. Studi literature dilakukan melalui pencarian data dalam bentuk berita, artikel, hasil kajian, dan data yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah maupun DPRD terkait dengan pelaksanaan fungsi legislasi.

2. wawancara dilakukan terhadap pejabat maupun unsure masyarakat yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi legislasi daerah. Oleh karena itu diperlukan upaya yang selektif dalam memilih narasumber dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang optimal. Narasumber yang diwawancarai terdiri dari unsur:
- Biro atau bagian hukum Pemerintah Kota Makassar dan Pemprov Sulawesi Selatan;
- Anggota DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan;
- LSM yang memahami isu legislasi daerah;
- Masyarakat yang terkena dampak/kerugian akibat pemberlakuan suatu perda; dan,
- Masyarakat yang pernah mengajukan review perda.


D. Daerah Sasaran Riset

Studi yang dilakukan dengan mengambil sampel daerah Kota Makassar dan persinggungannya dengan Perda-Perda yang ada di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Mengingat pembentukan sebuah peraturan bertujuan untuk menyelesaikan sebuah masalah, maka Kota Makassar sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan dengan tingkat permasalahan sosial yang ada dianggap mewakili kabupaten/kota yang lain di Sulawesi Selatan.

E. Masalah dan Analisis Mekanisme Review Peraturan Daerah (PERDA)

Dalam analisis ini, ada dua hal yang menjadi focus analisa terkait dengan mekanisme review Perda oleh pemerintah pusat, antara lain (1) Hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam review Perda. Apakah mekanisme review tersebut oleh pemerintah pusat efektif dilakukan atau tidak. Dampak yang ditimbulkan oleh daerah ketika Perda tersebut dibatalkan (baik secara keseluruhan maupun sebagian) oleh pemerintah pusat. Serta bagaimana daerah menyikapi ketika Perda-Perda yang diajukan ke pemerintah pusat dibatalkan; dan (2) Hak masyarakat dan kepentingan public untuk dilindungi dalam setiap pembentukan Perda. Bagaimana masyarakat melakukan complain atas Perda-Perda bermasalah. Apakah mekanisme review Perda yang selama ini dilakukan dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka ketika ada Perda yang dianggap melanggar kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dan bagaimana masyarakat melakukan hal tersebut.

Kedua focus analisa tersebut di atas, akan diperkuat dengan analisa terhadap pelaksanaan fungsi legislasi di daerah dan respon pemerintah daerah serta masyarakat atas mekanisme review Perda oleh pemerintah pusat.

1. Kinerja Legislasi Pemerintahan Daerah Kota Makassar Periode 2004-2009

Jumlah Perda yang dibentuk di Kota Makassar dalam kurun waktu 2004 – 2009 dapat dilihat dengan rincian sebagai berikut:
- Perda tahun 2004 sebanyak 18 buah
- Perda tahun 2005 sebanyak 31 buah
- Perda tahun 2006 sebanyak 16 buah
- Perda tahun 2007, tahun 2008, dan tahun 2009 oleh bagian hukum Pemerintah Kota Makassar belum dihimpun dengan rapi.
Dari sejumlah Perda tersebut di atas, terdapat 1 Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah Pusat yakni Perda Nomor 9 tahun 2004 tentang Pengaturan, Perlindungan dan Jasa Pelayanan Ketenagakerjaan dalam wilayah Kota Makassar. Pembatalan ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 284 tahun 2009. Perda-Perda tersebut di atas dapat dilihat di bagian lain dalam laporan ini (terlampir).

Dari jumlah tersebut di atas, sebanyak 2 buah merupakan hak inisiatif DPRD, yakni Perda nomor 2 tahun 2009 tentang Pengaturan perdagangan barang bekas layak pakai yang berasal dari luar Kota Makassar dan Perda nomor 3 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Pada tahun 2009, DPRD Kota Makassar menginisiasi 5 buah Perda yakni, Ranperda Ruang Terbuka Hijau (RTH), Ranperda pengelolaan asset, Ranperda Fasum/Fasos, Ranperda Aksesibility Penyandang Cacat dan Tunanetra, serta Ranperda Rumah Kost. Namun kelima Ranperda tersebut mengalami penundaan dan ini belum ditetapkan hingga sekarang karena terkendala dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang belum direvisi. Menurut ketua Badan Legislasi Daerah Kota Makassar Yusuf Gunco Perda RTRW menjadi dasar acuan Perda yang akan dibentuk, sehingga Perda-Perda tersebut ditunda hingga Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) selesai ditetapkan.

Sementara di tingkat provinsi menurut Muh. Room (Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan), Perda inisiatif yang dilakukan oleh anggota DPRD sebanyak 4 buah, yakni 1 Perda pada periode yang lalu dan 3 buah pada periode sekarang . Tiga Perda inisiatif tahun 2009 yakni Perda Pelayanan Publik, Perda Asi, dan Perda Penanggulangan Bencana Alam. Sementara yang sedang berproses adalah Perda Ketahanan pangan. Menurut Yagkin Padjalangi sebagai inisiator Perda Ketahanan Pangan, Perda ini dibutuhkan karena banyak produk makanan yang bermasalah, khususnya dari luar Kota Makassar. Masalah ini perlu proteksi untuk melindungi warga masyarakat Sulawesi Selatan melalui sebuah pengaturan yang dibentuk dengan Peraturan Daerah .

Dalam menyusun sebuah Ranperda, DPRD Kota Makassar maupun DPRD Provinsi memiliki 3 mekanisme, yakni dalam hal Perda inisiatif dari DPRD dan Perda usul dari Eksekutif, serta Perda sejenis yang diusulkan oleh eksekutif dan legislative secara bersamaan. Mekanisme tersebut diatur dalam Tata Tertib DPRD.

Dalam hal Ranperda yang diusulkan oleh DPRD, anggota DPRD mengajukan inisiatif sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota DPRD yang terdiri dari lebih 1 (satu) fraksi yang berbeda. Usul tersebut diajukan kepada pimpinan DPRD yang selanjutnya usul prakarsa tersebut disampaikan kepada Badan Legislasi Daerah untuk dilakukan pengkajian. Ranperda tersebut mulai digodok di alat kelengkapan Badan Legislasi DPRD dengan memberikan pertimbangan, melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi atas Ranperda yang diusulkan. Setelah dianggap rancangan tersebut dianggap final, maka DPRD mulai mengagendakan untuk melakukan rangkaian rapat bersama dengan anggota DPRD lainnya untuk mendapatkan persetujuan.

Hasil pengkajian Badan Legislasi Daerah disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna tersebut, penginisiatif Ranperda diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan atas Ranperda yang diusulkan dan anggota DPRD lainnya memberikan pandangan yang selanjutnya dijawab oleh penginisiatif atas pandangan tersebut. Pembicaraan diakhiri dengan pemberian persetujuan dan atau penolakan inisiatif anggota DPRD menjadi inisiatif DPRD secara kelembagaan.

Ranperda hak inisiatif anggota DPRD yang telah disetujui menjadi inisiatif DPRD melalui paripurna, akan ditindaklanjuti dengan pembahasan Ranperda bersama dengan walikota. . Setelah disetujui menjadi usul DPRD, Berdasarkan tata tertib DPRD Kota Makassar nomor: 1/P.DPRD/XI/2009, persidangan dilakukan melalui empat tingkatan pembicaran:
- Pembicaraan tingkat pertama adalah penjelasan pimpinan komisi/pimpinan rapat gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus terhadap Ranperda atau perubahan Perda hak inisiatif DPRD;
- Pembicaraan tingkat kedua adalah Pendapat walikota atau Pemerintah Daerah terhadap Ranperda usul DPRD dan jawaban fraksi-fraksi atas pendapat walikota;
- Pembicaran tingkat ketiga adalah pembahasan dalam rapat komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus yang dilakukan bersama antara DPRD dengan pihak eksekutif;
- Pembicaraan tingkat empat adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan laporan hasil pembicaraan tahap ketiga dan pendapat akhir fraksi-fraksi.

Dalam hal Ranperda yang diusulkan oleh pihak eksekutif, DPRD melakukan serangkaian pembahasan melalui tingkatan-tingkatan persidangan, dengan mekanisme sebagai berikut:
- Pembicaraan tingkat pertama adalah paripurna penjelasan walikota dalam rapat paripurna terhadap Ranperda yang diajukan oleh Pemerintah Daerah;
- Pembicaraan tingkat kedua adalah pandangan umum fraksi-fraksi di DPRD dan jawaban walikota terhadap pandangan umum fraksi-fraksi atas Ranperda tersebut;
- Pembicaran tingkat ketiga adalah jawaban pembahasan dalam rapat komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus yang dilakukan bersama antara DPRD dengan pihak eksekutif;
- Pembicaraan tingkat empat adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan laporan hasil pembicaraan tahap ketiga dan pendapat akhir fraksi-fraksi.
Dalam hal Ranperda yang diusulkan secara bersamaan antara DPRD dan Eksekutif, maka Ranperda yang dibahas adalah yang diusulkan oleh DPRD. Sementara Rancangan yang dibuat oleh eksekutif menjadi pembanding atau pelengkap.

2. Mekanisme Review Perda oleh Pemerintah Pusat dan Daerah

Permasalahan yang akan dikaji dan dianalisa dalam review Perda dan Ranperda oleh Pemerintah Daerah akan dipaparkan berdasarka fakta lapangan yang dialami oleh Pemerintah Daerah. Permasalahan tersebut terkait dengan prosedur yang dijalankan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
 Penyerahan Ranperda yang terkait dengan APBD, Pajak Daerah, Retribusi, dan Tata Ruang serta Perda-Perda lainnya yang dibentuk oleh daerah yang lebih bercorak kedaerahan/local dan atau Perda yang mengagregasi nilai-nilai masyarakat di daerah;
 Penerimaan kembali atas perda atau raperda dari pemerintah (pusat) setelah direview dan tindaklanjut yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan hasil review.

Berkaitan dengan Review Perda tersebut, maka kejelasan terhadap kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam system ketatanegaraan kita menjadi penting. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kata pemerintah, pemerintahan, dan Pemerintahan Daerah dibedakan artinya satu sama lain. Dalam ketentuan umum dirumuskan bahwa pemerintah adalah pemerintah pusat, yaitu Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. Sementara Pemerintahan Daerah adalah Gubernur/Bupati/Walikota bersama dengan DPRD provinsi/kabupaten/kota .

a. Eksekutif Review Perda oleh Kementrian Dalam Negeri

Di era otonomi daerah, proses pembentukan Peraturan Daerah sangat berpotensi timbulnya keanekaragaman dan pertentangan isi materi muatan Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lebih jauh lagi akan terjadi berbagai kemungkinan dalam memberikan penafsiran yang beragam terhadap isi materi Peraturan Daerah yang akan berimplikasi pada penerapannya yang juga dapat menimbulkan pertentangan.

Dalam proses review oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan atas Perda-Perda kabupaten/kota dilakukan dengan cara assistance dan evaluasi. Dalam proses assistance dan evaluasi tersebut, tidak terdapat peraturan khusus yang mengatur mekanismenya secara rinci, kecuali persoalan tenggang waktu melalui edaran dan sosialisasi ke daerah kabupaten/kota.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberikan waktu paling lama 3 hari sebelum Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan konsultasi Perda, surat pemberitahuan berikut dengan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dikonsultasikan sudah harus diterima oleh Biro Hukum Pemerintah Provinsi.

Waktu konsultasi untuk Perda selain yang terkait dengan Pajak, Retribusi, APBD, dan RTRW, biasanya selesai pada hari itu juga dengan memberikan rekomendasi/catatan penting atas Perda yang dikonsultasikan. Sementara review untuk Perda yang terkait dengan Pajak, Retribusi, APBD dan RTRW membutuhkan waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan oleh karena Perda-Perda tersebut harus dikaji dengan seksama, jangan sampai memberatkan atau membebani masyarakat, melanggar peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya atau melanggar kepentingan umum. Perda-Perda ini biasanya membutuhkan waktu paling cepat 2 minggu hingga Perda hasil review tersebut diterima kembali oleh pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti.

Jika konsultasi dengan bertemu langsung dengan Biro Hukum Pemerintah Provinsi, tidak ada secara tertulis hasil resmi yang diberikan yang menjadi standar pelayanan pada Biro Hukum Pemerintah Provinsi dalam melakukan asistensi Perda kabupaten/kota. Lebih banyak Pemerintah kabupaten/kota merekam dan melakukan pencatatan atas hasil konsultasi tersebut untuk ditindaklanjuti dalam pembahasan lanjutan Perda yang akan dibentuk. Selain pencatatan langsung/rekam yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, juga dilakukan melalui persuratan, baik oleh Pemerintah Daerah untuk permintaan review maupun Pemerintah provinsi dan Pemerintah Pusat untuk jawaban hasil review.

Dalam proses review tersebut, antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Provinsi kadang terjadi perdebatan terhadap substansi materi yang diatur dalam sebuah Perda. Hasil review Pemerintah Provinsi merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengubah muatan materi Ranperda, namun karena masalah yang dihadapi oleh daerah yang membutuhkan ketegasan dalam materi Perda sehingga kadang terjadi pertentangan dengan undang-undang di atasnya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam kasus tersebut adalah Ranperda Pelarangan Peredaran Miras di Kabupaten Barru. Saat Ranperda tersebut di konsultasikan ke Pemerintah Provinsi, Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan merekomendasikan untuk membatalkan materi tentang “pelarangan” peredaran miras, cukup pengendalian peredarannya. Namun DPRD-nya tetap ngotot. Akhirnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tetap meneruskan ke Pemerintah Pusat. Ternyata hasilnya, Perda tersebut dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri. Pembatalan tersebut dilakukan karena bertentangan dengan undang-undang dan kondisi di daerah. Ada tempat-tempat khusus yang tetap diperbolehkan orang untuk minum minuman keras (MIRAS) misalnya hotel, termasuk peredarannya dengan kadar alkohol tertentu, jadi bukan dilarang sama sekali .

Untuk mengontrol proses review Perda, selain dilakukan melalui persuratan, juga dilakukan komunikasi via telpon. Selama proses review, komunikasi terus dilakukan antara Pemerintah Kota/Kabupaten dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat (Kementrian Dalam Negeri dan departemen terkait) hingga proses review difinalisasikan yang selanjutnya akan ditindaklajuti oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Tindaklanjut hasil review oleh Pemerintah Pusat dilakukan oleh Pemerintah Kota bersama dengan Badan Legislasi DPRD dan atau Panitia Khusus DPRD atas Perda yang akan dibentuk. Jika Perda tersebut ada perubahan yang harus ditindaklanjuti, maka perubahan tersebut dibicarakan oleh pihak Pemerintah Kota bersama dengan DPRD untuk melakukan perbaikan sampai Perda tersebut difinalisasikan untuk selanjutnya ditetapkan dalam paripurna DPRD. Namun demikian, beberapa Perda ditunda pembahasannya karena ada perubahan regulasi di tingkat nasional yang menuntut Pemerintah Daerah untuk menunda pembahasan. Dalam masalah ini, contoh kasus Perda Hak Inisiatif DPRD Kota Makassar yakni Perda Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ranperda ini telah digulirkan sejak tahun 2009 hingga sekarang namun belum ditetapkan karena menunggu selesainya Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan dan Perda yang sama (RTRW) di tingkat Kota Makassar.

Dalam hal Perda yang sudah ditetapkan oleh DPRD yang dievaluasi oleh Pemerintah Pusat dan membutuhkan perbaikan, maka Kementerian Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan pembatalan, baik sebagian maupun keseluruhan Perda. Dalam rentan waktu 2004 – 2009, terdapat 1 (satu) buah Perda Kota Makassar yang dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia yakni Perda Nomor 9 tahun 2004 tentang Pengaturan, Perlindungan dan Jasa Pelayanan Ketenagakerjaan dalam wilayah Kota Makassar melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 284 tahun 2009. Pembatalan tersebut terkait lampiran nomor 3, 4, 6 dan 10 dalam Perda yang dimaksud.

Pembatalan Perda melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri yang selama ini dilakukan banyak ditentang oleh Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut M. Yusran, SH., MH. (Biro Hukum dan HAM Pemprov. Sulawesi Selatan) tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan Peraturan Daerah, yang ada itu adalah Peraturan Presiden. Ini pula yang banyak menuai protes pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada ketidak konsistenan pemerintah pusat dalam hal membatalkan sebuah Perda. Padahal sudah sangat jelas tindak lanjut pembatalan sebuah Perda telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 45 ayat (3). Jika pembatalah tersebut dilakukan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, seharusnya didahului dengan perintah pembatalan yang mekanismenya diatur melalui Peraturan Presiden .

Di dalam pasal 145 ayat (3), UU No 32 Tahun 2004, tindak lanjut dari pembatalan Perda harus dibuat melalui Peraturan Presiden yang menyatakan pembatalan Perda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut oleh Pemerintah Daerah. Kemudian, menurut ketentuan pada ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut, kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung (pasal 145 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004) melalui Judicial Review.

Lebih jauh dari hal tersebut di atas, kalangan akademisi tidak hanya memandang mekanisme pembatalan Perda secara normative sebagaimana yang dijelaskan di atas. Menurut Prof. Dr. Aswanto, SH., MSi., DFM., terkait dengan Perda yang dibatalkan oleh Kementrian Departemen Dalam Negeri sebenarnya menyalahi dari segi teori dan tidak lazim dilakukan. Dari segi teori, produk legislasi tidak boleh dibatalkan oleh eksekutif. Ini logika negara yang tidak jalan. Oleh karena itu, tidak semestinya Perda dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui sebuah keputusan, cukup Departemen Dalam Negeri memberikan masukan terhadap kajian mereka tentang Perda yang diasistensi dari daerah-daerah. Nanti Perda tersebut dibatalkan oleh Perda sendiri oleh daerah yang bersangkutan atas masukan dari berbagai pihak .

b. Judicial Review Perda oleh Mahkamah Agung

Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 145 ayat (5) menjelaskan bahwa apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan sebuah Perda karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung melalui Judicial Review.

Sejak tahun 2004 hingga sekarang, Pemerintah Kota Makassar belum pernah melakukan Judicial Review atas Peraturan Daerah yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Demikian juga halnya dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang lain di Sulawesi Selatan .

Selain Pemerintah Daerah yang dapat menjadi pemohon Judicial Review ke Mahkamah Agung atas Perda yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri, juga dimungkinkan warga masyarakat yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya sebuah Peraturan Daerah (PERDA). Menurut ketentuan pasal 31A ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dijelaskan bahwa permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam undang-undang tersebut hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan atas berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
- perorangan warga negara Indonesia;
- kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau,
- badan hukum publik atau badan hukum privat.

Berdasarkan hasil identifikasi atas riset ini, belum ada warga Kota Makassar baik perseorangan maupun badan hukum yang pernah melakukan judicial review ke Mahkamah Agung atas Perda-Perda yang diberlakukan di Kota Makassar. Satu-satunya Judicial Review yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Makassar bersama dengan unsure masyarakat dan KOPEL (Komite Pemantau Legislatif) adalah judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Undang-Undang nomor 27 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang akan menganulir Peraturan Walikota Makassar nomor 07 tahun 2008 tentang Pembentukan Ombudsman Kota Makassar .

Meskipun tidak ada yang pernah melakukan judicial review pemberlakuan Perda ke Mahkamah Agung baik perseorangan maupun badan hukum di Kota Makassar, bukan berarti tidak ada masalah dalam mekanisme judicial review atas peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Telah dijelaskan di atas bahwa tindak lanjut dari pembatalan Perda menurut pasal 145 ayat (3), UU No 32 Tahun 2004, harus dibuat melalui Peraturan Presiden (meskipun faktanya melalui Kepmendagri). Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, maka Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian, menurut Maria Farida (Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia), wewenang MA terkait pembatalan Perda berdasarkan Pasal 145 ayat (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 terbatas hanya menerima keberatan terhadap daerah yang tidak terima pembatalan Perda oleh Pemerintah, dan tidak berwenang menguji, apalagi membatalkannya. Dengan kata lain, Mahkamah Agung tidak membatalkan Perda. Tapi jika memang terbukti Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana telah dibatalkan melalui peraturan presiden, maka asasnya, Perda tersebut tidak bisa diberlakukan, karena sudah tidak punya kekuatan hukum lagi . Kesimpulannya, untuk apa lagi Pemerintah Daerah melakukan uji materil, jika tidak ada lagi peluang untuk memberlakukan kembali Perda yang telah dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Peraturan Presiden.

Sementara di lain pihak, kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang termasuk Perda (UU nomor 10 tahun 2004) telah diatur dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 juncto pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, pasal 11 UU Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 UU Nomor 5 Tahun 2004, pasal 31A UU Nomor 3 Tahun 2009, dan pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang serta dapat membatalkannya.

Perda adalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dengan demikian dapat dianalisa dengan menggunakan metode logika deduktif/silogisme, maka yang menjadi premis mayornya adalah semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan premis minornya adalah peraturan daerah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dengan demikian, dapat di tarik sebuah konklusi/kesimpulan bahwa Peraturan Daerah dapat di uji materilkan oleh Mahkamah Agung. Dengan kata lain, MA juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengujian dan pembatalan terhadap suatu Perda.

Dari analisa tersebut di atas, yang menjadi titik perhatian adalah pemohon yang mengajukan permohonan judicial review terhadap suatu Perda kepada Mahkamah Agung, yakni Pemerintah Daerah atas Perda yang dibatalkan oleh Peraturan Presiden menurut ketentuan UU Nomor 32 tahun 2004 dan warga negara perseorangan atau badan hukum menurut ketentuan pasal 31A ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Namun permohonan judicial review atas pembatalan Perda oleh Departemen Dalam Negeri tidak dengan serta merta Perda tersebut berlaku kembali karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau melanggar ketentuan umum. Artinya bahwa pasal 145 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang memberikan peluang kepada Kepala Daerah untuk melakukan judicial review atas Perda yang telah dibatalkan adalah mandul.

3. Respon Masyarakat atas Mekanisme Review Perda oleh Pemerintah Pusat dan Daerah


Berdasarkan data-data yang dikumpulkan, dalam rentan waktu 2004 - 2009 terdapat Perda yang dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia yakni Perda nomor 9 tahun 2004 tentang pengaturan dan perlindungan dan jasa pelayanan ketenagakerjaan dalam wilayah Kota Makassar. Melalui Kepmendagri nomor 284 tahun 2009, Perda tersebut dibatalkan khususnya lampiran nomor 3, 4, 6 dan 10.

Selain pembatalan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, beberapa Perda Lainnya yang kontroversi di masyarakat, antara lain Perda nomor 2 tahun 2006 tentang pengaturan perdagangan barang bekas layak pakai yang berasal dari luar Kota Makassar. Perlawanan masyarakat atas perda ini dilakukan oleh pebisnis barang bekas layak pakai karena dianggap diskriminatif. Di lain pihak, perdagangan barang bekas layak pakai dianggap dapat menurunkan omset penjualan barang yang penjualannya langsung dari produsen.

Perda lainnya adalah Perda nomor 2 tahun 2008 tentang Pembinaan anak jalanan gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Makassar. Perda ini banyak disoroti oleh NGO. Dalam Perda tersebut lebih pada pengaturan tata kota agar tidak semraut akibat banyaknya anak jalanan, pengemis, dan pengamen yang berkeliaran di jalan. Namun tidak ada upaya yang lebih kongkrit dilakukan untuk memberdayakan anak jalanan, pengemis, dan pengamen agar tidak berkeliaran lagi dijalan dengan sejumlah aktifitas yang mengganggu ketertiban kota. Padahal Perda ini menghasilkan anggaran milyaran rupiah. Menurut Prof. Dr. Aswanto, SH., MH., Perda ini pernah diteliti oleh mahasiswa Fakultas Hukum yang dipimpinnya dan menemukan bahwa pebentukan Perda ini menghabiskan anggaran sebanyak Rp. 2, 6 Milyar .

Implementasi Perda Nomor 2 tahun 2008 tentang Pembinaan anak jalanan gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Makassar ini hanya gencar dilakukan pada awal-awal pembentukannya. Di setiap perempatan jalan dibentuk posko oleh Dinas Sosial Pemerintah Kota Makassar. Namun akhir-akhir ini pengamen, anak jalanan dan pengemis kembali turun ke jalan dengan wajah baru sebagai peminta sumbangan, pengatur lalu lintas di persimpangan jalan dan penjual koran.

Perda nomor 7 tahun 2009 tentang Pelayanan Kesehatan di Kota Makassar juga menuai sorotan saat perancangannya. Seiring dengan kerja sama pelayanan kesehatan gratis antara pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Perda nomor 2 tahun 2009, maka pada saat perancangan Perda ini yang dituntut masyarakat adalah pelayanan kesehatan gratis bagi penduduk Kota Makassar. Hal ini terkait juga dengan janji Syahrul Yasin Limpo yang saat itu baru saja terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Selatan yang saat kampanye telah menjanjikan pendidikan dan kesehatan gratis.

Namun faktanya dalam Perda ini, muatan materi pengaturannya lebih banyak pembebanan biaya pelayanan daripada pembebasan biaya pelayanan. Nampaknya Perda ini dibentuk sebagai pengganti Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Ujungpandang nomor 15 tahun 1999 tentang retribusi pelayanan kesehatan dan disingkronisasikan dengan Perda Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 tahun 2009 tentang kerjasama pelayanan kesehatan gratis antara pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Respon masyarakat atas Perda Pelayanan Kesehatan ini lebih banyak diakibatkan oleh euforia janji-janji politik saat kampanye Pilkada tentang kesehatan gratis. Masyarakat tidak mau tau atas pembebanan biaya kesehatan, yang namanya gratis sebagaimana yang telah dijanjikan, maka harus gratis. Polemik inilah yang biasanya bermasalah pada saat implementasinya di pusat-pusat layanan kesehatan, rumah sakit, puskesmas dan jarigannya. Padahal di samping pembebasan biaya pelayanan, masih ada komponen lain dalam pelayanan kesehatan tersebut yang dikenakan biaya.

Kasus-kasus tersebut di atas merupakan wujud respon masyarakat atas Peraturan Daerah yang akan diberlakukan maupun yang telah diberlakukan. Meskipun banyak Perda-Perda yang bermasalah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, hingga sekarang belum ada masyarakat maupun badan hukum yang melakukan judicial review atas Perda-Perda bermasalah tersebut ke Mahkamah Agung. Wujud respon tersebut baru sebatas diskusi untuk mendorong adanya revisi atas Perda yang dianggap bermasalah di masyarakat melalui rangkaian pertemuan, diskusi dengan instansi terkait, komunitas masyarakat dan DPRD untuk melakukan revisi maupun pembatalan terhadap materi pengaturan atas pasal-pasal yang dianggap bermasalah .

Ketiadaan masyarakat atau kelompok masyarakat atau badan hukum yang melakukan judicial review atas Perda yang dianggap merugikan hak-haknya disebabkan oleh beberapa factor, antara lain:
- Judicial review Perda ke Mahkamah Agung membutuhkan kemampuan financial;
- Kerugian materil atas hak-hak masyarakat yang dirugikan atas sebuah Perda tidak sebanding dengan kebutuhan financial yang harus dikeluarkan jika judicial review dilakukan;
- Pemahaman masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan dan mekanisme judicial review masih rendah.

Faktor-faktor tersebut di atas juga mempengaruhi sikap apatis masyarakat untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Agung, khususnya masyarakat yang terkena dampak atas pemberlakuan sebuah Perda. Belum lagi mekanisme pembatalan sebuah Perda masih terus menjadi pedebatan. Sikap masyarakat sipil, khususnya CSO/Ornop atas mekanisme review baik melalui eksekutif review oleh Kementrian Dalam Negeri maupun judicial review oleh Mahkamah Agung sama dengan pendapat kalangan akademisi. Bahwa sebuah produk legislasi tidak semestinya dibatalkan oleh eksekutif. Perda sejatinya hanya bisa dibatalkan dengan Perda .

Selain sorotan atas Perda yang sudah di bentuk, masyarakat sipil juga melakukan inisiasi dalam merumuskan rekomendasi atas sejumlah kebijakan Pemerintah Daerah. Pada bulan Februari 2010, KOPEL menfasilitasi terbentuknya gugus tugas (taskforce) pelayanan public yang terdiri dari akademisi, NGO, kelompok profesi, Ormas, dan anggota Partai Politik. Gusus tugas ini bertanggung jawab untuk mengkaji sejumlah kebijakan Pemerintah Daerah, melakukan identifikasi masalah-masalah sosial, melakukan kampanye dan media roudshow, serta menyusun paper akademik untuk mengusulkan rancangan Perda dan memberikan masukan atas kebijakan-kebijakan tersebut kepada DPRD dan Pemerintah Daerah. Naskah akademik yang telah berhasil dirumuskan adalah Naskah Akademik Perda Pelayanan Publik yang menjadi hak inisiatif DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dan Naskah Akademik Rancangan Perda Perlindungan Sumber Daya Alam yang sementara masih disosialisasikan .

F. Penutup

Demikian hasil riset ini kami susun. Kami berharap ada masukan dan tanggapan dari berbagai pihak yang dapat memperkaya hasil riset ini. Terima kasih kepada Biro Hukum Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan serta anggota DPRD Kota Makassar dan DPRD Sulawesi Selatan yang turut membantu memberikan informasi. Demikian pula dengan kawan-kawan dari NGO, masyarakat sipil, dan teman-teman KOPEL atas bantuannya dalam menyediakan dokumen yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini.