Sabtu, 18 Desember 2010

KEBIJAKAN UMUM PENDAPATAN DAERAH 2011 KAB BULUKUMBA

Analisa dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang direncanakan tahun 2011 yang akan datang
by: Herman Kajang

Pendapatan daerah Kabupaten Bulukumba yang direncanakan untuk tahun anggaran 2011 sebesar Rp. 600,476,574,874.41 yang terdiri dari PAD Rp. 28,023,955,660.47 Dana Perimbangan Rp. 508,206,256,729.94 dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah sebesar Rp.64,246,362,484.00.

Tabel 1
Pendapatan Daerah Kabupaten Bulukumba
tahun anggaran 2007 - 2011


Target PAD tahun 2011 yang diproyeksikan oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba menurun dari tahun sebelumnya sebanyak 30,49% atau hanya Rp. 28,023,955,660.47 dari Rp. 508,206,256,729.94 di tahun 2010. Penurunan target PAD tahun 2011 yang begitu drastic dengan angka mencapai 30,49% atau turun sebesar Rp. 24,582,083,156.53 dari tahun 2010 menimbulkan pertanyaan, sebab dari tahun ke tahun PAD Kabupaten Bulukumba terus meningkat (lihat data APBD 2004 – 2010). Sementara pada tahun 2011 target PAD menurun hingga 30,49% dari tahun sebelumnya.

Tabel 2
Target PAD Kab. Bulukumba
Tahun 2004 - 2011


Penurunan target PAD yang cukup besar ini harus dijelaskan oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba, sebab berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, dengan PAD yang terus meningkat masih ditemukan beberapa penyimpangan, antara lain adanya penghilangan potensi pajak daerah yang tidak terdata dengan baik dan atau sengaja tidak didata. Salah satu penyimpangan yang banyak terjadi dari tahun ke tahun adalah jumlah pajak dan retribusi yang dibayar oleh Wajib Pajak tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Sebagai gambaran, data obyek pajak penginapan/wisma/hotel yang telah ditetapkan oleh Dinas Pendapatan Daerah tahun 2006, wajib pajak penginapan/wisma/hotel ditetapkan sebanyak 47 wajib pajak yang terdiri dari 33 Wajib Pajak di dalam Kota Bulukumba dan 14 Wajib Pajak di Kawasan Wisata Tanjung Bira. Pada tahun 2008, Wajib Pajak atas penginapan/wisma/hotel di dalam Kota Bulukumba hanya 14 wajib pajak, sementara di daerah kawasan wisata Tanjung Bira tidak dirinci berapa jumlah obyek pajaknya, hanya dijelaskan Hotel Bintang satu dan Hotel Melati Tiga dengan proyeksi pendapatan masing-masing Rp. 4.200.000,- dan Rp. 7.500.000,-. Pertanyaannya, apakah dalam waktu 2 tahun di Bulukumba ini, penginapan/wisma/hotel gulung tikar sampai lebih dari seperduanya dari tahun 2006 .

Bagaimana pada tahun 2010 sekarang? faktanya, tidak demikian. Bahkan ada pembangunan hotel baru dan beberapa wisma yang menaikkan statusnya menjadi hotel. Jika demikian maka pendapatan dari obyek pajak hotel/penginapan/wisma demikian pula dengan restoran dan rumah makan seharusnya bertambah bukan berkurang.

Selain pajak yang tidak jelas obyek pajaknya, juga retribusi pun demikian. Beberapa potensi penerimaan daerah yang belum dimanfaatkan dari retribusi antara lain retribusi pasar. Sejak tahun 2006, BPK melangsir jumlah Retribusi Pasar di Kabupaten Bulukumba yang terindikasi mark down sebesar Rp. 1.037.550.00 perhari atau Rp. 378.705.750.00 dalam satu tahun anggaran. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari data potensi pasar yang belum dimanfaatkan dengan mengambi sampel 31 pasar di sejumlah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bulukumba .

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, nampaknya Pemerintah Daerah membuat ketetapan pajak daerah bukan berdasarkan omzet penjualan Wajib Pajak tetapi berdasarkan permintaan dan/atau pernyataan kesanggupan Wajib Pajak.

Selain ketidakseriusan pemerintah daerah untuk memaksimalkan pemungutan pajak dan retribusi daerah berdasarkan dengan potensi rill pajak dan retribusi daerah, juga diperparah dengan kemalasan dan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak. Tunggakan-tunggakan pajak di Kabupaten Bulukumba dari tahun ke tahun terus terjadi, diantaranya:
- Pajak Hotel/penginapan/wisma
- Pajak restoran dan rumah makan
- Pajak tambang golongan C
- Retribusi pemakaian jalan daerah
- Retribusi izin mendirikan bangunan

Dengan melihat gambaran kondisi tersebt di atas, maka penurunan target PAD tahun 2011 hingga 30,49% dari tahun sebelumnya terbangun asumsi bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba menargetkan PAD seminimal mungkin tanpa melihat kondisi rill potensi pendapatan daerah, yang sebenarnya dapat ditingkatkan dan atau minimal dipertahankan target PAD tahun sebelumnya. Jika dilihat dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) tahun 2011 tentang upaya yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah dalam penerimaan pendapatan, terdapat 18 item upaya dan langkah-langkah yang akan dilakukan. Dengan melihat upaya tersebut, maka tidak seharusnya PAD menurun hingga 30,49%. Bahkan dengan tidak melakukan desain strategi apapun dalam penerimaan PAD, minimal target PAD akan sama dengan tahun sebelumnya.

Senin, 13 Desember 2010

MENAKAR KINERJA KEUANGAN DAERAH

Disari dari hasil diskusi KOPEL dengan CSO di Kota Kupang NTT

Rencana KOPEL untuk memperkuat advokasi masyarakat sipil terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah di Kota Pare-Pare, Kota Kupang, dan Kabupaten Bantul, dilakukan dengan menurunkan tim untuk melakukan assesment awal terhadap daerah-daerah yang akan dijadikan pilot proyek. Setelah diskusi beberapa waktu yang lalu di Kota Pare-Pare, selama 3 hari tim KOPEL melakukan hal yang sama di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur.

Dalam pertemuan dengan beberapa stakeholder yang tidak kurang dari 20 orang dan lembaga di Kota Kupang, beberapa hal yang menarik jadi pembelajaran bagi pegiat anggaran, antara lain: CSO Kota Kupang cukup aktif melakukan advokasi anggaran, namun keaktifan ini belum mampu untuk merubah sebuah kebijakan anggaran di level pengambil kebijakan. Umumnya sama dengan daerah-daerah lain, problem utamanya adalah bargening posisi untuk mendesakkan kepentingan masyarakat yang dipandang oleh CSO untuk diakomodir oleh pemerintah belum begitu kuat. Pilihan yang tepat untuk masalah ini bagi kawan-kawan CSO adalah memperkuat basis lebih dahulu. Banyak di antara mereka bergelut dengan masyarakat bawah untuk memberikan penyadaran, bagaimana masyarakat melek anggaran.

Dari siklus anggaran, mulai dari perencanaan, pembahasan di DPRD, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, kebanyakan dari mereka masih lebih dominan advokasinya di wilayah perencanan, misalnya mengintervensi pelaksanaan Musrenbang dan melakukan evaluasi hasil Musrenbang. Lebih jauh dari itu, mereka sudah melakukan joint dengan pemerintah daerah untuk menfasilitasi pelaksanaan training fasilitator desa yang sebelumnya telah direkrut oleh pemerintah. Harapannya, ke depan kualitas perencanaan daerah lebih berkualitas dan subtantif, tidak lagi sekedar seremoni belaka.

Hal lain yang menarik muncul dari Wakil Walikota Kupang Daniel Adoe saat KOPEL bertandang ke kantornya adalah bahwa kinerja keuangan daerah salah satu indikator yang harus dijadikan acuan adalah RPJMD. Menurut beliau, tidak sama dengan daerah lain, RPJMD Kota Kupang cukup berani untuk menampilkan indikator kuantitatif agar dapat diukur hingga akhir masa jabatan, apakah visi misi Walikota terpilih tercapai atau tidak. Demikian juga dengan hasil audit BPK tahun kemarin, Kota Kupang mendapatkan predikat Wajar Dengan Pengcualian hanya karena Tunjangan intensif pimpinan dan anggota DPRD berdasarkan PP 21 tahun 2007 belum dikembalikan oleh anggota DPRD ke kas daerah.

Hal yang demikian ini akan menjadi bahan diskusi dan sharing informasi dengan daerah lain terkait dengan program KOPEL ke depan. Hal senada juga dikemukakan oleh Bapak Victor Lerik Ketua DPRD Kota Kupang saat tim KOPEL berkunjung ke DPRD yang saat itu tengah dibahas KUA/PPAS untuk APBD tahun 2011 mendatang.

Untuk meniali kinerja keuangan pemerintah daerah, tidak hanya fokus pada LKPJ dan hasil audit BPK. Dokumen-dokumen perencanan juga penting untuk dianalisis karena harus ada ketersambungan informasi dari dokumen-dokumen tersebut. Menurut Paul Sinlaeloe dari PIAR NTT berdasarkan hasil analisisnya mengemukakan bahwa hasil audit BPK RI TA 2008 - 2010 untuk seluruh NTT selama tahun anggaran 2008 - 2010, termasuk kabupaten/kota untuk seksi IA sebanyak 610 temuan dengan saran 1.068 senilai Rp 3.679.849.841.056,17. Sebanyak 537 saran senilai Rp 538.365.582.815,80 telah ditindaklanjuti. Sementara 164 saran senilai Rp 2.537.594.187.926,39,- masih dalam proses dan 377 saran dengan nilai Rp 558.890.070.313,98 belum ditindaklanjuti. Sebanyak 278 temuan dengan 429 saran senilai Rp 3.101.703.018.245,45 di Provinsi NTT, tercatat 184 kasus senilai Rp 400.925.452.350,34 yang telah ditindaklanjuti. Sedangkan 200 kasus lainnya senilai Rp 305.914.206.477.53 masih dalam penyelesaian. Total kerugian Daerah hasi audit BPK sebesar Rp 8.247.980.000.

Temuan-temuan tersebut di atas yang direkomendasikan oleh BPK berdasarkan UU harus ditindaklanjuti selama 60 hari oleh pemerintah daerah. Olehkarena itu, persoalan ini tidak sekedar diketahui oleh pemerintah dan DPRD, tetapi juga oleh masyarakat sipil agar ada pressure untuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publik.