Kamis, 26 Agustus 2010

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian Kedelapan (terakhir)

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan


Bobot perdebatan

Dalam hal-hal yang kecil seperti penggunaan kalimat dan peletakan tanda-tanda baca dalam PERDA lebih banyak disoroti oleh anggota DPRD pada saat pembahasan PERDA, sehingga kemudian pembahasan menjadi lama dan terfokus pada hal-hal yang kecil sementara hal-hal yang lebih subtansial terlewatkan. Anggota DPRD lebih tertarik untuk mempermasalahkan kalimat dan tanda baca karena kalimat dan tanda baca lebih mudah dipertanyakan ketimbang masuk pada substansi permasalahan.

Selain itu anggapan mereka bahwa kalimat dan kata-kata dalam PERDA bisa saja memiliki tafsir beragam yang dapat merugikan kepentingan politik mereka dan partainya menyebabkan anggota DPRD lebih berhati-hati menempatkan kata-kata dan tanda baca. Situasi ini lebih banyak berpengaruh pada masalah waktu dan substansi permasalahan. Karena pembahasan PERDA yang lebih banyak mengangkat masalah kalimat dan tanda baca ini berimplikasi pada waktu yang molor sampai berhari-hari dan juga masalah substansi yang tidak lagi tersentuh secara baik. Padahal yang lebih penting untuk dibicarakan adalah substansi dari PERDA itu sendiri.

Kasus ini lebih banyak terlihat pada saat pembahasan PERDA transparansi dan partisipasi, dimana terjadi banyak perubahan kata-kata yang kemudian melemahkan kekuatan hukum PERDA itu sendiri. Selain itu, juga tampak pada pembahasan PERDA kelembagaan desa dan PERDA ADD. Dalam pembahasan PERDA ini anggota DPRD lebih banyak melihat pada sisi kesesuaian antara PERDA-PERDA ini dengan aturan-aturan yang ada diatasnya ketimbang menggali aspek-aspek yang lebih penting dan perlu diatur dalam PERDA terkait dengan kepentingan masyarakat desa.

Kesetaraan dalam perdebatan

Dalam pembahasan RANPERDA di DRPD, dominasi fraksi-fraksi besar seperti Golkar, PPP dan PDI masih terjadi.

Pada tahun 2004-2007, fraksi di DPRD hanya 2 yaitu fraksi Golkar dan Fraksi Pembaharuan yang terdiri dari semua partai selain Golkar yang ada ada di parlemen Bulukumba. Fraksi Golkar lebih mudah dan cepat mengkonsilidasikan kepentingannya dibanding dengan fraksi gabungan yang terdiri berbagai macam kepentingan karena adanya partai yang beragam sehingga sulit mengusung isu yang lebih baik.

Penggunaan hak bicara dalam forum lebih banyak digunakan dalam forum oleh fraksi besar dibanding dengan fraksi-fraksi yang kecil. Keberadaan fraksi gabungan juga tidak secara signifikan memberikan pengaruh terhadap munculnya kesetaraan dalam pembahasan karena di fraksi gabungan sendiri terkadang tidak memiliki kebersamaan dalam menyuarakan satu hal sehingga akhirnya menjadi suara masing-masing partai. Sementara itu, peran-peran kelompok masyarakat yang berbasis pada satu sektor misalnya forum kepala desa, asosiasi sopir, kelompok petani dan lain-lainnya belum melihat pentingnya memberikan tekanan kepada anggota DPRD terkait dengan kepentingan sektor di masyarakat. Padahal kelompok-kelompok masyarakat lebih banyak bersuara kritis tentang tidak efektifnya sebuah PERDA, seperti PERDA retribusi dan PERDA kelembagaan desa yang dirasakan memberatkan masyarakat pada pelaksanaannya.

Untuk aspek selain seperti dominasi kelompok laki-laki juga terjadi pada proses pembahasan yang terkait dengan isu-isu kesetaraan gender, terutama masalah keperempuanan. Masalah keperempuanan dalam beberapa proses pembahasan PERDA sangat jarang dimunculkan karena dari kalangan anggota DPRD sendiri yang tidak menganggap penting, kalaupun sempat menjadi perbincangan, isu itu pada akhirnya menjadi mental kembali karena lemahnya kekuatan politik yang mendorongnya kepermukaan. Salah satu faktor yang membuat lemahnya posisi politik perempuan di DPRD Bulukumba karena jumlah anggota DPRD dari kalangan perempuan hanya 1 orang selama rentang waktu 2004 hingga 2007. Selain itu, kekuatan pressure dari luar DPRD yang biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat dan LSM belum efektif berjalan karena tidak adanya kelompok yang secara fokus menyuarakan isu-isu keperempuanan.

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian Ke tujuh

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

2.2.2 Perdebatan


Wacana

Dalam kasus lahirnya PERDA di Bulukumba dalam rentang waktu 2004 hingga 2007 perbincangan yang banyak mengundang reaksi dari masyarakat, eksekutif dan legislatif hanyalah masalah pengaturan tentang transparansi dan partisipasi dalam pemerintahan. Setelah adanya isu tentang perlunya pengaturan tentang transparansi dan partisipasi masyarakat menganggap ini sangat penting untuk di dorong karena selama ini situasi yang transparan dan partisipatif masih susah ditemui di Bulukumba. Di tingkat DPRD sendiri wacana ini disambut dengan baik walaupun beberapa anggota dewan masih memberikan catatan tentang batasan-batasan partisipasi dan transparansi yang akan diatur tersebut. Pada awal munculnya wacana ini, respon masyarakat sangat beragam bahkan di beberapa kalangan kurang diterima dan resistens, terutama aparat Pemda sendiri dan Anggota-angota DPRD. Tapi kemudian semua pihak menyadari bahwa ini sudah menjadi sebuah spirit jaman dimana pemerintahan harus transparan dalam pengelolaan kebijakan publik, misalnya anggaran, PERDA-PERDA retribusi, itu sudah menjadi bagian kesadaran masyarakat sehingga tidak boleh lagi ditutup-tutupi.

Pada PERDA-PERDA lainnya seperti PERDA tentang desa dam retribusi hampir tidak ditemukan adanya perdebatan yang signifikan dimasyarakat dan dikalangan eksekutif dan anggota legislatif. Rata-rata perdebatan itu baru kemudian muncul dalam proses pembahasan. Misalnya saja dalam pembahasan PERDA retribusi muncul perbedaan taksiran antara Pemerintah daerah dalam hal ini Dispenda dengan anggota DPRD dalam hal target capaian PAD yang wajar untuk tahun 2007. Begitu pula pada pembahasan tentang PERDA Kedudukan Keuangan DPRD dimana muncul perdebatan antara anggota DPRD dan Bagian Hukum tentang besaran jumlah tunjangan komunikasi insentif.

Metode pembahasan

Untuk setiap pembahasan PERDA, DPRD Bulukumba selalu diikuti oleh Notulensi sehingga perubahan-perubahan materi bab/pasal/ayat tetap terdokumentasi di notulen. Cuma saja di dalam notulen itu tidak dilakukan pengelompokan atau membuat Daftar Inventarisasi Masalah untuk memudahkan penyusunan berikutnya. Dalam setiap pembahasan biasanya staf-staf sekwan kurang mengetahui pentingnya notulensi itu dan juga kurang memahami tentang tugas pokok para staf-staf tersebut pada saat pembahasan. Hal ini dapat dilihar dari kurang lengkap dan tidak sistematisnyanya catatan mereka. Bahkan hal-hal penting yang semestinya tercatat dari studi banding anggota dewan tidak tersedia di sekretariat apalagi pada saat pembahasan. Sementara untuk naskah akademik hanya PERDA Transparansi saja yang disertai Naskah Akademik. Selama ini dia tidak pernah ada Naskah Akademiki di DPRD, hanya PERDA Transparansi saja yang memiliki kelengkapan tersebut. Karena tidak ada NA, maka pemda dan DPRD pada tahun 2006 menyediakan staf ahli yang mereka hadirkan pada saat pembahasan dan menurut pengakuan Biro Hukum staf ahli ini sering dimintai masukan untuk penyusunan PERDA. Namun pada tahun 2007 staf ahli ditiadakan lagi karena dipandang tidak efektif bekerja dan anggaran yang tersedia juga tidak mencukupi untuk membayar staf ahli. Untuk pembahasan PERDA secara umum mereka memandang lebih efektif jika mengkonsultasikannnya ke Mendagri atau ke Pemerintah Daerah Propinsi karena itu sifatnya hanya penyesuaian saja dengan aturan-aturan yang ada di atasnya. Sementara dalam hal-hal yang tidak terlalu urgen untuk dikonsultasikan, DPRD lebih banyak bertanya kepada Biro Hukum sehingga dalam setiap pembahasan Biro Hukum selalu dihadirkan dalam pembahasan untuk memberikan keterangan tentang aturan-aturan yang menjadi acuan sebuah PERDA.

Metode pengambilan keputusan

Dari segi metode pengambilan keputusan dalam proses pembahasan PERDA, DPRD lebih banyak menggunakan metode aklamasi yang didahului dengan pembahasan lebih awal. Diantara PERDA-PERDA yang lahir sejak tahun 2004 baik itu PERDA retribusi, kelembagaan desa dan PERDA transparansi semuanya melalui pembahasan di tingkat DPRD. Pembahasan di DPRD sendiri dilakukan secara bertingkat yaitu didahului dengan pandangan umum fraksi dan kemudian di bawah pada pembahasan pansus dan setelah itu dibahas dalam tingkat pleno.

Dalam prakteknya untuk pembahasan RANPERDA DPRD lebih banyak menggunakan metode diskusi pleno yang dilanjutkan dengan aklamasi. Sementara metode voting sangat jarang digunakan. Bahkan untuk pembahasan RANPERDA sejak tahun 2004 tidak pernah dilakukan.

bersambung....

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian keenam

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Kelompok keahlian yang terlibat

DPRD tidak memiliki staf ahli yang akan mendukung kerja-kerja DPRD. Sehingga dalam pembahasan RANPERDA bersama eksekutif tidak ada kelompok ahli yang dilibatkan. Pelibatan kelompok ahli yang biasanya adalah akademisi hanya dilibatkan pada saat penyusunan RANPERDA oleh eksekutif dan para akedemisi itu dilibatkan hanya sebatas konsultasi saja.

Jadi DPRD dalam melakukan pembahasan, yang dilibatkan hanya Bagian Hukum dan SKPD yang terkait dengan PERDA tersebut. Biasanya ketika pembahasan mengalami hambatan, maka solusi yang seringkali dilakukan adalah studi banding ke daerah yang sudah mengatur atau berhubungan dengan materi PERDA tersebut atau yang paling sering dilakukan adalah konsultasi dengan pemerintah pusat di Jakarta.

Sifat rapat

Rapat-rapat pada pembahasan RANPERDA bersifat terbuka, namun informasi bahwa ada pembahasan RANPERDA di DPRD tidak terpublikasi ke masyarakat secara luas, biasanya yang mengakses informasi RANPERDA tersebut pada saat pembahasan adalah para wartawan atau LSM yang kebetulan sementara berada di Gedung DPRD. Jarang sekali masyarakat datang ke DPRD dengan tujuan ingin mengetahui proses pembahasan RANPERDA. Mungkin karena tidak merasa ada kepentingan secara langsung terkait PERDA yang dibahas tersebut. Pemerintah Daerah menganggap pelibatan masyarakat sudah cukup pada saat diadakan sosialisasi RANPERDA di kecamatan- kecamatan.

Forum-forum publik yang diselenggarakan

PERDA Transparansi adalah PERDA yang dianggap cukup sempurna dalam proses sebuah penyusunan PERDA. Pelibatan stakeholer sangat berperan. Ini dapat dilihat dari proses penyusunannya. Penyusunan PERDA ini diawali dengan adanya pembentukan pokja transparansi dan partisipasi. Pokja inilah yang melakukan pengkajian dan diskusi. Pada proses berikutnya, eksekutif bersama pokja melakukan beberapa kali forum diskusi atau konsultasi publik dalam rangka penyempurnaan RANPERDA tersebut.

Meskipun PERDA ini merupakan inisiasi dari program P2TPD yang dibiayai oleh Bank Dunia, namun dikalangan stakeholder PERDA ini dipandang sangat dibutuhkan untuk melakukan perbaikan kinerja di birokrasi pemerintahan yang gencar-gencarnya disoroti. Walaupun dalam proses kemunculannya ada kesan bahwa PERDA ini dilakukan karena ‘terpaksa’.

Selain PERDA transparansi ini, diantara PERDA-PERDA yang ada di Bulukumba tidak ada yang melalui proses konsultasi publik sebelumnya, yang ada hanya sosialisasi RANPERDA di 10 kecamatan yang dilakukan oleh Bagian Hukum pada saat sebelum diserahkan ke legislatif untuk dibahas. Kegiatan sosialiasi ini pun kesannya hanya formalitas, karena yang diundang bukan kelompok yang berkaitan langsung dengan PERDA tersebut. Kebiasaan yang terjadi pada saat sosialiasi bahwa PERDA apapun itu yang diundang dalam sosialisasi adalah masyarakat yang sama, hal itu disebabkan karena kegiatan tersebut hanya formalitas dan menggugurkan kewajiban saja bahwa RANPERDA itu telah disosilisasikan. Sehingga kelompok-kelompok masyarakat yang terkait langsung dengan pelaksanaan PERDA tersebut tidak mengetahui kalau ada PERDA yang berhubungan profesi mereka.

Terkait dengan sosialisasi, pemerintah dalam hal ini tidak melakukannya secara merata, sehingga kalangan masyarakat kurang mengetahui persis isi dari PERDA-PERDA bahkan ada masyarakat yang tidak mengetahui tentang adanya PERDA yang baru ditetapkan. Misalnya pada komunitas pasar dan terminal, pada umumnya mereka tidak mengetahui kalau ternyata sudah ada PERDA yang baru mengenai retribusi terminal. Hal ini ini terjadi karena pemerintah Bulukumba pada saat RANPERDA disusun atau setelah PERDA ditetapkan, sosialisasinya tidak maksimal. Kegiatan tersebut hanya dilakukan di kantor-kantor kecamatan dengan peserta yang tertentu dan terbatas. Seharusnya sosialisasi itu dilakukan di lokasi stakeholder atau elemen yang diatur oleh PERDA berada, seperti terminal atau pasar.

bersambung ....

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian kelima

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

2.2. PROSES

2.2.1 Partisipasi Publik

Tahapan dan waktu


Dalam Tata Tertib DPRD Bulukumba, pembahasan RANPERDA dibahas dalam 4 (empat) tingkatan pembicaraan yang secara garis besar sebagai berikut :
1. Penjelasan Kepala Daerah atas RANPERDA kalau berasal dari eksekutif atau Penjelasan Pimpinan Panitia Khusus RANPERDA tersebut kalau hak inisiatif DPRD
2. Pemandangan Umum fraksi
3. Pembahasan di tingkat komisi atau gabungan komisi
4. Pemandangan umum fraksi dan pengambilan keputusan

Biasanya setelah RANPERDA diserahkan oleh eksekutif melalui rapat paripurna penyerahan di DPRD, maka pihak DPRD kemudian membentuk panitia khusus (Pansus) RANPERDA yang akan dibahas. Di Pansus inilah para anggota DPRD menyusun jadwal pembahasan bersama dengan eksekutif atau SKPD yang terkait, termasuk agenda DPRD untuk reses ke masyarakat dalam rangka penyerapan aspirasi terkait RANPERDA tersebut.

Ideal pembahasan RANPERDA adalah minimal 3 bulan pembahasan, namun beberapa RANPERDA di Bulukumba dibahas maraton untuk disahkan secara cepat. Contohnya adalah PERDA tentang perubahan nama rumah sakit (RSUD Bulukumba ) yang hanya kurang lebih satu minggu langsung disahkan. Juga dengan PERDA tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD yang dibahas hanya sekitar 3 hari saja. Ini menjadi contoh menarik bahwa terkait dengan kepentingan DPRD atau Kepala Daerah maka proses pembahasan PERDAnya relatif singkat dan disetujui dengan cepat tanpa ada perdebatan yang alot. PERDA protokoler misalnya, saat itu DPRD sangat berkepentingan untuk dibayarkan tunjangan komunikasi dan dana operasionalnya terkait dengan perubahan PP 37 tahun 2006. Sedangkan PERDA perubahan nama rumah sakit diindikasikan bahwa PERDA tersebut merupakan kepentingan Bupati, karena nama yang diusulkan adalah nama neneknya, yakni Andi Sultan Daeng Radja yang baru-baru resmi menjadi pahlawan nasional. Malah DPRD pada saat itu melakukan studi banding keluar propinsi, padahal kabupaten tetangganya yakni Kabupaten Bantaeng sudah lama mengganti nama RSUDnya dengan nama tokoh asli daerah tersebut.

Menyangkut PERDA APBD, bahwa menjadi kebiasaan Kabupaten Bulukumba selalu terlambat menetapkan APBDnya. Dalam aturannya APBD diharuskan ditetapkan paling lambat 31 Desember tahun berjalan. Kabupaten Bulukumba biasanya molor 3-5 bulan berikutnya. Pada konteks ini sebenarnya kesalahan tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada pihak eksekutif sebagai penanggungjawab dalam penyusunan RAPBD, namun justru peran dari legislatif dalam mendorong pembahasan APBD yang tepat waktu harus juga dipertanyakan. Idealnya penyusunan jadwal pembahasan RAPBD tetap dikawal dan didorong terus oleh panitia musyawarah DPRD, namun pihak DPRD hanya mampu menyoroti eksekutif atas keterlambatan penyusunan RAPBD tanpa melakukan langkah-langkah lebih konkrit dan tegas.

Akses informasi


Proses penyusunan RANPERDA baik di eksektutif maupun pembahasan di DPRD kurang tersosialisasi di masyarakat, hanya kelompok tertentu saja yang dekat dengan birokrasi pemerintahan yang mengetahui ada pembahasan RANPERDA. Karena pada saat sosialisasi RANPERDA hanya kelompok tertentu saja diundang oleh pihak kecamatan.

Masyarakat biasanya baru mengetahui ketika DPRD turun ke kecamatan-kecamatan melakukan reses terkait RANPERDA tersebut, itu jumlahnya sangat terbatas. Artinya tidak ada mekanisme di DPRD yang secara khusus melalui media informasi yang disajikan oleh DPRD dalam menyebarkan informasi pembahasan PERDA tersebut.

Namun khusus untuk pembahasan RANPERDA RAPBD, DPRD dan eksekutif telah menginisasisi proses pembahasan RAPBD tersebut dengan menyiarkan secara langsung di Radio Panrita Lopi milik Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Lewat radio tersebut, masyarakat dapat mendengarkan persoalan yang dibicarakan atau diperdebatkan oleh panitia anggaran DPRD dengan tim anggaran eksekutif. Pernah terjadi pada pembahasan RAPBD 2007, saat panitia anggaran DPRD berdebat dengan tim anggaran eksekutif, tiba- tiba seorang anggota DPRD menginterupsi bahwa dia di SMS oleh masyarakat yang sementara mendengar pembahasan itu lewat radio dan mengatakan siaran liputan pembahasan tiba-tiba berhenti. Masyarakat tersebut protes bahwa siaran tersebut harus dilanjutkan dan diminta untuk disiarkan terus. Dan saat itu DPRD meminta eksektutif menyiarkan kembali pembahasan tersebut.

Sedangkan pembahasan PERDA-PERDA lainnya yang bukan APBD, hanya disiarkan pada saat rapat paripurna penyerahan dan penetapan PERDA tersebut.

Stakeholders/pemangku kepentingan yang terlibat

Pelibatan stakeholder secara khusus dalam pembahasan RANPERDA hampir tidak ada, pembahasan RANPERDA hanya dilakukan oleh Pansus bersama Bagian Hukum dan SKPD yang terkait, sehingga penggalian informasi dari stakeholder sangat minim. Nanti pada tahun 2007 di revisi Tatib DPRD mengakomodir keterlibatan masyarakat atau stakeholder dalam pembahasan RANPERDA. Pada Bab X tentang pembentukan RANPERDA, pada pembicaraan tingkat ketiga pembahasan dalam rapat komisi atau gabungan komisi atau pansus bersama dengan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk juga melibatkan stakeholder. Namun sejak tatib ini disahkan, pelibatan masyarakat belum juga dilaksanakan pada saat pembahasan RANPERDA.

Kecuali PERDA 10 tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi, pelibatan stakeholder yaitu para pokja yang diinisiasi oleh Bank Dunia pada saat penyusunan di eksekutif masih terus dilibatkan di pembahasan di DPRD.

Kelompok rentan yang terlibat

Tidak ada pelibatan kelompok rentan dalam pembahasan RANPERDA. Karena biasanya dalam pembahasan tidak ada iniasitif dari eksektutif maupun DPRD mengundang kelompok rentang yang terkait RANPERDA tersebut untuk mempertanyakan, apakah PERDA tersebut tidak merugikan atau mengorbankan kelompok masyarakat tertentu. Jangankan kelompok rentan, stakeholder atau para pemangku kepentingan saja tidak diundang. Ataukah memang sampai saat ini belum ada PERDA yang dilahirkan yang membicarakan atau mengatur secara khusus kelompok rentang tersebut.

bersambung ....

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian keempat

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Beban dan manfaat yang ditimbulkan terhadap anggaran daerah

Setiap PERDA yang ditetapkan membutuhkan biaya ratusan juta rupiah. Bila dikalkulasi besaran anggaran untuk melahirkan PERDA dengan jumlah 57 PERDA tentu akan membutuhkan milyaran rupiah dalam kurun waktu tahun 2004 hingga sekarang. Belum lagi saat implementasi PERDA, akan membutuhkan cost atas konsekuensi yang ditimbulkan dari pemberlakuan PERDA tersebut.

Satu-satunya manfaat yang mendatangkan uang atau menambah kas daerah adalah PERDA yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah. Bila dikalkulasi dengan mengambil sampel tahun 2007 dengan total PAD yang ditargetkan sebesar Rp. 20 milyar sebagai manfaat dari terbitnya PERDA pajak dan retribusi daerah, maka selama 4 tahun yang dapat diambil dari manfaat PERDA ini adalah sebesar Rp. 80 milyar. Hal inipun masih kurang dengan melihat target PAD Kabupaten Bulukumba yang tidak pernah tercapai dalam tahun-tahun terakhir ini. Jika dikalkulasi dengan jumlah PERDA sebanyak 57 buah, maka dapat diprediksi di atas 50 % dari Rp. 80 milyar akan tersedot hanya untuk penyusunan dan pembentukan PERDA selama kurun waktu 4 tahun. Hal ini dapat diprediksi dengan melihat ritme penyusunan PERDA di eksekutif dan pembahasan PERDA di legislatif. Karena setiap PERDA yang akan ditetapkan, tidak dianggap “sah” bila tidak disertai dengan ritual studi banding. Sebagai gambaran untuk pembahasan PERDA Nomor 1 tahun 2007 tentang perubahan nama Rumah Sakit Umum Bulukumba saja, anggota DPRD keluar daerah untuk studi banding atas PERDA tersebut. Padahal PERDA ini hanya satu lembar dengan 3 pasal yang mengatur tentang (1) definisi; (2) Perubahan nama dari RSUD Kabupaten Bulukumba ke RSUD H. Sultan Daeng Raja; dan (3) waktu pemberlakuan PERDA. Bisa dibayangkan dengan PERDA-PERDA yang lain yang lebih banyak ditetapkan atas perintah UU setelah diatur dalam PP yang membutuhkan konsultasi kepada Mendagri. Hal ini tentu tidak membutuhkan biaya yang sedikit. Padahal di kabupaten tetangganya yakni Bantaeng telah lama mengganti nama RSUDnya dengan nama tokoh dari Kabupaten Bantaeng. Ongkos pulang balik dari dan ke Bantaeng hanya Rp. 10.000

Tingkat kesesuaian terhadap konstitusi dan peraturan perundang-undangan

Dalam kontes Bulukumba justru PERDA-PERDA lebih banyak dihasilkan hanya karena tuntutan dari aturan yang lebih diatas atau tingkat nasional. Belum banyak PERDA yang dihasilkan dari upaya menggali potensi daerah atau melindungi warga secara ekonomi, sosial budaya dan hukum. Kecendrungannya adalah setiap ada peraturan atau perubahan aturan ditingkat nasional, maka pemerintah daerah akan menindak lanjuti dengan pembuatan PERDA atau perubahan PERDA. Contohnya PERDA tentang Pembentukan tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja lembaga teknis kabupaten.

Di Bulukumba ada dua PERDA yang direkomendasikan oleh pusat untuk segera dicabut, yaitu PERDA tentang Pajak Produksi hasil Perkebunan, yang obyeknya adalah PT. Lonsum, karena hasil perkebunan karet ini juga telah dipungut pajaknya oleh pemerintah pusat. Kedua adalah pajak pengangkutan hasil bumi, alasan pusat untuk segera dicabut adalah akan menghambat perekonomoian dengan tingginya biaya operasional produksi, analoginya adalah kalau setiap daerah memungut pengangkutan tersebut setiap kabupaten yang dilewati maka biayanya akan semakin tinggi dan ini merugikan masyarakat dan pengusaha. Memang pada awal masa-masa otonomi daerah, muncul trend di kabupaten-kabupaten untuk membuat regulasi yang tujuannya mengumpulkan pajak atau retribusi, pemerintah kabupaten berusaha sekreatif mungkin bagaimana ada pos-pos yang dapat dipungut bayaran dari sektor ekonomi masyarakat. Alhasil banyak PERDA yang tiba-tiba bermunculan mengerus uang rakyat dengan alasan otonomi daerah, bahwa sebuah kabupaten mempunyai otonomi yang luas untuk mengatur daerahnya, termasuk meningkatkan pendapatan daerah.

Setelah berjalan beberapa tahun, dan dievaluasi ternyata justru PERDA –PERDA tersebut menghambat peningkatan ekonomi masyarakat, belum lagi pajaknya menjadi dobel karena obyek pajak juga telah membayar kepada pemerintah pusat.

Kemudian ada beberapa PERDA –PERDA yang tidak memasukkan PERDA No 10 Tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di konsideran PERDA tersebut, padahal PERDA itu ditetapkan setelah PERDA 10 tahun 2005 lahir. PERDA –PERDA tersebut adalah :
• PERDA No. 12 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan Pengangkatan, Pelantikan, Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa
• PERDA No. 13 Tahun 2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa
• PERDA No. 14 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Desa
• PERDA No. 15 Tahun 2006 tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa
• PERDA No. 16 Tahun 2006 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa
• PERDA No. 18 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa
• PERDA No. 19 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Desa
• PERDA No. 20 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa

Potensi masalah dalam implementasi


Ada asumsi yang mengatakan bahwa anggota DPRD dalam membahas dan menetapkan sebuah PERDA tidak akan lepas dari kepentingan pragmatis anggota DPRD. Contohnya adalah upaya DPRD ngotot untuk menargetkan Pendapatan Asli Daerah yang lebih besar di APBD, meski pihak Dispenda telah memberikan argumentasi bahwa target tersebut sulit tercapai dengan beberapa alasan pertimbangan, namun anggota DPRD tetap menargetkannya kepada Dispenda. Kepentingan pragmatis anggota DPRD dalam kasus ini jelas nampak bahwa kenaikan PAD akan berdampak langsung bagi peningkatan tunjangan anggota DPRD. DPRD tidak mampu menghitung atau mengukur potensi daerah, terlebih lagi dengan tidak adanya kesepahaman dengan eksekutif tentang target PAD.

PERDA no 12 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan Pengangkatan, Pelantikan, Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa juga tidak lepas dari kepentingan sebagian anggota DPRD. Anggota DPRD sangat berkepentingan untuk duduk kembali pada pemilu 2009, sehingga mereka mendorong orang-orangnya untuk menjadi kepala desa, yang nantinya akan menjadi pendulang suara dalam pemilu.

Pengalaman pelaksanaan pilkades yang telah dilakukan 2 kali secara serentak di beberapa desa, ternyata masih menyisahkan banyak masalah. Salah satu alasan dan tudingan munculnya banyak masalah tersebut karena PERDA yang mengatur tentang pemilihan itu kurang jelas mengatur proses pemilihannya. DPRD dituding punya kontribusi atas lahirnya PERDA yang samar-samar tersebut, bahwa karena ketidak tegasan dalam PERDA tersebut, memungkinkan ada kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan besar mengintervensi proses pilkades baik secara langsung atau tidak langsung untuk memenangkan calonnya. Salah satu item dianggap bermasalah adalah pada pasal Pembentukan Panitia Pemilihan. Dalam pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci kriteria-kriteria atau syarat menjadi panitia pemilihan, yang disebutkan hanyalah unsurnya saja seperti terdiri dari unsur perangkat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan golongan profesi. Nah di item inilah banyak menimbulkan masalah, karena proses politik yang terjadi di desa adalah bagaimana untuk lebih awal merebut kepanitiaan dipemilihan, sehingga yang banyak terjadi adalah upaya saling menjegal untuk menjadi calon kepala desa. Karena kriterianya tidak`diatur secara rinci sehingga biasanya panitia yang terbentuk adalah hasil konsipirasi dari salah satu kandidat calon kepala desa. Karena panitia tidak dianggap independen lagi sehingga banyak warga masyarakat yang protes, apalagi calon kepala desa yang tidak diloloskan.

Meski sudah jelas faktor penyebab dari beberapa persoalan pilkades yang telah berlangsung, namun Pemerintah Kabupaten Bulukumba dan DPRD, berkilah bahwa pelaksanaan pilkades dinilai cukup sukses, karena dari puluhan desa yang melaksanakan pilkades, hanya 1-5 desa saja yang bermasalah. Dan beberapa permasalahan telah berproses hukum di pengadilan.


bersambung ......

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian ketiga

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan


Pengaruh terhadap kelompok rentan

Tidak ada satu peraturan pun yang membawa pengaruh sama terhadap pelbagai lapisan sosial dalam masyarakat. Pengaruh peraturan pada suatu kelompok, akan berbeda dengan pengaruh pada kelompok lain. 57 PERDA yang dikeluarkan dalam kurun waktu tahun 2004 hingga sekarang, tidak ada yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap kelompok rentan atas PERDA yang diterbitkan. Demikian pula akses bagi kelompok rentan untuk dapat diakomodir kepentingan mereka atas PERDA-PERDA tersebut juga tidak ada. Nampaknya PERDA dibuat dengan asumsi dan anggapan bahwa semua kelompok masyarakat adalah sama. Sehingga dalam batang tubuh setiap PERDA tidak mengatur secara khusus masalah ini. Selain pengaturan khusus yang tidak dilakukan dalam setiap PERDA yang diterbitkan, juga memang dalam kurun waktu tahun 2004 hingga sekarang, tidak ada PERDA yang mengatur masalah kelompok rentan.

Salah satu yang dapat dikategorikan mengakomodir kelompok rentan hanyalah masalah pemberdayaan perempuan. Dalam PERDA APBD, pengalokasian anggaran secara khusus untuk pemberdayaan perempuan tetap dilakukan. Namun hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk perlindungan maupun dalam hal mengakomodir aspirasi kelompok rentan. Hanya secara kebetulan dalam SKPD Sekretariat Daerah memiliki bagian pemberdayaan perempuan. Lagi pula bila APBD diperbandingkan dengan anggaran untuk sektor lainnya, sangatlah memiriskan. Tidak perlu mengkhusus kepada sektor perempuan atau kelompok rentan lainnya, perbandingan alokasi anggaran antara kepentingan aparatur dengan kepentingan publik saja sudah sangat jauh berbeda. RAPBD tahun 2008 tidak mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat. Seluruh belanja, baik belanja langsung maupun belanja tidak langsung dari total keseluruhan APBD sebesar Rp. 565.993.994.732,- masih memihak kepada pejabat dan aparatur pemerintah kabupaten. Ini tercermin dari besarnya jumlah belanja pegawai (BTL+BL), dan perjalanan dinas saja jumlahnya sudah cukup fantastic. Bila dipresentasekan belanja ini mencapai Rp. 266.791.054.090,- atau 49% dari total belanja sebesar Rp. 565.993.994.732,-.

Selain masalah perempuan, di Kabupaten Bulukumba terdapat kelompok adat terpencil di Kajang yang membutuhkan perlindungan untuk kelestarian budaya dan adat istiadat. Namun dalam dalam hal ini, tak ada satupun PERDA yang dapat melindungi keaslian budaya masyarakat adat. Bahkan cenderung menjadi komuditi atas nama wisata budaya. Padahal di satu sisi, keberadaan kelompok ini diakui dengan prinsip hidup yang dipegang secara turun temurun. Salah satu kebanggaan masyarakat adat hanyalah ketika kunjungan para pejabat dan wisatawan untuk minta didoakan dan diramalkan nasibnya ke depan dengan caranya yang juga cenderung irrasional.

Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa antara satu kelompok dengan kelompok masyarakat yang lain memiliki kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda. Sehingga obyek yang dikenakan atas terbitnya sebuah PERDA juga tidak bisa disamakan. Dampak yang dapat ditimbulkan dari PERDA-PERDA yang tidak memihak tersebut, akan berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan masyarakat atau kelompok rentan. Pemberlakuan PERDA Nomor 6 tahun 2007 tentang retribusi pasar pada kelompok masyarakat miskin yang menjual di pelataran, emperan yang ditagih setiap hari akan berpengaruh pada tingkat pendapatan mereka. Sebab dalam satu hari belum tentu mendapatkan untung atas jualannya. Karena PERDA ini tidak mempertimbangkan omset penjualan bagi kelompok ini yang cenderung masih terbatas, bahkan kurang dan tidak ada sama sekali. Demikian juga halnya dengan PERDA Nomor 7 tahun 2007 tentang retribusi terminal. Bukan hanya angkot yang dikenakan retribusi, akan tetapi juga pedagang dan penjual yang mangkal dalam terminal meskipun itu tidak menetap.

Selain PERDA tersebut di atas, peningkatan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD melalui PERDA atas nama PP No. 21 tahun 2007 sangat berpengaruh pada kepentingan masyarakat, khususnya kelompok rentan. Pengaruh dan dampak yang dapat dipastikan adalah berkurangnya anggaran yang tersedia akibat dari peningkatan tunjangan anggota dewan melalui PERDA Nomor 3 tahun 2007 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Bulukumba

Pengaruh terhadap prinsip-prinsip dasar

Dalam pelaksanaan roda pemerintahan, salah satu fungsi dari pemerintah adalah menyediakan publik goods, atau fasilitas layanan publik yang disediakan kepada publik seperti jalanan, irigasi, sekolah, puskesmas untuk mendorong peningkatan ekonomi masyarakat. Pembangunan infrastruktur di segala bidang dapat dilakukan jika semuanya dapat terserap dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun faktanya adalah pembangunan infrastruktur yang menjadi kebutuhan prioritas masyarakat masih banyak yang tidak terakomodir dalam PERDA APBD, sangat kontras dengan alokasi perjalanan dinas, pembelian kendaraan dinas dan belanja pegawai yang selalu mendapatkan porsi lebih banyak. Belum lagi, penetapan PERDA APBD Bulukumba yang kurun waktu empat tahun terakhir selalu terlambat ditetapkan, secara matematis berdampak langsung pada terhambatnya peningkatan ekonomi masyarakat oleh karena pembangunan menjadi mandek. PERDA APBD belum menjadi problem solving atau penyelesaian masalah bagi pengurangan pengangguran, penanggulangan kemiskinan, masyarakat hanya menjadi penonton dalam perebutan kue APBD tersebut. Buktinya jumlah orang miskin dari tahun ke tahun semakin meningkat, peristiwa yang memiriskan pernah terjadi di Kecamatan Herlang, seorang bapak membunuh kedua anaknya karena sudah tidak mampu lagi memberikan makanan kepada anaknya, setelah itu dia berupaya bunuh diri. Ini menjadi potret bahwa kemiskinan masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Meski dalam visi misi Pemerintah Daerah yang tertuang dalam RPJMD, bahwa akan mendorong peningkatan kualitas SDM dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun upaya untuk mewujudkan hal tersebut belum maksimal dalam arti hanya dalam tataran konsep saja. Mengalokasian budget anggaran belum mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang banyak ditemukan adalah justru program-program yang hanya memboroskan anggaran saja, tidak menjadi kebutuhan riil masyarakat.

Begitupula seharusnya urusan-urusan yang menjadi tugas dari pemerintahan tidak dibebankan lagi kepada masyarakat, contohnya pengurusan KTP dan dokumen catatan sipil lainnya masih dikenakan pungutan-pungutan yang dilandasi dengan adanya PERDA No 4 tahun 2006 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Dokemen Catatan Sipil lainnya. Yang menjadi pertanyaan kritis bahwa sebenarnya apakah dokumen-dokumen seperti itu merupakan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan pemerintah. Urusan seperti ini seharusnya sudah menjadi tanggungan negara, tapi dengan karena adanya PERDA tersebut masyarakat harus merogoh kantongnya untuk membayar administrasi-administrasi seperti itu. Malah menjadi salah satu sumber PAD favorit bagi pemerintah daerah.

bersambung .....

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian Kedua

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

2.2. Khusus

2.2.1. SUBSTANSI


Tujuan pengaturan dan masalah yang ingin dipecahkan


PERDA –PERDA yang lahir di Bulukumba umumnya tidak disertai dengan Naskah Akademik. Kelahiran sebuah PERDA lebih banyak dimotivasi oleh adanya perintah dari undang-undang yang di atasnya. Pemerintah daerah atas perintah undang-undang tersebut tidak merasa penting untuk menggali aspek-aspek filosofis, sosiologis, politis dan yuridis sehingga Naskah Akademik tidak dianggap penting untuk diadakan. Hal ini juga sebenarnya banyak dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran pihak DPRD dan Pemerintah Daerah atas pentingnya Naskah Akademik dalam proses pembahasan sebuah PERDA. Dengan tidak adanya NA berarti bahwa dalam proses penyusunan PERDA-PERDA oleh Pemerintah Daerah tidak barengi dengan penggalian dan pengkajian masalah dan kebutuhan masyarakat sehingga persoalan yang ingin dipecahkan oleh PERDA akhirnya tidak tepat sasaran dan tidak memiliki jaminan dalam penyelesaian persoalan apalagi memberikan perlindungan terhadap masyarakat.

Beberapa PERDA yang berhubungan dengan pajak dan retribusi daerah memang sangat dibutuhkan oleh daerah dalam hal memberikan tambahan pemasukan kas daerah, antara lain PERDA No 6 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Pasar, PERDA No 7 Tahun 2007 tentang Retribusi Terminal, PERDA No 9 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan, PERDA No 10 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Hewan, dan PERDA-PERDA APBD. Namun dalam pelaksanaan PERDA-PERDA ini tidak mampu menjawab permasalahan yang ada. Tingkat kemandirian daerah Kabupaten Bulukumba masih sangat rendah, hal ini ditandai dengan kemampuan meraup PAD rill yang hanya 3,8% dari total keseluruhan pendapatan atau Rp. 19,5 M (PAD – PPJ) dari total pendapatan sebanyak Rp. 505,2 M. Padahal untuk membiayai pembangunan di Kabupaten Bulukumba untuk satu tahun anggaran membutuhkan anggaran sebesar Rp. 566 M. Hal ini mengakibatkan terjadinya devisit anggaran untuk tahun 2008 sebesar Rp. 59,7 M. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan dalam memetakan potensi-potensi pendapatan daerah yang dapat menambah pemasukan kas daerah.

Dalam hal perlindungan kepada masyarakat atas obyek pajak dan retribusi, tidak menjelaskan secara khusus konpensasi bagi masyarakat.

Hal lain adalah PERDA No 11 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 09 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Penertiban Ternak. Munculnya PERDA ini dilatarbelakangi oleh banyaknya binatang ternak yang berkeliaran. Masyarakat cukup resah dengan masalah ini. Banyak kecelakaan di jalan karena ternak yang tidak diperhatikan oleh pemiliknya. Bukan hanya dilepas, tetapi juga ditambatkan di pinggir jalan yang mengakibatkan banyaknya terjadi kecelakaan lalu lintas.

Dalam PERDA ini dijelaskan bahwa pemilik ternak yang ternaknya berkeliaran akan dikenai pidana. Namun faktanya, masih banyak ternak yang berkeliaran di Kabupaten Bulukumba. Pemilik ternak melepas begitu saja, namun oleh pihak aparat hukum tidak melakukan penindakan. Bukan hanya di desa-desa, di dalam kota Kabupaten Bulukumba juga terjadi demikian.

Keberadaan PERDA ini tidak dibarengi dengan pengaturan tentang tidak lanjut penertiban ternak yang berkeliaran. Misalnya penjara bagi ternak yang berkeliaran dan dilepas oleh pemiliknya. Fasilitas ini terbatas, tidak diadakan di setiap desa. Bahkan untuk personil dan perlengkapannya yang akan digunakan untuk mengurusi ternak ini tidak disediakan.

Siapa yang diuntungkan dari lahirnya sebuah PERDA?

Dari PERDA-PERDA yang lahir dalam kurun waktu 2004 hinga sekarang dilatarbelakangi dengan berbagai kepentingan, baik kepentingan masyarakat, pemerintah dan pihak luar. Berbagai PERDA tentang retribusi lebih banyak menguntungkan pemerintah daerah dalam hal pencapaian target pendapatan daerah. Meskipun dalam satu sisi, PERDA-PERDA ini juga untuk kepentingan masyarakat dalam rangka mengakselerasi pembangunan di daerah. Namun faktanya, Dinas Pendapatan Daerah tidak mampu mencapai target PAD yang setiap tahun ditargetkan melalui penetapan APBD di DPRD. Dalam dua tahun terakhir, Bulukumba tidak mampu mencapai target PAD. Meskipun target tidak tercapai, setiap tahunnya, target PAD ini tetap dinaikkan. Hal ini memberatkan Dinas Pendapatan Daerah. Dalam penarikan pajak dan retribusi banyak kebocoran, pemerintah daerah tidak mampu mengantisipasi. Bentuk kebocoran dapat dilihat dari petugas yang tidak memberikan karcis kepada pengguna layanan, dan banyaknya pejabat tidak mengurus surat perijinan seperti IMB untuk bangunan melreka padahal pemberlakuan pajak tidak memberikan pengcualian kepada wajib pajak.

Menaikkan target PAD meskipun dapat diproyeksi tidak akan tercapai dengan berpijak pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, namun DPRD dalam pembahasan anggaran tetap memberikan target tersebut. Padahal oleh pihak eksekutif, khususnya Dinas Pendapatan Daerah telah memberikan pandangan yang berbeda, bahwa target tersebut tidak akan mungkin dicapai. Oleh berbagai kalangan dianggap politis. Karena hal ini cukup berpengaruh pada peningkatan tunjangan komunikasi intensif anggota DPRD. Semakin tinggi target PAD semakin tinggi tunjangan anggota dewan. Karena besarnya tunjangan anggota DPRD dicluster berdasarkan jumlah pendapatan daerah, termasuk target PAD setiap tahun. Ketidakmampuan Dinas Pendapatan Daerah untuk meraup PAD dan mencapai target dalam satu tahun anggaran lebih pada kapasitas dan sumber daya yang dimiliki. Sehingga PERDA-PERDA yang berhubungan dengan pajak dan retribusi daerah berjalan tidak efektif. Sama halnya dengan PERDA Nomor 09 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Penertiban Ternak. Kedua-duanya tidak mampu diimplementasikan karena perangkat untuk penegakan PERDA ini masih lemah. Tidak punya dukungan operasional dalam menata pelaksanaan implementasi PERDA sehingga tidak berjalan maksimal.

Bagi kalangan usaha, PERDA-PERDA yang terkait dengan pajak dan retribusi tidak menjadi persoalan. Hanya saja dalam implementasinya cenderung dipersulit dengan banyaknya aturan lain yang secara langsung tidak terkait dengan PERDA-PERDA tersebut. Sebagai contoh dalam pengurusan SITU, pengusaha diwajibkan untuk melampirkan berbagai dokumen, misalnya IMB. Sementara banyak pengusaha yang memiliki tempat usaha dengan status kontrakan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pihak luar selalu punya kepentingan dalam pembuatan PERDA. PERDA Transparansi dan Partisipasi awalnya diinisiasi atas prakarsa P2TPD (Program Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah). P2TPD merupakan program World Bank yang masuk ke 14 daerah kabupaten di Indonesia, salah satunya adalah Kabupaten Bulukumba. Oleh Word Bank mempersyaratkan bagi Pemerintah Kabupaten untuk membuat PERDA Transparansi dan Partisipasi untuk cairnya investasi di daerah sasaran program. Meskipun awalnya diinisiasi oleh World Bank, PERDA ini cukup menguntungkan masyarakat sipil sebagai “amunisi” dalam rangka turut berpartisipasi dalam kebijakan pemerintah daerah. Demikian pula dalam mendorong transparansi kebijakan pemerintah daerah sebagai salah satu prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, masyarakat sipil dapat menjadikan PERDA ini sebagai “senjata” untuk mengakses dokumen-dokumen publik yang oleh pemerintah selama ini dianggap sebagai rahasia negara. Keunggulan dalam PERDA ini juga adalah dilembagakannya Komisi Transparansi dan Partisipasi yang anggotanya terdiri dari masyarakat sipi. Komisi ini bertujuan untuk mengawal PERDA transparansi dan partisipasi dalam implementasinya agar dapat berjalan dengan baik.

Namun dalam pelaksanaannya, PERDA ini masih membutuhkan sosialisasi yang lebih merata, baik di tingkat pemerintahan maupun di tingkat masyarakat sipil. Karena PERDA ini tidak berangkat dari sebuah kesadaran dalam pembentukannya, maka dalam implementasi PERDA ini cenderung diabaikan oleh badan, kantor dan dinas-dinas. Tidak menjadi gayung bersambut antara masyarakat yang ingin berpartisipasi dan keinginan jajaran pemerintahan untuk transparan dalam setiap kebijakan. Hal ini terjadi karena PERDA ini awalnya dibentuk hanya sebagai prasyarat agar investasi World Bank dapat segera dicairkan.

Selain itu, secara umum PERDA dapat membuat terjadinya gejolak sosial. Dalam implementasinya sebuah PERDA dapat menimbulkan benturan kepentingan dalam masyarakat. Misalnya saja PERDA No 12 tahun 2006 tentang Tata Cara Pemilihan. Dalam hal pengangkatan kepala desa PERDA ini memberikan keistimewaan kepada PNS tinimbang TNI/POLRI dalam pencalonan. PNS dalam pencalonan tidak mesti hilang status PNS-nya, berbeda halnya dengan TNI/POLRI harus mengundurkan diri/pensiun. Hal ini dianggap menimbulkan diskriminasi. Di lain pihak, jika PERDA ini dijalankan akan menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Dengan satatus keanggotaan dalam TNI/POLRI, kekuasaan dan pengaruh atas status yang disandangnya akan memberikan tekanan psikologis bahkan intimidasi kepada masyarakat sipil yang tidak punya kekuatan apa-apa, khususnya yang terlibat dalam kepanitiaan. Akibatnya gejolak sosial sewaktu-waktu dapat terjadi.

Dalam hal kemandirian desa, PERDA Nomor 19 tahun 2006 tentang ADD (Alokasi Dana Desa) dan PERDA Nomor 15 tahun 2006 tentang Kedudukan Keuangan Desa memberikan keuntungan bagi masyarakat desa untuk dapat mengelola sendiri keuangannya. Ini dapat dilakukan oleh desa dengan membuat APBD desa dengan berpedoman pada PERDA Nomor 14 tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Namun dalam banyak fakta di Kabupaten Bulukumba, masih banyak desa yang belum mengimplementasikan PERDA-PERDA ini. Karena itu, perlu petunjuk teknis melalui Peraturan Bupati untuk dijadikan acuan oleh desa dalam mengimplementasikan PERDA-PERDA yang berhubungan dengan desa. Petunjuk teknis ini harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat desa, agar tidak memberatkan. Dengan jalan partisipasi masyarakat, PERDA-PERDA ini dapat dijalankan tanpa ada komplain dan masyarakat dapat menerima dengan baik.

Selain hal tersebut di atas, PERDA yang paling banyak muncul adalah PERDA Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. PERDA ini paling banyak mengalami perubahan akibat dari PP yang mengatur masalah ini juga berulang kali mengalami perubahan. PERDA ini terkait dengan kepentingan DPRD karena PERDA ini yang mengatur tentang gaji dan tunjangan anggota DPRD. Meskipun perubahan terakhir dari PERDA ini memberikan peluang peningkatan gaji dan tunjangan anggota DPRD, tapi tidak dapat dikatakan bahwa anggota DPRD mempunyai andil besar dalam mendongkrak penghasilan anggota dewan. Penambahan tunjangan ini bukan semata-mata dari peran DPRD, akan tetapi dipengaruhi oleh variabel dari luar DPRD dalam hal ini PP yang mengatur tentang kedudukan keuangan pimpinan dan anggota DPRD.

ANALISIS PENILAIAN PERDA SOCIALLY RESPONSIBLE LAW MAKING (SRLM) KABUPATEN BULUKUMBA

Bagian pertama dari delapan tulisan

Penelitian ini dilakukan oleh Herman dan Anwar dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi. Penelitian ini dibatasi pada PERDA yang lahir tahun 2004 - 2007 Kabupaten Bulukumba. Jumlah PERDA dalam kurun waktu tersebut sebanyak 57 buah yang kemudian di clasterkan berdasarkan Lingkup pengaturan PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

1. Pengantar


Ada dua kategori besar penilaian yang digunakan, yaitu substansi dan proses. Soal substansi dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu materi muatan serta struktur pengaturan dan kalimat perundang-undangan. Sedangkan dalam hal proses, ada dua hal yang dinilai, yaitu partisipasi publik dan perdebatan. Setiap bagian dijabarkan melalui serangkaian pertanyaan kunci, yang didesain berdasarkan dua prinsip, yaitu (i) konstitusi dan prinsip universal; serta (ii) pemihakan pada kelompok rentan.

Secara teknis, membuat peraturan adalah soal membuat teks yang jelas pengaturannya dan tidak membuat ruang yang terlalu besar untuk diskresi tanpa kriteria dan mekanisme yang jelas. Proses pun kembali masuk sebagai ukuran penilai di sini. Sebab substansi yang baik merupakan hasil dari proses yang baik, yaitu proses yang partisipatif dan transparan.

2. Deskripsi Hasil Analisis

2.1. Umum


Dalam kurung waktu tahun 2004 – 2007, DPRD tidak pernah menggunakan hak inisiatifnya untuk melahirkan sebuah PERDA sebagaimana diamanahkan dalam Tata Tertib DPRD Bulukumba Nomor 02/DPRD-BK//I/2007 pasal 26 ayat 1. Dari 57 PERDA yang telah ditetapkan oleh DPRD, seluruh drafnya bersumber dari inisiatif eksekutif. Meskipun dalam pengajuan draf PERDA tersebut seluruhnya merupakan inisiatif eksekutif, namun beberapa diantaranya merupakan ide, dorongan dan inisiasi awal dari anggota legislatif setelah berkembang wacana di antara anggota DPRD. Atas hasil diskusi dari ide, gagasan tersebut, dikomunikasikan kepada eksekutif melalui bagian hukum untuk penyusunan draf rancangannya.

Sebelumnya, anggota DPRD periode 1999 – 2004 melakukan hal yang sama dengan pro aktif memberi gagasan, ide tentang pelembagaan kehidupan yang Islami. Gagasan ini direspon oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba dengan menyusun Rancangan PERDA Nomor: 3 tahun 2002 tentang minuman alkohol; PERDA Nomor 2 tahun 2003 tentang pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah; PERDA Nomor 5 tahun 2003 tentang berpakaian muslim dan muslimah; dan PERDA Nomor 6 tahun 2003 tentang pandai baca tulis Al-Quran bagi siswa dan calon pengantin.

Saat sekarang ini, DPRD Bulukumba pernah membentuk hak inisiatif sebanyak 28 RANPERDA. Namun hingga sekarang masih dalam bentuk draf dan belum masuk dalam tahap pembahasan. Dari 28 RANPERDA tersebut tidak ada yang mengatur tentang perlindungan bagi masyarakat, tapi kesemuanya mengatur tentang kelembagaan daerah.

Hal yang sama umumnya terjadi pada PERDA-PERDA lainnya dimana kelahirannya tidak disertai dengan pengkajian dan penggalian pada aspek kebutuhan terhadap PERDA-PERDA tersebut. Bahkan diantara PERDA-PERDA yang lahir antara tahun 2005 hingga 2007 hanya satu PERDA yang melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung yaitu PERDA Partisipasi dan Transparansi. Kurangnya pengkajian dan penggalian kebutuhan serta partisipasi masyarakat Inilah yang kemudian mengakibatkan PERDA-PERDA itu kurang memberikan perlindungan pada masyarakat.

Keberadaan PERDA Transparansi dan Partisipasi tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap kualitas PERDA. Satu-satunya perubahan yang dirasakan masyarakat adalah ketika pembahasan PERDA APBD di DPRD disiarkan langsung melalui radio publik.

PERDA Transparansi dan Partisipasi di Kabupaten Bulukumba lahir tahun 2005 atas prakarsa World Bank melalui program P2TPD. Atas lahirnya PERDA ini, DPRD secara institusi memasukkan partisipasi masyarakat ke dalam Tata Tertib DPRD. Selain adanya PERDA Transparansi dan Partisipasi, KOPEL Sulawesi tahun 2005-2006 melalui Koalisis Kebijakan Partisipatif (KKP) Simpul Sulawesi Selatan melakukan intervensi amandemen Tata Tertib DPRD di Sul-Sel termasuk Kabupaten Bulukumba. Intervensi ini dilakukan seiring dengan disahkannya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang memberikan amanah kepada DPRD agar memasukkan mekanisme partisipasi masyarakat dalam Tata Tertibnya. Proses ini dilakukan dengan serangkaian pertemuan antar anggota DPRD dengan NGO lokal di daerah.

Dalam pembahasan Peraturan Daerah, Tata Tertib DPRD BAB X pasal 106 point C menjelaskan bahwa rapat komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus dilakukan secara bersama-sama dengan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dengan melibatkan stakeholder. Meskipun demikian, mekanisme partisipasi belum dijelaskan secara rinci dalam Tata Tertib DPRD sebagaimana diamanahkan oleh UU No 10 tahun 2004 pasal 53. Namun paling tidak dalam Tata Tertib DPRD, stakeholder yang terkait dengan kebijakan PERDA yang dibahas juga dilibatkan dalam pembahasan teknis antara komisi-komisi di DPRD dengan Pemerintah Daerah.

Umumnya PERDA-PERDA yang ada di Bulukumba lahir bukan berangkat dari aspirasi masyarakat murni, melainkan karena perintah dari peraturan yang lebih tinggi. Terjadi pemahaman yang keliru, baik dari eksekutif maupun legislatif bahwa pembentukan PERDA lebih awal harus diamanahkan oleh Peraturan Pemerintah. Sehingga, meskipun ada aspirasi masyarakat yang mendesakkan sebuah PERDA kurang mendapat respon, baik dari institusi DPRD maupun eksekutif. Sebagai contoh dalam UU No 32 Tahun 2004, ada banyak PP yang harus diterbitkan, namun PP tersebut tak kunjung/terlambat diterbitkan. Kondisi ini secara tidak langsung mengakibatkan beberapa PERDA tentang desa di Kabupaten Bulukumba baru muncul di tahun 2006 dan tahun 2007. Sementara beberapa gejala sosial yang harusnya segera mendapatkan respon perlindungan dari pemerintah, seperti penanggulangan rawan bencana alam/ banjir bandang, trafficking dll, tidak menjadi agenda prioritas pemerintah.

Beberapa PERDA yang dibentuk yang dianggap berangkat dari gejala sosial masyarakat yang terjadi di Kabupaten Bulukumba adalah PERDA tentang keagamaan pada tahun 2001. Pada saat itu masyarakat Bulukumba diresahkan dengan berbagai penyakit sosial, seperti pencurian dan prostitusi. Bahkan salah satu obyek wisata di Bulukumba sudah dianggap masyarakat sebagai tempat prostitusi yang terselubung. Sebagai efek sosialnya, beberapa tempat hiburan di Bulukumba pun mulai dicurigai sebagai tempat yang dianggap oleh masyarakat mengundang kerawanan sosial. Termasuk cafe dan kedai minuman keras dicurigai sebagai tempat maksiat.

Atas penyakit sosial tersebut, pemerintah meresponnya sebagai fenomena yang terkait dengan penyimpangan terhadap ajaran agama sehingga hal ini tidak saja menjadi tanggungjawab pemerintah tapi juga tanggung jawab kaum agamawan. Respon tersebut diakomodir oleh Pemerintah Daerah dalam bingkai kebijakan daerah atas desakan kelompok-kelompok agama. Misalnya dengan membentuk PERDA-PERDA yang bernuansa amar ma’ruf nahi mungkar . Langkah ini mendapat respon positif dari masyarakat dan dipandang tergolong cukup efektif dalam mempengaruhi prilaku keseharian masyarakat, termasuk perlindungan keselamatan dari ancaman ketentraman masyarakat di Bulukumba. Berdasarkan data Kepolisian, sejak diberlakukannya ke empat PERDA tersebut telah berhasil menekan angka kriminal hingga 22 % di tahun 2004.

Bupati Patabai Pabokori pada masa pemerintahannya menjalankan crash program keagamaan dengan memprioritaskan 8 aspek kegiatan, antara lain: (1) Pembinaan dan pengembangan pemuda – remaja mesjid; (2) Pembinaan dan pengembangan TKA dan TPA; (3) Pembinaan dan pengembangan majelis taklim; (4) Pembinaan dan pengembangan perpustakaan masjid; (5) Pembinaan dan pengembangan hifzil Qur’an; (6) Pembinaan dan pengembangan seni bernuansa Islami; (6) Pemberdayaan Zakat, Infak dan Shadaqah; dan, (8) Pelestarian keluarga sakinah, sejahtera dan bahagia.

Seiring dengan crash program tersebut di atas, PERDA-PERDA yang bernuansa keagamaan lainnya muncul, antara lain:
- PERDA Nomor 03 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasa, Penertiban, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
- PERDA Nomor 2 tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah;
- PERDA Nomor Pandai 5 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah;
- PERDA Nomor 6 tahun 2003 tentang Baca Tulis Al-Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin.

Oleh banyak kalangan, PERDA-PERDA tersebut di atas dianggap sebagai PERDA Syariat Islam. Namun setelah ditelusuri isi dari keseluruhan PERDA tersebut, tak satupun yang menyebut Syariat Islam. Demikian pula dalam sanksi atas pelanggaran PERDA ini, tidak ada yang berdasarkan pada syariat Islam. Pada intinya, PERDA tersebut di atas tidak ada perbedaan dengan PERDA sejenis di daerah kabupaten yang lain.

PERDA ini mendapat respon yang cepat dari masyarakat saat disosilisasikan. PERDA ini direspon baik dan didukung sepenuhnya oleh kalangan masyarakat Bulukumba yang jumlah penduduknya 99% beragama Islam. Sehingga implementasi PERDA ini dapat dengan cepat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Bulukumba. Dampaknya pun juga dapat terukur, misalnya saja, kalangan masyarakat yang beragama Islam menjadi sadar terhadap perlunya mematuhi peraturan daerah, apalagi aturan-aturan yang bersumber pada agama. Selain itu, simbol-simbol keagamaan menjadi semakin marak dimana masyarakat secara individu maupun kolektif menggunakan simbol-simbol tersebut. .

Memasuki tahun ke 5, pemberlakuan PERDA di bidang keagamaan tersebut mengalami kemunduran. Meskipun secara normatif, pemerintah Kabupaten Bulukumba tetap memberlakukan PERDA-PERDA ini, namun masyarakat menganggap bahwa ruh yang melatarbelakangi lahirnya PERDA ini mulai redup. Kegiatan-kegiatan keagaman tidak lagi menjadi perhatian serius pemerintah. Paling tidak hal ini yang dirasakan oleh masyarakat pasca pergantian Bupati Patabai Pabokori kepada Bupati Sukri Sappewali.

bersambung..........

Jumat, 20 Agustus 2010

KAJANG DAN TRANSFORMASI NILAI BUDAYA

Oleh: Herman
(Bagian kedua dari dua tulisan/terakhir)

Ketaatan Pada Hukum dan Aturan

Masyarakat Kajang adalah masyarakat yang taat pada hukum dan aturan adat. Jika seseoarang melakukan pelanggaran, maka sipelanggar harus berurusan dengan pemangku adat. Tidak ada yang harus ditutup-tutupi bagi sipelanggar, karena semakin dia berbohong maka semakin berat hukuman yang diterima. Bukan hanya hukuman berupa denda, akan tetapi hukuman sosial atau dikucilkan. Bahkan bagi sipelanggar yang tidak mau mengakui kesalahannya padahal bersalah, maka si pelanggar akan menerima konsekwensinya. Konsekuensi tersebut berupa kegaiban-kegaiban yang muncul bagi sipelanggar yang secara psikis dapat mempengaruhi dirinya, misalnya sakit yang tak berkesudahan. Bahkan bila pelanggaran yang sangat berat, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan.

Coba kita berkaca pada penegakan hukum yang ada sekarang, semuanya tidak memberi efek jera pada mereka yang melanggar. Dengan ancaman yang dapat dilihat atas pelanggaran yang dibuat, maka hukum dapat tegak dan ditatati. Penegakan hukum bukan hanya menghukum para pelanggarnya, akan tetapi juga memiliki keterkaitan terhadap keseimbangan ekologis antara manusia dengan alam sekitar. Sehingga masyarakat taat kepada hukum dan aturan bukan hanya karena takut terhadap sanksi tetapi juga karena kesadaran masyarakat. Kesadaran itu muncul karena keyakinan mereka atas kehendak Tuhan yang akan mendatangkan bencana bagi manusia jika aturan dan hukum dilanggar.

Perempuan dan Makna Sebuah Kepemimpinan

Ketika orang mengesampingkan peran seorang perempuan dalam kepemimpinan, maka tidak demikian halnya dengan masyarakat Kajang dalam memilih seorang pemimpin. Pemimpin adat masyarakat Kajang disebut dengan Amma Toa . Proses pemilihan Amma Toa tidak sama dengan pemilihan kepala desa atau bupati yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Persiapannya kurang lebih 3 tahun lamanya yang puncak pemilihannya dilakukan dalam sebuah acara yang disebut pa’nganro . Acara ini dilaksanakan di tengah hutan yang pelaksanaannya dilakukan selama 3 hari 3 malam. Di hari terakhir prosesi inilah peran seorang perempuan sangat menentukan. Anronta ri Pangi seorang perempuan yang dituakan yang akan menentukan pemimpin adat Kajang. Dalam ketentuan adat, siapa yang diberikan pa’mamang oleh Anronta ri Pangi dialah yang diangkat menjadi Amma Toa sebagai pemimpin adat masyarakat Kajang.

Panjangnya prosesi untuk kembali memilih pemimpin adat ketika pemimpin adat Amma Toa sebelumnya mangkat bukan tanpa alasan. Seorang pemimpin harus teruji, terutama kemampuannya untuk memimpin masyarakat serta kezuhudannya pada Tuhan dan ketaatan pada ketentuan-ketentuan hukum dan aturan. Pa’nganro yang dilakukan selama 3 hari 3 malam hanya untuk berdoa menunggu wangsit atau tanda-tanda langit - siapa sebenarnya kandidat Amma Toa yang dikehendaki oleh Turia’ra’na. Siapa yang natora pangngellai (yang dikehendaki Tuhan) dialah yang akan diberikan pa’mamang oleh Angronta ri Pangi. Tingkat spiritualitas para calon Amma Toa selama 3 tahun sudah diuji, maka acara pa’nganro ini untuk menentukan siapa di antara mereka yang terpilih atas kehendak Tuhan.

Nilai-Nilai Itu Mulai Terkikis, Apa Sebab?

Dari awal tulisan ini dijelaskan bahwa nilai budaya masyarakat adat Kajang yang terjaga sejak turun temurun dapat terkikis diakibatkan oleh adanya pengaruh dari luar yang dapat mengaburkan atau menghilangkan keaslian budaya masyarakat Kajang. Proses interaksi masyarakat adat yang ada dalam kawasan adat Kajang (lalang embaya) dengan masyarakat di luar kawasan adat (pantarang embaya) adalah salah satu penyebab nilai-nilai tradisi itu mulai terkikis. Apa yang selama ini dijaga karena disakralkan oleh adat, sekarang ini lambat laun mulai redup, bahkan tak sedikit ditentang.

Untuk melihat nilai-nilai yang sebelumnya begitu disakralkan, ada baiknya kita simak kutipan tulisan Ilham Hamudy, peneliti Litbang Departemen Dalam Negeri tentang politik masyarakat Kajang. Tulisan ini dibuat saat wawancara dengan salah satu informan terkait dengan prosesi pemilihan Amma Toa yang mengakibatkan terjadinya dualisme kepemimpinan adat di Kajang.

Hari itu dini hari pertengahan Maret 2003. Saya (informan) lupa tanggal persisnya kapan. Kami mengadakan pa’nganro untuk memilih Amma Toa yang baru. Saat itu, calon Amma Toa hanya dua orang, Puto Bekkong dan Puto Palasa. Prosesi acara berlangsung tiga hari tiga malam. Saya mengikuti semua rangkaian acara bersama beberapa kepala desa yang lain. Sepanjang umur saya, baru kali ini saya mengikuti pa’nganro. Tidak sembarang orang diperkenankan mengikuti prosesi sakral itu. Kalau tidak cukup “ilmu”, tidak bisa ikut. Kalau memaksakan ikut, biasanya sepulang dari acara pa’nganro, yang bersangkutan bisa meninggal, atau minimal gila. Suasana pa’nganro memang lain. Sangat khidmat dan penuh mistik. Pemilihan Ammatoa, dilakukan di dalam hutan (pa’rasangang i lau’) berlangsung pada malam ketiga. Saya merasakan hal yang janggal pada malam itu. Orang-orang berkumpul secara berkelompok terpisah satu dengan lainnya. Padahal, pada malam-malam sebelumnya berbaur saja. Saya dan beberapa kepala desa lainnya, menepi di sudut lapangan pertemuan.

Saya makan sedikit dan minum, karena lapar dan haus. Saat makan dan minum itu, saya memerhatikan, Pak Dewan hilir mudik dan sesekali berbicara serius dengan seseorang, nadanya sangat pelan. Pemandangan itu saya lihat berkali-kali. Orang yang berbicara dengan Pak Dewan terlihat tegang setiap kali melaporkan sesuatu kepada Pak Dewan. Setelah melapor, ia kembali lagi ke kerumunan massa yang mengikuti prosesi. Selepas makan dan minum, kami kembali ke tengah lapang untuk mengikuti prosesi. Singkat cerita, pada rangkaian puncak pemilihan, Anrongta ri Pangi memberikan pa’mamang (semacam piring dengan sesaji khusus) kepada Puto Bekkong. Menurut aturan adat, barang siapa yang diberikan pa’mamang oleh Anrongta ri Pangi, maka dialah yang berhak melanjutkan prosesi pengambilan sumpah sebagai Ammatoa. Namun, ketika Anrongta ri Pangi memberikan pa’mamang kepada Puto Bekkong, Puto Palasa berdiri dan berkata, “Kenapa bukan saya yang diberikan pa’mamang? Bukankah saya adalah pejabat Ammatoa. Nupakasiri’ka punna teai nakke anjari Ammatoa (kamu bikin malu saya kalau bukan saya yang terpilih sebagai Ammatoa),” ujar Puto Palasa dengan suara yang lantang sembari mengambil parang, diikuti pengikutnya. Mendapati hal itu, Anrongta ri Pangi bersikukuh dengan pendiriannya. Tetapi Puto Palasa terus mendesak seraya mengancam akan terjadi pertumpahan darah pada malam itu, andaikata bukan dia yang terpilih sebagai Ammatoa. Akhirnya, dengan penuh kesabaran, Puto Bekkong, yang juga paman Puto Palasa, mengalah. “Kalau itu memang maumu, saya mengalah. Silakan kamu saja yang menjadi Ammatoa. Saya tidak mau ada perpecahan dan pertumpahan darah di antara kita,” kata Puto Bekkong. Anrongta ri Pangi tidak bisa berbuat apa-apa, menuruti semua kehendak Puto Palasa. Pak Dewan yang berada di samping saya menyunggingkan seulas senyum. Mimiknya terlihat senang karena Puto Palasa yang terpilih sebagai Ammatoa .


Apa yang diceritakan informan tersebut di atas, bukanlah isapan jempol semata. Mengalahnya Puto Bekkong, tidak serta merta menyelesaikan pertentangan di antara keduanya. Para pendukung Puto Bekkong, tidak mau terima dengan terpilihnya Puto Palasa sebagai Ammatoa. Sebenarnya, kalau pelantikan Ammatoa itu seperti demokrasi yang lazim dipraktikkan banyak orang dengan menggunakan suara terbanyak, tentu Puto Bekkonglah yang menjadi Ammatoa. Sebab, massa beliau lebih banyak, tersebar di pelbagai desa di Kecamatan Kajang. Tetapi, pelantikan Ammatoa tidak seperti pemilihan kepala desa atau bupati.

Peristiwa tersebut di atas menggambarkan kepada kita betapa nilai-nilai sakral yang ada dalam tradisi masyarakat Amma Toa dapat bergeser karena intervensi politik yang biasa terjadi dalam Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Tradisi pemilihan Amma Toa tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, yang semua pengikut masyarakat adat tunduk pada sang pemimpin yang dipilih atas kehendk Turia’ra’na. Pergeseran ini terjadi karena masyarakat kawasan adat sudah banyak berinteraksi dengan masyarakat luar yang pola perilaku dan pikirnya mulai mempengaruhi hidup keseharian masyarakat adat Kajang.

KAJANG DAN TRANSFORMASI NILAI BUDAYA

Oleh: Herman
(Bagian pertama dari dua tulisan)

Kajang tidak hanya sekedar wilayah administratif sebuah kecamatan di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Selain sebagai wilayah administratif, Kajang memendam segala rahasia kehidupan. Ia sebagai lambang dari tatanan komunitas adat, memiliki ciri tersendiri dari masyarakat kebanyakan, punya tata nilai, tradisi yang mengakar, unsur kepercayaan/religiusitas, hukum, sampai pada struktur kepemimpinan dan tatanan sosial yang diatur melalui hukum pasang ri kajang. Pasang ri Kajang adalah sebuah pesan-pesan lisan yang diwarisi oleh masyarakat Kajang secara turun temurun. Ia merupakan keseluruhan liku dan segala aspek kehidupan masyarakat yang wajib dituruti dan dilaksanakan. Ia bermakna sebagai fatwa, pesan, nasehat, tuntunan dan peringatan.

Semua tatanan kehidupan tersebut di atas tidak tercipta dengan sendirinya. Ada transfer pengetahuan dari dan di antara mereka. Proses ini lahir secara turun temurun dan dianut oleh masyarakat adat Kajang. Oleh karena itu ketika berbicara tentang Kajang, berarti ada dua hal yang harus dipahami dan dibedakan:

Pertama; Kajang sebagai wilayah administratif pemerintahan yakni salah satu kecamatan di antar 10 kecamatan lainnya di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.

Kedua; Kajang sebagai kawasan adat yang terletak di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang yang dalam struktur pemerintahan adat diistilahkan dengan lalang embaya (Kajang dalam/kawasan adat) dan ada pula disebut pantarang embaya (Kajang luar/di luar kawasan adat).

Dalam konteks bahasan kita kali ini, kita akan menggali Kajang sebagai kawasan adat yang memiliki tata nilai, tradisi yang dipelihara secara turun temurun yang dikenal bukan hanya masyarakat Indonesia, namun juga oleh manca negara. Sebagai kawasan adat dengan keaslian masyarakat yang bermukim di dalamnya menjadi daya tarik tersendiri bagi orang luar.

Karena keunikan masyarakatnya, tak sedikit dari mereka melakukan perjalanan ke dalam kawasan adat hanya untuk sekedar berkunjung dan melihat secara langsung kondisi alam dan aktifitas masyarakat di dalamnya. Bahkan tak sedikit orang terpelajar menyelesaikan studinya dengan menjadikan Kajang sebagai obyek penelitiannya. Karena itu kawasan adat Kajang bisa dikenal dimana-mana karena memiliki pengaruh bagi kehidupan masyarakat, baik dalam kawasan adat (lalang embaya) atau di luar kawasan adat (pantarang embaya).

Keunikan masyarakat Kajang tidak terlepas dari tata nilai yang sudah sejak lama terbangun. Sebagai sebuah komunitas adat terpencil yang hidup sederhana, bersahaja di tengah-tengah masyarakat dengan kehidupan yang hedonis, modern tentu saja sedikit banyak saling mempengaruhi. Kehidupan tradisional sebagaimana yang dicontohkan dalam kawasan adat dengan kehidupan modern begitu jauh berbeda. Masyarakat modern memandang bahwa kehidupan ini tidak boleh statis, ia harus dan terus bergerak untuk maju. Kondisi ini yang kemudian memungkinkan pada saat-saat tertentu akan terjadi akulturasi budaya yang dapat mengaburkan atau menghilangkan keaslian budaya masyarakat Kajang.

Pengaruh budaya atau tradisi dari luar sudah pasti akan banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat adat Kajang, tapi tidak sedikit pula sistim nilai dan budaya, tradisi atau kebiasaan masyarakat adat Kajang dapat menjadi contoh dan inspirasi masyarakat luar. Bahkan pemahaman akan kebiasaan masyarakat adat Kajang dapat menyadarkan orang luar tentang makna kehidupan, menjaga kelestarian alam dan lingkungan, ketaatan pada hukum dan aturan, sampai pada makna sebuah kepemimpinan.

Tallasa Kamasemasea (Hidup Sederhana/Bersahaja)

Hidup sederhana (tallasa kamasemase) adalah salah satu ciri kehidupan masyarakat adat Kajang. Ini salah satu pandangan dunia dari ciri utama budaya tradisonal yang menekankan orientasi hidup saling rukun dalam satu rumpun, saling berbagi, tidak menjatuhkan satu sama lain. Pendapat yang tajam, konfrontasi, persaingan terbuka, penonjolan prestasi yang berlebihan, hedonis, dipandang sebagai nilai-nilai yang kurang baik karena akan memicu disharmonisasi dalam masyarakat.

Kehidupan masyarakat adat Kajang patut menjadi contoh dalam hal kesederhanaan hidup. Hidup dengan kesederhanaan tanpa memikirkan hidup mewah membawa makna tersendiri di tengah kehidupan masyarakat modern. Di tengah-tengah kehidupan yang serba hedonis, masyarakat adat Kajang justeru kembali ke alam dengan memelihara harmonisasi kehidupan di antara makhluk. Selain harmonisasi dengan dan antar makhluk, juga tak terlepas dari hubungan dengan sang maha pencipta yang mereka sebut dengan Turia'ra'na (yang berkehendak).

Tallase kamase-mase merupakan bagian dari prinsip kehidupan dari pasang ri Kajang yang secara eksplisit memerintahkan masyarakat Kajang untuk hidup secara sederhana dan bersahaja. Secara harfiah, tallase kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas, dalam arti bahwa tujuan hidup warga masyarakat Kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turia’ra’na (yang berkehendak). Sikap hidup sehari-hari serba sederhana yang penting berkecukupan tidak belebihan. Pasang ri Kajang mengatakan:

Ammentengko nu kamase-mase.
A’cci’dongko nu kamase-mase.
A’dakkako nu kamase-mase.
A’mia’ko nu kamase-mase.

Artinya:
Berdiri engkau sederhana.
Duduk engkau sederhana.
Berjalan engkau sederhana.
Berbicara engkau sederhana.


Prinsip tallase kamase-mase juga berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebih dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan maupun dalam kebutuhan berpakaian. Karena itu, tallasa kamase-masea diwujudkan dalam kehidupan masyarakat Kajang antara lain tercermin pada cara berpakaian mereka yang hanya 2 (dua) warna yakni hitam dan putih. Baju, sarung, dan penutup kepala dengan warna hitam dan celana dengan warnah putih. Berpakaian dengan beragam warna menandakan kemewahan yang dimaknai seseorang dalam hidupnya lebih dari cukup. Dua warna pakaian ini juga tidak lepas dari makna spiritualitas dalam kehidupan masyarakat Kajang. Warna hitam yang dimaknai sebagai kedalaman pengetahuan/spiritualitas juga masyarakat Kajang memandang bahwa manusia berasal dari kegelapan dan terlahir ke dunia dengan cahaya yang terang benderang yang dimaknai dengan warna putih. Selain itu, hitam adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Menurut pasang, tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turia’ra’na.

Cermin kesederhanaan mereka yang lain adalah membangun rumah dengan sederhana. Masyarakat Kajang dalam membangun rumah tempat tinggal mereka hampir semua sama besar dengan model yang sama, tak ada yang mewah, tak ada yang bertingkat. Rumah kayu yang bahan bakunya diambil dari hutan sesuai dengan kebutuhan atas ijin pimpinan adat yang mereka sebut Amma Toa. Perabot dalam rumah pun tidak ada, cukup dengan tikar untuk duduk melantai yang terbuat dari daun lontar atau daun pandan. Ketika anda naik ke rumah, maka yang pertama didapati adalah dapur yang dekat dengan pintu masuk rumah, baru ruang tengah untuk tamu dan bilik bagian belakang. Selain model rumah yang sama, juga posisi rumah yang semuanya menghadap ke arah barat tempat terbenamnya matahari. Apa maknanya? Maknanya adalah bahwa semua kehidupan ini akan berakhir. Sama dengan tenggelamnya matahari dalam kegelapan malam. Tallasa kamase-masea ini tercermin dalam Pasang ri Kajang:

Anre kalumannyang kalumpepeang.
Nurie’a kamase-maseaji.
Angnganre na rie’.
Care-care na rie’.
Pammalli juku’ na rie’.
Koko na rie’.
Balla situju-tuju.

Artinya:
Kekayaan itu tidak kekal.
Yang ada hanya kesederhanaan.
Makan secukupnya.
Pakaian secukupnya.
Pembeli ikan secukupnya.
Kebun secukupnya.
Rumah seadanya.



Apa makna kesederahanaan masyarakat Kajang bagi kehidupan masyarakat modern saat ini? Masyarakat modern sekarang mengejar hidup dengan materi yang terkadang mengakibatkan stres, kecewa, bahkan kasus bunuh diri juga mewarnai kehidupan mereka. Perilaku sosial yang menyimpang yang semakin menjauhkan manusia dari eksistensinya sebagai manusia. Kehidupan hedonis, hura-hura dan segala macam bentuk kehidupan yang tak punya tata nilai. Perilaku hidup mereka mungkin sedikit bisa bercermin pada kehidupan masyarakat Kajang yang penuh dengan kebersahajaan. Meniru prinsip hidup mereka tanpa menghilangkan rasa optimis untuk maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan modernisasi yang dipahami. Sebab kebersahajaan dan kesederhanaan masyarakat Kajang tidak berarti menentang segala macam perubahan. Prinsip hidup kamase-masea ini diaktualisasikan dalam pemahaman kosmologi, antara Tuhan, alam dan manusia. Pemahaman ini diimplementasikan dalam ketaatan pada aturan adat, relasi social, dan lain-lain. Dari sini dapat dilihat bahwa implementasi pemahaman ini ada proses negoisasi kebudayaan dengan modernitas.

Menjaga Kelestarian Alam dan Lingkungan

Di tengah-tengah kehidupan yang hedonis, masyarakat Kajang justeru kembali ke alam dengan memelihara harmonisasi kehidupan di antara makhluk. Selain harmonisasi dengan dan antar makhluk, juga tak terlepas dari hubungan dengan sang maha pencipta yang mereka sebut dengan Turia'ra'na (yang berkehendak). Hal ini pulalah yang menginspirasi masyarakat Kajang untuk senantiasa menjaga kelestarian lingkungan. Mereka percaya bahwa kerusakan lingkungan dapat membawa malapetaka bagi manusia. Hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia sebagai satu kesatuan kosmologi tetap terjaga. Terlepas dari kepercayaan "patuntun" , konsep ketauhidan dalam Islam terimplementasi dalam kehidupan masyarakat di dalam kawasan adat kamase-masea.

Tidak sembarang orang menebang kayu dalam hutan kawasan adat Kajang. Bila ketahuan melakukan penebangan atau pengrusakan hutan, maka akan dihukum sesuai dengan ketentuan adat. Penebangan kayu harus seijin dengan pemangku adat, itupun disesuaikan dengan kebutuhan. Ketentuan ini sangat ketat karena dipercaya oleh masyarakat Kajang bahwa hutan adalah sumber kehidupan. Tidak boleh ada pengrusakan karena akan terjadi musibah bila hal itu dilakukan.

Persepsi masyarakat Kajang tentang pentingnya menjaga hutan sebagai sumber kehidupan lebih dulu dipahami ketimbang masyarakat modern. Pemahaman mereka tidak sekedar memandang pengrusakan hutan yang akan mendatangkan bencana alam, misalnya banjir, akan tetapi lebih daripada itu, hutan merupakan sumber kehidupan, yang diagungkan dan disakralkan. Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya, sebagaimana tercermin dalam bunyi pasang berikut:

Jagai lino lollong bonena,
kammayatompa langika,
rupa taua siagang boronga

Artinya:
Peliharalah dunia beserta isinya,
demikian pula langit,
manusia dan hutan.

Minggu, 15 Agustus 2010

Peran DPRD dalam Pengentasan Kemiskinan

Potret kemiskinan negeri ini selalu menjadi hiasan yang memperburuk citra bagi pengambil kebijakan baik di eksekutif maupun di legislatif. Kinerja pemerintahan dalam pengentasan kemiskinan setiap saat dipertanyakan. Dalam konteks anggaran, program pengentasan kemiskinan tidak pernah alpa dalam APBD di beberapa sektor program pada beberapa SKPD. Namun dalam implementasinya, baik dalam pengalokasian anggaran maupun dalam penggunaannya selalu tidak berkorelasi terhadap pengurangan angka kemiskinan di daerah. Bahkan program pemerintah pusat dalam bentuk BLT (Bantuan Langsung Tunai) dianggap sebagai program yang membuat masyarakat semakin tak berdaya. Terkesan memanjakan masyarakat yang memang sudah apatis atas kehidupan mereka. Jika bantuan tersebut dianggap sebagai insentif kepada warga untuk semakin kreatif dan menambah produktifitas mereka, maka uang tersebut bukan hanya habis untuk dimakan, tetapi juga tidak cukup untuk menjadi modal usaha yang berkelanjutan.
Kemiskinan di Indonesia juga bukan hanya menjadi persoalan bangsa yang harus ditangani pemerintah, tapi persoalan ini juga menjadi tanggung jawab negara-negara maju atas komitmen mereka terhadap dunia ketiga dalam pengentasan kemiskinan. Hanya saja, kepedulian mereka terhadap masalah ini jangan sampai sekedar menunggangi isu kemiskinan sebagai alat kapitalisme global di Indonesia. Atas dasar itu pula, pada tanggal 7 – 9 Agustus 2010 di Ciloto dalam kegiatan Lokakarya Nasional Organisasi Masyarakat Sipil terkait dengan Pelayanan Publik mengeluarkan resolusi yang salah satu isinya adalah “Mendesak Seluruh Lembaga-Lembaga Internasional Untuk Tidak Menunggangi Isu Pelayanan Publik Sebagai Alat Kapitalisme Global Di Indonesia” .
Meskipun demikian isu kemiskinan ini tetap menjadi “hiasan” negara-negara donor untuk mengucurkan dananya ke republik ini. Beberapa lembaga donor yang masuk ke Indonesia untuk dan antara lain membawa misi pengentasan kemiskinan bagi negara-negara dunia ke tiga sebagai komitmen negara maju untuk membantu negara dunia ketiga menyukseskan MDGs. Salah satu point penting dari MDGs ini adalah pengentasan kemiskinan yang direncanakan di indonesai dapat tercapai pada tahun 2015.
Jika kita mencermati, bahwa kesadaran pemerintah atas kondisi kemiskinan di Idonesia sudah muncul berbarengan dengan berbagai kasus-kasus kemiskinan yang ada menjadi gayung bersambut dengan komitmen negara-negara maju untuk membantu, seharusnya kemiskinan dapat dientaskan dengan cepat dari target MDGs. Namun hal ini tidak bisa sekedar gagasan, akan tetapi perlu sebuah program yang terintegrasi dan lintas sektor. Tanggung jawab pengentasan kemiskinan bukan hanya urusan Departemen atau Dinas Soaial, akan tetapi juga dengan sektor-sektor lain, misalnya pada sektor pendidikan, agama, tenaga kerja, dan sebagainya.

Munculnya Sebuah Ide Baru

Bagaimana dengan lembaga DPRD dalam pengentasan kemiskinan? DPRD dengan fungsi yang dimiliki seharusnya mampu memproteksi masyarakat melalui regulasi, dengan fungsi anggaran, DPRD dapat mengalokasikan anggaran yang berpihak kepada masaraat miskin melalui program-progran strategi di setiap SKPD. Demikian juga dengan fungsi pengawasan, DPRD memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan atas kebijakan pemerintah. Karena itu fungsi-fungsi DPRD ini harusnya diarahkan kepada pemenuhan hak-hak bagi masyarakat miskin dan bagaimana pemerintah memberikan kemudahan bagi mereka untuk hidup lebih layak.
Karena kompleksitasnya penanganan masalah kemiskinan, maka tidak hanya persoalan teknis belaka yang harus diurus oleh masing-masing SKPD bedasarkan sektor dan bidang masing-masing, akan tetapi ini sangat terkait dengan kebijakan dan komitmen para penentu kebijakan di daerah, khususnya pihak pemerintah daerah dalam hal ini walikota dan bupati bersama dengan anggota DPRD.
Penanganan masalah kemiskinan tidak bisa dilakukan secara parsial-parsial. Misalnya dalam anggaran SKPD tertentu yang hanya sekedar mencantumkan program yang mengarah pada pengentasan kemiskinan yang dalam implementasinya juga hanya dilakukan dan dikerjakan oleh SKPD yang bersangkutan. Perlu ada sinergitas sebuah program unggulan yang tujuannya mengarah pada pengentasan kemiskinan, dengan mengarahkan semua SKPD untuk mengintegrasikan programnya pada program tersebut dan harus mendapat dukungan semua pihak termasuk Bupati/Walikota dan DPRD.
Bagaimana gagasan dan ide baru ini kaitannya dengan fungsi-fungsi DPRD? DPRD dengan 3 fungsi utamanya dapat mendorong atau memperkuat gagasan ini dengan melahirkan sebuah regulasi, pengalokasian anggaran yang cukup dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah dan segala implementasi kebijakan yang mengarahkan pemerintah daerah dalam pengentasan kemiskinan dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Jika anggota DPRD memiliki kerangka pikir tentang pengentasan kemiskinan dan memaksimalkan peran dan fungsinya di DPRD dengan sumber daya yang dimiliki, maka kemiskinan tidak lagi sebagai hiasan yang dipertontonkan dan penanganannya sekedar wacana, akan tetapi hal ini dengan nyata dapat terwujud.
Dengan dasar apa kita berkeyakinan bahwa dengan dorongan DPRD dan maksimalisasi peran dan fungsinya, kemiskinan dapat terkikis? DPRD sebagai representasi wakil rakyat memiliki konstituen yang jelas, latar belakang kehidupan ekonomi keluarga masing-masing konstituennya, memiliki struktur Partai Politik hingga tingkat kecamatan dan bahkan desa. Ini semua adalah potensi yang dimiliki untuk mengukur sejauh mana masyarakat sebuah wilayah dapat diketahui tingkat kesejahteraannya oleh anggota DPRD. Belum lagi pedataan-pendataan yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan program yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan serta komitmen masing-masing SKPD dalam mengintegrasikan program mereka dalam upaya pengentasan kemiskinan. Jika semua komponen dan stakeholder dapat mensinergikan diri untuk masalah ini, maka tidak menjadi sulit kemiskinan tersebut dapat dientaskan.
Berdasarkan UU nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, pasal 341 dan 342 menjelaskan bahwa DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota Partai Politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.
DPRD memiliki fungsi budgeting, legislasi dan pengawasan. Dalam menjalankan fungsi tersebut, dipertegas dalam undang-undang bahwa fungsi tersebut dijalankan dalam kerangka representasi rakyat yang diwakilinya di kabupaten/kota (pasal 343 ayat 2). Dapat dikatakan, bila anggota DPRD memandang bahwa masyarakat di daerahnya banyak yang hidup serba kekurangan, gizi buruk merajalela, penyakit mewabah, kelaparan masih ada di antara penduduk di daerahnya, maka anggota DPRD dengan fungsi-fungsi DPRD yang dimiliki mampu mengambil langkah-langkah strategis untuk penangannya. Bisa melalui PERDA dalam penanganannya, kebijakan pemerintah lainnya yang harus didorong oleh anggota DPRD dan sebagainya.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh anggota DPRD terkait dengan keberadaannya sebagai wakil rakyat untuk membantu masyarakat miskin keluar dari kehidupan yang selama ini melilitnya. Hanya saja tidak semua anggota DPRD paham akan hal ini. Bila melihat tugas dan wewenang anggota DPRD berdasarkan undang-undang, sebenarnya anggota DPRD bisa dengan cerdas memanfaatkannya dalam upaya percepatan pengentasan kemiskinan di daerahnya. Dalam konteks pengentasan kemiskinan di daerah dapat dilakukan dengan memaksimalkan tugas-tugasnya serta wewenang yang dimiliki.
Berdasarkan UU No 27 tahun 2009 pasal 344, DPRD kabupaten/kota memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
 membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota
 membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;
 melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota;
 mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupatilwalikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan;
 memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan Jabatan wakil bupati/wakil walikota;
 memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
 memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sarana internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
 meminta laporan keterangan pertanggungJawaban bupati/walikota dalarn penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
 memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah•.
 mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
 melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada fungsi legislasi, DPRD cukup kuat untuk mendorong berbagai regulasi untuk memberikan perlindungan pada masyarakat miskin. Sebagai anggota DPRD yang merepresentasikan rakyat yang diwakilinya, sudah selayaknya peraturan dan kebijakan harusnya banyak yang lahir dari ide dan gagasan anggota DPRD. Apalagi dengan undang-undang nomor 27 tahun 2009 sekarang yang mengatur tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, badan legislasi sudah menjadi alat kelengkapan DPRD. Peluang ini harus dimanfaatkan oleh anggota DPRD untuk melahirkan Peraturan Daerah (PERDA) yang lebih responsif dan bertanggung jawab secara sosial. Kajian atas persoalan sosial di masyarakat harus digiatkan. Identifikasi persoalan-persoalan yang bisa menimbulkan kerawanan sosial dapat dilakukan oleh alat kelengkapan DPRD ini. Kajian tersebut akan melahirkan penting tidaknya sebuah perilaku bermasalah di masyarakat untuk dibuatkan sebuah PERDA.
Untuk melahirkan sebuah perda yang bertanggung jawab secara sosial (Socially Responsible), Anggota DPRD harus memahami peranan PERDA dalam konteks otonomi daerah yang memiliki 5 fungsi .
Pertama; Perda sebagai instrumen kebijkan (beleids instruments) dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab. Pada fungsi ini, PERDA sebagai sarana hukum merupkan alat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi (UUD 1945) dan UU Pemerintahan Daerah. Sebagai alat kebijakan daerah tentu tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah melalui pembangunan daerah yang berkesinambungan (sustainable development).
Kedua; Perda merupakan pelaksana peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Perda tunduk pada asas hierarki peraturan perundang undangan dimana Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang undangan di tingkat pusat.
Ketiga; Penangkap dan penyalur aspirasi masyarakat daerah. Dalam fungsi ini, Perda merupakan sarana penyaluran kondisi daerah dalam konteks dimensi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Peran serta masyarakat secara aktif sangat dibutuhkan agar semua pihak terkait dan berkepentingan dapat tertampung semua aspirasinya dengan baik.
Keempat; Sebagai alat transformasi perubahan bag daerah. Dalam fungsi ini Perda ikut menentukan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan daerah. Sebagai alat transformasi dan perubahan daerah, Perda memegang peranan penting dalam mencapai sistem pemerintahan dan kinerja pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Perda bukan sekedar alat bagi jalannya pemerintahan dan roda pembangunan daerah, akan tetapi sebagai pengarah atas cita-cita daerah dalam menuju arah kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Kelima; Harmonisator berbagai kepentingan. Dalam fungsi ini, rda merupakan produk perundangan undangan yang mempertemukan erbaikan kepentingan. Oleh karena itu, dalam pembentukan Perda, DPRD dan Pemerintah Daerah, harus memperhitungkan kepentingan-kepentingan, baik pada tataran daerah yang bersangkutan, lingkungan antar daerah, maupun pada tataran nasional.
Agenda masyarakat yang dapat ditangkap oleh anggota DPRD masuk sebagai agenda DPRD lebih mempercepat proses dari sebuah gejala sosial yang harus ditangani melalui sebuah regulasi. Kebutuhan penanganan yang diagendakan oleh masyarakat dan menjadi gayung bersambut oleh DPRD dapat mensinergikan kualitas produk PERDA yang digagas baik oleh pemerintah daerah maupun yang menjadi hak inisiatif anggota DPRD. Demikian halnya pada konsultasi publik untuk pembahasan drafnya maupun pada saat sosialisasi setelah penetapan. Relatif tidak menimbulkan resistensi jika Badan Legislasi DPRD sudah dapat memetakan kondisi masyarakat yang membutuhkan penanganan secara khusus melalui sebuah regulasi, ketimbang DPRD bekerja sendiri, menetapkan Perda yang harus dibentuk dalam waktu periode tertentu tanpa melakukan kajian atas kondisi sosial msyarakat.
Pada tingkatan pembahasan pun, anggota DPRD tidak terlalu sulit untuk menghadirkan kelompok kepentingan pada saat rapat dengar pendapat atau hearing publik terkait dengan perda yang dibahas.
Bagan Pembahasan PERDA di DPRD

Pada fungsi budgeting, DRD dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sejak dari perencanaan pembangunan dengan turut serta hadir dalam setiap pelaksanaan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) di daerah pemilihannya yang dilaksanakan oleh eksekutif melalui panitia-panitia yang dibentuk di desa/kelurahan, kecamatan hingga ke kabupaten/kota. Dengan demikian, anggota DPRD memiliki data based kebutuhan masyarakat di tingkat bawah yang pada saat pembahasan anggaran dapat disingkronisasikan dengan apa yang diaspirasikan oleh masyarakat. Anggota DPRD dapat mencocokkan usulan aspirasi masyarakat dengan usulan draf Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) yang disusun oleh BAPPEDA. Demikian halnya pada saat pembahasan RAPBD, anggota DPRD dapat mempertanyakan aspirasi masyarakat lewat Musrenbang tersebut kepada dinas yang terkait.
Dalam pembahasan anggaran dengan SKPD terkait, anggota DPRD dapat memilah-milah program yang diusulkan oleh SKPD. Pada tahapan ini anggota DPRD dapat mengusulkan program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan atau program untuk kepentingan masyarakat rentang atau yang berkebutuhan khusus. Untuk menangkap ruh keberpihakan anggota DPRD terkait dengan fungsi budgeting dalam pengentasan kemiskinan, beberapa hal yang dapat dilakukan oleh anggota DPRD, antara lain:
- Pemangkasan anggaran untuk program yang tidak berdampak langsung bagi kepentingan masyarakat atau publik. Misalnya perjalanan dinas, makan dan minum, ATK dan anggaran pada kelompok belanja tidak langsung;
- Melakukan relokasi anggaran terkait dengan program-program yang dinilai tidak efektif dan cenderung memboroskan kas daerah dalam pengimplementasiannya;
- Mengusulkan program kepada SKPD-SKPD untuk memprogramkan kegiatan yang terkait dengan pengentasan kemiskinan atau kepentingan publik yang masing-masing kegiatan tersebut bersentuhan langsung dengan SKPD yang bersangkutan;
- Mensingkronisasikan program-program antar satu SKPD dengan SKPD yang lain untuk sebuah program pengentasan kemiskinan yang terintegrasi ke dalam program kegiatan setiap SKPD.
Ketika anggaran mencerminkan keberpihakan pada kelompok masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya atau kelompok yang berkebutuhan khusus, maka percepatan pengntasan kemiskinan dapat segera terwujud. Artinya, komitmen anggota DPRD untuk memaksimalkan fungsi budgeting dengan mendorong keberpihakan anggaran tersebut kepada kepentingan masyarakat miskin dapat mempercepat pemenuhan hak-hak bagi masyarakat miskin.
Ruang-ruang untuk mereka berpartisipasi juga harus dibuka. Program yang terkait dengan kepentingan dan pemenuhan hak mereka diberikan ruang baginya untuk bisa mengakses, mengelola, melaksanakan kegiatan dan sebagainya.
Pada fungsi pengawasan, anggota DPRD memiliki kekuatan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan SKPD dan lain-lain kebijakan pemerintah yang berpotensi terjadinya penyimpangan. Pengertian sederhananya pengawasan bermakna sebagai proses pengukuran kinerja dan pengambilan tindakan untuk menjamin hasil (output and outcames) sesuai dengan yang diinginkan serta menjamin sesuatu berjalan sebagaimna mestinya sesuai dengan standar yang telah ditentukan (on the right track).
Bila demikian, bagaimana anggota DPRD melakukan pengawasan? Dalam melakukan pengawasan, anggota DPRD lebih banyak bermain pada ranah kebijakan makro tidak masuk pada hal teknis. Batasan kewenangan pengawasan anggota DPRD ini hingga sekarang masih menjadi perdebatan, termasuk di internal DPRD. Ada yang berpendapat bahwa kewenangan pengawasan DPRD sebatas pada pengawasan kebijakan yang lebih makro srategik sebagaimana diatur dalam PP 79 tahun 2005 tentang pedoman pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Sementara pendapat yang lain berpandangan bahwa perlunya anggota DPRD melakukan pengawasan yang lebih teknis, rinci dan menyeluruh termasuk dalam konteks managemen internal SKPD.
Anggota DPRD nampaknya banyak yang terjebak pada pendapat yang terakhir, namun bukan berarti hal tersebut salah. Dalam konteks keindonesiaan saat ini bentuk pengawasan ini dirasakan masih dibutuhkan karena lembaga-lembaga yang akan mem-beck up DPRD dalam pengawasan yang lebih teknis belum dapat diandalkan .

Selasa, 10 Agustus 2010

STRATEGI BARU ADVOKASI OMS PASCA UU PELAYANAN PUBLIK DITETAPKAN

Advokasi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) terhadap pelayanan publik di Indonesia sudah lama di lakukan dalam berbagai bentuk. Puncaknya ketika sejumlah NGO berkumpul yang diinisiasi oleh YAPPIKA dan membentuk semacam koalisi masyarakat sipil yang dinamakan dengan MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik) yang di dalamnya tergabung beberapa NGO se Indonesia. Sementara di daerah-daerah dibentuk simpul daerah, misalnya KOPEL di Makassar Sulawesi Selatan, PIAR di Kota Kupang NTT dan beberapa daerah lainnya.
Kesepakatan awal dibentuknya MP3 ini, bagaimana seluruh Organisasi Masyarakat Sipil mendorong terbentuknya undang-undang Pelayanan Publik. Bertahun-tahun perjuangan MP3 melakukan advokasi, tak sedikit tantangan dan hambatan yang dihadapi. Tantangan tersebut datang baik dari DPR yang berganti orang karena berganti periode keanggotaan, maupun dari Kementrian MENPAN. Tapi tak sedikit juga keberhasilan yang didapatkan karena UU ini telah ditetapkan 2009 lalu dengan melalui berbagai perdebatan dalam hearing, rapat dengan pendapat (RDP), lobby dsb antara MP3 dengan DPRD atas rancangan UU tersebut.
Pasca diundangkannya melalui UU nomor 25 tahun 2009, tantangan OMS semakin berat. Belum pada beberapa regulasi yang menjadi turunan dari undang-undang tersebut yang harus dikawal, implementasinya pun bagi penyelenggaran pelayanan publik, baik pemerintah maupun swasta yang harus DIKAWAL, diberikan penguatan, pendampingan hingga pengawasan agar berjalan sempurna.
Atas dasar itu, strategi advokasi OMS kembali dirumuskan pasca UU ini. MP3 kembali mengumpulkan simpul-simpul daerah MP3 se Indonesia termasuk KOPEL yang diwakili oleh Herman selaku koordinator simpul MP3 Sulsel. Karena kompleksitasnya masalah yang bakal dihadapi ke depan pasca ditetapkannya UU ini, MP3 melibatkan pihak lain selain OMS di awal terbentuknya, antara lain Perguruan tinggi, lembaga donor, dan pihak-pihak lainnya misalnya Dompet Duafa, perluasan jaringan OMS dll.
Di hari kedua tanggal 8 Agustus 2009 Lokakarya Konsolidasi OMS ini, difokuskan pada identifikasi faktor-faktor internal OMS terkait dengan kekuatan dan kelemahan dan faktor-faktor eksternal terkait dengan peluang dan tantangan. Dari identifikasi tersebut disusun strategi-strategi yang akan dijadikan alat bagi OMS untuk melakukan gerakan bersama dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang adil dan berkualitas.