Selasa, 27 April 2010

ANTARA ADAT DAN MODERNITAS: Politik Masyarakat Kajang (Bagian dua dari 2 tulisan/selesai)

Oleh Ilham Hamudy, peneliti Litbang Departemen Dalam Negeri



Pengantar redaksi: tulisan ini adalah sebagian catatan dari penelitian etnografis yang dilakukan penulis selama hampir tiga bulan di tengah masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan. Tulisan ini dimuat berseri dalam dua bagian.





Saya berusaha mencerap pelbagai informasi di luar Tana Toa, tidak jarang saya menginap di Desa Pattiroang atau di Desa Tambangan untuk sekadar berkenalan dan mencari informan yang saya anggap mengetahui persoalan tersebut. Perkenalan saya dengan Pak Desa Sapanang dan Pak Desa Pattiroang di Desa Pattiroang, memberikan nafas segar dalam penelitian saya, yang sempat mandeg karena tidak mendapatkan informasi yang berarti di Tana Toa. Pada satu malam yang dingin di kediaman Pak Desa Pattiroang, Pak Desa Sapanang bercerita dengan gamblang.

Hari itu dini hari pertengahan Maret 2003. Saya lupa tanggal persisnya kapan. Kami mengadakan pa’nganro untuk memilih Ammatoa yang baru. Saat itu, calon Ammatoa hanya dua orang, Puto Bekkong dan Puto Palasa. Prosesi acara berlangsung tiga hari tiga malam. Saya mengikuti semua rangkaian acara bersama beberapa kepala desa yang lain. Sepanjang umur saya, baru kali ini saya mengikuti pa’nganro. Tidak sembarang orang diperkenankan mengikuti prosesi sakral itu. Kalau tidak cukup “ilmu”, tidak bisa ikut. Kalau memaksakan ikut, biasanya sepulang dari acara pa’nganro, yang bersangkutan bisa meninggal, atau minimal gila. Suasana pa’nganro memang lain. Sangat khidmat dan penuh mistik. Pemilihan Ammatoa, dilakukan di dalam hutan (pa’rasangang i lau’) berlangsung pada malam ketiga. Saya merasakan hal yang janggal pada malam itu. Orang-orang berkumpul secara berkelompok terpisah satu dengan lainnya. Padahal, pada malam-malam sebelumnya berbaur saja. Saya dan beberapa kepala desa lainnya, menepi di sudut lapangan pertemuan.

Saya makan sedikit dan minum, karena lapar dan haus. Saat makan dan minum itu, saya memerhatikan, Pak Dewan hilir mudik dan sesekali berbicara serius dengan seseorang, nadanya sangat pelan. Pemandangan itu saya lihat berkali-kali. Orang yang berbicara dengan Pak Dewan terlihat tegang setiap kali melaporkan sesuatu kepada Pak Dewan. Setelah melapor, ia kembali lagi ke kerumunan massa yang mengikuti prosesi. Selepas makan dan minum, kami kembali ke tengah lapang untuk mengikuti prosesi. Singkat cerita, pada rangkaian puncak pemilihan, Anrongta ri Pangi memberikan pa’mamang (semacam piring dengan sesaji khusus- red) kepada Puto Bekkong. Menurut aturan adat, barang siapa yang diberikan pa’mamang oleh Anrongta ri Pangi, maka dialah yang berhak melanjutkan prosesi pengambilan sumpah sebagai Ammatoa. Namun, ketika Anrongta ri Pangi memberikan pa’mamang kepada Puto Bekkong, Puto Palasa berdiri dan berkata, “Kenapa bukan saya yang diberikan pa’mamang? Bukankah saya adalah pejabat Ammatoa. Nupakasiri’ka punna teai nakke anjari Ammatoa (kamu bikin malu saya kalau bukan saya yang terpilih sebagai Ammatoa),” ujar Puto Palasa dengan suara yang lantang sembari mengambil parang, diikuti pengikutnya. Mendapati hal itu, Anrongta ri Pangi bersikukuh dengan pendiriannya. Tetapi Puto Palasa terus mendesak seraya mengancam akan terjadi pertumpahan darah pada malam itu, andaikata bukan dia yang terpilih sebagai Ammatoa. Akhirnya, dengan penuh kesabaran, Puto Bekkong, yang juga paman Puto Palasa, mengalah. “Kalau itu memang maumu, saya mengalah. Silakan kamu saja yang menjadi Ammatoa. Saya tidak mau ada perpecahan dan pertumpahan darah di antara kita,” kata Puto Bekkong. Anrongta ri Pangi tidak bisa berbuat apa-apa, menuruti semua kehendak Puto Palasa. Pak Dewan yang berada di samping saya menyunggingkan seulas senyum. Mimiknya terlihat senang karena Puto Palasa yang terpilih sebagai Ammatoa.

Apa yang diceritakan kedua informan saya itu, bukanlah isapan jempol semata. Beberapa informan yang lain juga mengafirmasi cerita itu. Pak Syamsuddin, informan saya yang lain, juga mengatakan hal yang sama. Pak Syamsuddin adalah salah satu penyandang dana upacara pa’nganro tersebut. Jadi beliau mengikuti rangkaian acara tersebut dari awal sampai akhir. Menurutnya, salah satu alasan Puto Bekkong mengalah, selain alasan yang uraikan di atas, adalah untuk menyelamatkan upacara pa’nganro agar tidak sampai gagal. Sebab, kasihan para penyokong dana yang sudah menghabiskan dana yang tidak sedikit, sekira ratusan juta rupiah.

Mengalahnya Puto Bekkong, tidak serta merta menyelesaikan pertentangan di antara keduanya. Para pendukung Puto Bekkong, tidak mau terima dengan terpilihnya Puto Palasa sebagai Ammatoa. Sebenarnya, kalau pelantikan Ammatoa itu seperti demokrasi yang lazim dipraktikkan banyak orang dengan menggunakan suara terbanyak, tentu Puto Bekkonglah yang menjadi Ammatoa. Sebab, massa beliau lebih banyak, tersebar di pelbagai desa di Kecamatan Kajang. Tetapi, pelantikan Ammatoa tidak seperti pemilihan kepala desa.

Penjelasan para informan saya tentang dualisme Ammatoa, selalu mengaitkannya dengan peran sentral Pak Dewan. Siapa Pak Dewan sebenarnya? Bagaimana sepak terjang dia selama ini? Pertanyaan itu, kembali memaksa saya untuk terus menelusuri informasi yang beredar tentang dia.

Pak Dewan adalah anggota legislatif dari Partai Syarikat Indonesia (PSI), ia meraih kursi legislatif itu pada 2004 lalu. Perawakannya tinggi besar, berkumis, dan lantang dalam berbicara. Sepintas, ia terlihat sangat cerdas di antara orang Kajang pada umumnya. Ketika saya menyambangi kediamannya di depan Pasar Kajapoa, ia terlihat santai menerima tetamu. Saya perhatikan, mereka sedang berbincang serius. Pikir saya, dia sedang konsolidasi dengan tim suksesnya, maklum menjelang pemilu. Pembicaraan saya dengannya merangkum pelbagai hal tentang Kajang dan perpolitikan yang melingkupinya. Beberapa pokok pikiran dan gaya bicaranya tinggi, saya menilai ia adalah sosok yang ambisius dalam politik. Tidak banyak hal kontroversial tentang Kajang yang keluar dari mulutnya. Bahkan, ketika ditanya soal dualisme Ammatoa, ia terkesan menutupi dan cenderung menyalahkan Puto Bekkong yang dianggapnya kemaruk dalam kekuasaan.

Penjelasan tentang Pak Dewan saya dapatkan dari orang-orang terdekatnya, baik yang sejalan atau pun yang berseberangan dengannya. Salah satu penjelasan yang cukup valid dan andal, saya dapatkan dari mantan Galla Lombo’, salah seorang peneroka dan sesepuh orang Kajang. Ditemani secangkir teh dan rokok kretek yang asapnya terus mengepul, mantan Galla Lombo’ itu menuturkan kisahnya.

Saya mengenal Pak Dewan sudah sejak lama. Sejak saya menjadi kepala desa di Tana Toa pada 1983. Saat itu, Pak Dewan masih remaja. Dia nakal, seperti umumnya remaja kebanyakan. Tetapi dia cerdas, meski terkesan arogan dan ambisius. Dia kuliah di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, tetapi tidak selesai. Karena aktif di organisasi. Kuliahnya tidak jelas, berantakan. Kesan saya terhadap dia biasa saja, selama tiga tahun awal pemerintahan saya di Tana Toa. Sampai akhirnya, satu peristiwa yang tidak bisa saya lupakan terjadi pada 1986. Saat itu, massa mengepung rumah saya dan melemparinya dengan batu. Massa mengamuk dengan membabi buta. Malam itu, saya berhadapan dengan Pak Dewan dan temannya yang masuk ke rumah saya dengan membawa sebilah parang. Tetapi, dia tidak membacok saya. Padahal, saya sudah berhadapan dengannya dan saya dalam keadaan terjepit. Saya difitnah olehnya. Dikatakan, saya akan merusak adat dengan memindahkan kalompoang, semacam keris pusaka. Belakangan baru saya tahu kalau sebenarnya Pak Dewan tidak suka saya menjadi kepala desa, dan dia ingin menggantikan saya. Akhirnya dia menghasut massa dan Ammatoa, Puto Cacong, untuk menentang saya. Selain itu, ada juga hal lain yang melatarbelakangi peristiwa itu. Sebelumnya, saya dipanggil Ammatoa. Ammatoa menyuruh saya memanggil bupati agar segera datang ke Kajang. Waktu itu, Ammatoa mempunyai calon untuk menduduki posisi Camat Kajang. Padahal, calon yang didukung Ammatoa itu bukanlah keturunan Labbiria. Atas dasar itu, saya selalu bilang pada Ammatoa, bahwa Pak Bupati sedang sibuk, jadi tidak bisa datang ke Kajang. Berkali-kali saya diingatkan soal ini, tetapi saya tetap tidak mau menyampaikan kepada Pak Bupati. Penolakan halus saya itu dimanfaatkan oleh Pak Dewan untuk menjelek-jelekkan saya. Dia mengatakan, bahwa saya sengaja untuk tidak memanggil bupati datang ke Kajang. Akhirnya, atas hasutan Pak Dewan, dikatakan kepada Ammatoa, “Kalau Ammatoa ingin Pak Bupati datang ke Kajang, pasang saja gambar Ka’bah di rumah Amma. Niscaya, Pak Bupati segera datang.” Saat itu, Pak Dewan menghubungi salah seorang anggota DPRD Bulukumba untuk datang bertemu Ammatoa. Betapa kagetnya anggota dewan itu, ketika melihat gambar Ka’bah yang cukup besar terpampang di dalam rumah Ammatoa. Ia mengira, Ammatoa sudah berpihak kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Padahal, saat itu, kekuatan Orde Baru dengan Golkarnya, begitu massif di seluruh pelosok negeri ini. Mengetahui hal itu, akhirnya bupati datang ke Kajang dan melihat sendiri gambar Ka’bah itu. Betapa terkejutnya bupati. Impaknya saya dimarahi habis-habisan oleh Pak Bupati. Saya dianggap tidak becus memimpin Tana Toa dan mengamankan basis suara Golkar di sana. Pak Dewan memang hebat dalam berpolitik.

Lebih lanjut mantan Galla Lombo’ menguraikan, setelah peristiwa itu Pak Dewan menghilang beberapa bulan. Bahkan ia menjadi buronan polisi. Disinyalir, ia bersembunyi di Makassar. Sampai satu hari ia kembali ke Tana Toa, dan semuanya berlalu tanpa ia merasa bersalah sedikitpun. Peristiwa itu ditutup dengan “perdamaian” di antara pihak yang berselisih. Mantan Galla Lombo’ kembali memimpin Tana Toa sampai akhir masa jabatannya pada 1992.

Penjelasan mantan Galla Lombo’ mengernyitkan dahi saya, seraya mencoba meraba-raba keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, berikut dengan para tokoh yang ikut berperan di dalamnya. Keterlibatan Pak Dewan yang berusaha mendongkel kepemimpinan mantan Galla Lombo’, campur tangan Ammatoa dalam penempatan seorang camat di Kajang yang bukan keturunan Labbiria, menjadi catatan khusus saya dalam menelusuri informasi tentang akar munculnya dualisme dan perselingkuhan politik Ammatoa.

Dewi fortuna menyertai perjalanan waktu Pak Dewan. Pada 1993 s.d 2001 ia menjadi Kepala Desa Tana Tona, mengalahkan menantu mantan Galla Lombo’. Pak Dewan kembali menjadi kepala desa untuk periode berikutnya 2001-2006. Namun, pada masa itu, Pak Dewan tidak merampungkan masa jabatannya. Angin reformasi dan keterbukaan politik menggodanya untuk membidik jabatan yang lebih prestisius ketimbang sekadar menjadi kepala desa?anggota legislatif Kabupaten Bulukumba. Sebagai pembuka jalan, pada 2003 ia masuk dan memimpin Partai Syarikat Indonesia di Bulukumba.

Para informan saya mengatakan, 2003 adalah awal karut-marutnya adat di Kajang, ditandai dengan masuknya Pak Dewan sebagai caleg, dan pemilihan Ammatoa yang baru. Ada pertalian politik yang kuat antara Pak Dewan yang ingin menjadi anggota dewan dan Puto Palasa yang mencalonkan diri sebagai Ammatoa. Simbiosis mutualisme berlangsung di antara keduanya. Pada 2003 penggalangan massa dan kampanye pemilu sudah marak. Semua caleg di Kajang mulai menjaring massa, membuat citra, dan menarik simpati dan dukungan para pemuka adat, tidak terkecuali Pak Dewan. Hampir semua tahu, Pak Dewan begitu rapat dengan Puto Palasa. Gelar Galla Lombo’ yang disandangnya sebagai Kades Tana Toa, semakin mempermudah interaksinya dengan Puto Palasa, yang kala itu menjadi “caretaker” Ammatoa. Para caleg dan partai politik yang lain tidak mampu masuk di Tana Toa dan mendekati Puto Palasa. Tana Toa sudah dikuasai Pak Dewan dan PSI-nya. Dan akhirnya, Pak Dewan berhasil mendapatkan kursi legislatif yang dia idamkan. Sebagai imbalannya, Pak Dewan begitu gigih mempertahankan dan membela Puto Palasa, ketika Puto Palasa digugat oleh pelbagai pihak berkait dengan dualisme Ammatoa. Begitu pula dengan Puto Palasa, ia sangat berkepentingan memperjuangkan Pak Dewan agar terpilih sebagai anggota dewan, agar otoritasnya sebagai Ammatoa tidak diganggu gugat oleh para pihak, terutama pemerintah daerah yang sempat turut campur dalam menyelesaikan persengketaannya dengan Puto Bekkong.

Drama perselingkuhan politik Pak Dewan dan Puto Palasa berimpak fatal pada implementasi pasang dalam kehidupan orang Kajang. Adat istiadat yang dulu begitu kokoh dipegang, sekarang semakin pudar. Salah satunya ditandai dengan surutnya pesan a'lemo sibatang, a'bulo sipappa', tallang sipolua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri yang artinya memupuk kesatuan dan persatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan. Para pendukung di antara kedua kubu, saling berseteru sampai sekarang. Kasus perebutan sawah seperti yang saya kemukakan di atas, adalah salah satu dampak pudarnya adat. Selain itu pula, kerap kali setiap pelanggaran yang dilakukan oleh orang luar atau pun orang dalam adat Kajang sendiri, begitu sukar untuk diadili secara hukum adat. Sebagai contoh, seorang warga komunitas menebang pohon di luar batas toleransi yang dibenarkan. Warga yang bersalah itu mencari pembenaran di salah satu Ammatoa. Kalau Puto Palasa mengatakan ia bersalah, maka yang bersangkutan lari ke pihak Puto Bekkong untuk meminta perlindungan hukum, begitu pun sebaliknya.

Hal lain yang memudarkan adat dan menjadi impak atas dualisme Ammatoa, adalah munculnya dualisme di antara pemuka adat yang lain. Kedua belah pihak, membentuk struktur kekuasaannya masing-masing. Akhirnya, tidak heran kalau Galla Puto ada dua orang, Galla Pantama, Galla Kajang, dan begitu juga Anrong Gurua. Semuanya menjadi dualisme. Padahal, ketika salah seorang warga atau lebih ingin membuat hajatan dengan upacara adat, dan mesti mengundang para pemangku adat, lalu pemangku adat dari pihak mana yang mesti diundang. Ketika hal ini saya tanyakan kepada warga komunitas, mereka menggelengkan kepala, bingung, dan diam tidak mengerti.



POLITIK DALAM HUBUNGAN-HUBUNGAN SOSIAL

Lazimnya, perhatian politik hanya bertumpu kepada institusi yang berkaitan dengan perlembagaan, seperti partai politik dan pemilu. Namun gambaran ini sangat terbatas dan tidak memberikan pandangan yang sesungguhnya tentang kajian politik. Peranan yang dimainkan oleh pemerintah, partai politik, badan-badan bukan pemerintah (NGO), pemilu, perdebatan dalam parlemen, dan persaingan dalam sebuah partai politik sememangnya merupakan unsur penting di dalam proses politik, terlebih lagi dalam proses politik modern.

Walaupun demikian, dengan hanya melihat unsur tersebut untuk mendefinisikan politik maka ibarat melihat puncak gunung es yang nampak ujungnya saja di permukaan lautan. Padahal, sebagian besar dari es tersebut masih lagi tersembunyi di dasar laut. Hal ini tidak bermakna, persoalan institusi politik tidak penting, tetapi pemahaman mengenai hal itu saja tidak menjelaskan pelbagai persoalan lain yang lebih mendasar dan menjadi motivasi tindakan politik seseorang.

Fenomena yang saya lihat dan alami di Kajang, sekaligus mempertegas bahwa pentingnya norma, fungsi, struktur, aturan, dan keseimbangan dalam sistem kehidupan masyarakat, ternyata tidak selalunya menjadi pedoman hidup manusia. Orang Kajang yang dikenal hidup berpandukan adat, nilai, norma, yang diatur dalam pasang, ternyata kerap juga berperilaku “menyimpang”.

Intrik politik, patron-klien, tipu muslihat, dan perselingkuhan politik Ammatoa dengan Pak Dewan, seakan membenarkan sinyalemen Barrett (1996:100) bahwa kehidupan sosial memunyai banyak simpang siur dan pecahannya. Ramai orang yang melaungkan pegangan hidup yang normatif, tetapi pada kenyataannya juga melakukan pengingkaran terhadapnya. Tidak sedikit di antara mereka yang senantiasa mencari jalan pintas untuk memeroleh tujuan tanpa menurut pada adat dan norma yang berlaku.

Mengulas fenomena perselingkuhan politik Ammatoa di Kajang, saya mengutip perkataan Bailey (1970:87) yang sekiranya senafas dengan hal itu, “...kebanyakan dari kita dipengaruhi oleh kepentingan diri sendiri, acap mencoba mengingkari ikatan norma untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin.” Menurut saya, keadaan inilah yang pada hakikatnya muncul di Kajang. Nilai harmoni dalam kehidupan sosial sebagaimana yang terangkum dalam pasang ri Kajang sebenarnya tidak senantiasa ada. Jika pun ada, ia hanya menjelma dalam bentuk komunitas adat yang stabil, tetapi di dalamnya penuh dengan tipu daya, muslihat, nepotisme, tikam dari belakang, jalan pintas, dan “perselingkuhan”.

Tradisi dan nilai-nilai pasang ri Kajang sudah berubah. Artinya, pada batas-batas tertentu, pasang ri Kajang bukan lagi menjadi kebanggaan di dalam struktur sosial di mana mereka hidup. Ditinjau dari sistem nilai, pasang ri Kajang sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di tengah-tengah kehidupan orang Kajang. Dalam proses selanjutnya, tokoh Ammatoa yang representatif juga tidak dijumpai lagi, sehingga komunitas Kajang sudah tidak sesolid masa lalu. Akibatnya, peran kontrol sosial Ammatoa juga menjadi melemah. Unsur-unsur dalam pasang ri Kajang telah tenggelam dalam kompleksitas modernisasi, dan politisasi elite Kajang sendiri. Dan, generasi berikutnya, lambat laun menganggap tradisi orang Kajang yang dijiwai prinsip kamase-masea tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab tantangan nilai-nilai baru yang lebih relevan dan rasional. Nilai-nilai dalam pasang ri Kajang telah kehilangan elan vitalnya.

Akhirnya, menjelang saya tinggal di Kajang, saya menyempatkan diri ngerumpi dengan beberapa informan, membincangkan tentang pelbagai hal di Tana Toa, khususnya tentang politik. Pak Sekdes Tana Toa, Pak Desa Pattiroang, Pak Sekdes Pattiroang, Pak Kaur Pemerintahan Pattiroang, Pak Desa Sapanang, dan saya duduk di balai-balai bambu di bawah kolong rumah Pak Desa Pattiroang. Pak Sekdes Pattiroang dan Pak Kaur Pemerintahan Pattiroang mengajukan pertanyaan kepada saya. Mengapa saya mengalihkan tema penelitian dari politik identitas kepada dualisme Ammatoa. Saya hanya tersenyum, dan menjawab sekenanya. Saya bilang, apa yang saya rancang sebelum saya ke Kajang semuanya berantakan. Sebab, asumsi yang saya bangun, ternyata hanya sebagian saja benar terjadi, selebihnya tidak ada. Semua itu, hanya imajinasi saya saja sebagai peneliti. Mendengar hal itu, mereka tertawa. “Ternyata, peneliti itu, menggunakan imajinasi juga ya? Seperti mengkhayal saja,” ujar Pak Kaur. Saya katakan kepada mereka, ternyata intrik politik dan dualisme Ammatoa lebih menarik bagi saya untuk dikaji. Lalu, Pak Desa Sapanang menimpali, “Orang Kajang yang dikenal orang luar sebagai orang yang sederhana dan bodoh-bodoh, ternyata jago main politik juga ya?” Kami semua terbahak mendengar celetukan Pak Desa Sapanang.

Kamis, 22 April 2010

POLITIK MASYARAKAT KAJANG (Antara Adat & Modernitas)

Oleh Ilham Hamudy, peneliti Litbang Departemen Dalam Negeri

Pengantar:
tulisan ini adalah sebagian catatan dari penelitian etnografis yang dilakukan penulis selama hampir tiga bulan di tengah masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan. Tulisan ini dimuat berseri dalam dua bagian.


Suatu hari di bulan Mei 2004, sebuah pertemuan besar digelar di tanah adat komunitas Kajang, Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Pertemuan itu dihadiri oleh Muspida Bulukumba dan seluruh pemangku adat komunitas Kajang.

Komunitas Kajang adalah salah satu komunitas adat di Sulawesi Selatan. Komunitas ini memiliki panduan hidup dalam bentuk tuturan lisan yang disebut pasang ri Kajang (pesan-pesan suci dari Kajang) yang sudah dilestarikan dari generasi ke generasi. Sebagai pemimpinan adat, ditunjuk seorang pimpinan yang disebut Ammatoa (pemimpin tertua), lalu di bawahnya ada pemangku adat lain sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dalam pertemuan antara berbagai elemen itu, soal utama yang dibahas adalah munculnya dua Ammatoa. Saat itu ada dua orang yang mengaku menjadi Ammatoa, yaitu Puto Palasa dan Puto Bekkong.

Pertemuan dipandu oleh pemangku adat yang bergelar Galla, yaitu Galla Lombo’. Sebelumnya, ia menjelaskan mengenai aturan dalam pasang ri Kajang dalam proses pemilihan Ammatoa. Di sana dikatakan bahwa yang berhak mendapat gelar Ammatoa adalah yang sanggup melewati proses pengangkatan yang terdiri dari empat tahapan.

Dalam kesaksian salah satu pemangku adat, empat tahapan itu sudah dilalui oleh keduanya. Dalam proses itu Puto Palasa yang berhasil melalui empat tahapan. Sementara Puto Bekkong, tidak sampai mengikuti seluruh tahapan. Oleh karena itu, secara hukum adat Kajang, yang berhak menjabat Ammatoa adalah Puto Palasa yang usianya lebih muda dari Puto Bekkong. Dari hasil ini diputuskan bahwa Puto Palasa yang berhak menjadi Ammatoa.

Beberapa hari sebelumnya telah berlangsung pertemuan serupa, dihadiri para pemangku adat butta Kajang. Dengan disaksikan warga komunitas adat Kajang dan unsur pemerintah setempat, pertemuan tersebut berusaha mencari solusi dualisme Ammatoa.

Pertemuan itu berusaha membahas duduk perkara terjadinya dualisme dan mendamaikan dua kubu yang bersengketa, antara pihak Puto Bekkong dan Puto Palasa (keduanya merasa sebagai Ammatoa). Akhirnya, setelah melewati urun rembug yang menyita waktu hampir enam jam, disepakati yang menjadi Ammatoa adalah Puto Bekkong. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pengakuan Anrongta ri Pangi, orang yang berhak melantik Ammatoa. Dalam pengakuannya, ia mengatakan:

Oh anakku ia ngase irate nasaba maengmi kulantik Ammatoa siurang atoran riolo mariolo, iamintu i Puto Bekkong. Kuerai nupalekkoki nanutimbahoi, nasaba malla inakke allese riatoran riolo mariolo. Inakke tanggung jawab ri lino, sambenna ri allo ri boko saba tojeng nasiurang kalambusang, kupaingakko anak:

Lambusukko nu karaeng. Pissonaku nu guru.
Gattangko nu ada. Sabbarakko nusanro.
Salama kointu ri lino sambenna ri allo ri boko
Akko jamaii punna tania jamannu

Artinya:

Hai anakku, berdasarkan aturan yang berlaku turun temurun, dengan ini sudah saya lantik yaitu Puto Bekkong sebagai Ammatoa. Saya tidak menyeleweng dari aturan nenek moyang kita. Saya bertanggung jawab di dunia dan akhirat atas apa yang sudah saya lakukan. Saya ingatkan kamu anakku:

Lurus dalam memerintah. Pasrah seperti ulama.
Tegas pada aturan adat. Sabar seperti orang yang berilmu tinggi.
Niscaya kamu akan selamat di dunia dan akhirat kelak.
Jangan mengerjakan hal yang bukan pekerjaanmu.

Ketika itu saya sedang mengkaji fenomena politik masyarakat Kajang. Banyak orang yang menganggap, kontestasi politik di Kajang relatif lebih sengit dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Bulukumba. Tidak jarang di antara sanak saudara mereka berselisih paham, hanya karena pandangan dan afiliasi politik yang berbeda. Sebagian besar warga Kajang menjadi pengurus partai politik. Sehingga, tidak heran dapat kita jumpai pelbagai bendera partai politik yang berbeda di setiap rumah warga. Istilah warga setempat, ero ngaseng appaenteng bandera. Masing-masing warga ingin mendirikan bendera partai politik sendiri.

Saya telah mendengar banyak kisah tentang seorang calon legislatif (caleg) yang menghalalkan segala cara. Kisah tentang bagaimana para politisi Kajang selalu menjual isu marginalisasi orang Kajang dalam segala bidang. Namun, setelah terpilih, para politisi itu mengabaikan isu marginalisasi yang pernah ia hembuskan. Alih-alih mengentaskan warga Kajang dari marginalisasi, malahan para politisi itu mengeruk keuntungan dari marginalisasi orang Kajang. Orang Kajang, tetap terpinggirkan.

Saya juga sering mendengar kisah-kisah tentang politisi yang terjebak pesona magis bersekutu dengan setan, untuk mendapatkan kekuasaan, sebuah tindakan irrasional dalam politik modern. Saya menyimak secara hati-hati terhadap kisah ini, tetapi sebagian juga memahaminya sebagai hiperbola orang Kajang yang tipikal.

Kebanyakan orang Kajang yang saya jumpai menganggap, adanya dualisme kepemimpinan Ammatoa tidak terlepas dari keterlibatan Ammatoa dalam kontestasi kekuasaan di antara partai politik dan caleg. Mereka saling berebut dukungan Ammatoa yang memiliki pengaruh di seantero Kajang. Sesiapa yang dekat dengan Ammatoa, otomatis merasa memiliki lumbung suara. Sementara Ammatoa pun mengeruk keuntungan dari partai politik dan caleg berupa perlindungan kekuasaan di hadapan pemerintah daerah dan materi, tentu saja. Orang Kajang pada umumnya miskin dan tidak terdidik. Tetapi, dalam hal politik, hampir semuanya melek politik.

Mencermati inti ajaran adat Kajang untuk mengekang hawa nafsu, jujur, rendah hati, tidak merugikan orang lain, dan menjaga keseimbangan alam, tidak tergoda kekuasaan duniawi, patut diduga bahwa pengingkaran atas nilai-nilai itulah yang jadi biang terjadinya dualisme Ammatoa.

Tulisan ini membincangkan kontestasi kekuasaan di Kajang dan perselingkuhan politik Ammatoa untuk menjelaskan bahwa realitas munculnya dualisme Ammatoa, mengindikasikan kontestasi politik di Kajang.Tidak hanya domain politik modern di antara partai politik dan caleg, tetapi juga politik tradisional dalam komunitas adat. Orang Kajang yang dianggap memiliki stereotipe yang bersahaja, berpegang pada prinsip adat hidup sederhana, jauh dari persoalan materi yang duniawi, ternyata tidak luput dari godaan kekuasaan yang kemaruk. Alih-alih Ammatoa yang semestinya berperan sebagai pemimpin adat dan penjaga moral prinsip kamase-masea dalam pasang ri Kajang, tetapi malah terlibat dalam perselingkuhan politik. Tulisan ini didasarkan pada penelitian lapangan yang saya lakukan di dan sekitar Tana Toa selama hampir 2,5 bulan. Komunitas adat Kajang berdomisili di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.

SETTING ETNOGRAFI PENELITIAN

Pak Kepala Desa Tambangan memandu saya menyusuri jalan beraspal yang keropos dan berdebu menuju kediamannya di Desa Tambangan, Kecamatan Kajang. Mobil yang kami tumpangi bekerja setengah mati menaklukan jalan yang rusak berat. Sepanjang jalan Pak Desa bercerita pelbagai hal tentang komunitas adat Kajang, mulai dari budaya setempat, beberapa peristiwa terkini yang terjadi di Kajang, masalah-masalah politik, sampai pada hal-hal mistik yang membuat saya bergidik. Saya diingatkan untuk berlaku semadyanya pada orang Kajang. Sikap atau perbincangan yang membuat orang Kajang terhina akan berimpak fatal pada keselamatan saya. Sontak saya teringat dengan cerita kawan saya yang mengatakan bahwa kalau orang Kajang sudah marah dan dendam kesumat, bisa-bisa kepala kita jadi lembek

Selama sekira satu jam kemudian, kami sampai di kediamannya di Desa Tambangan. Hari itu sudah menjelang pukul 16.00 wita. Sembari menyeruput teh panas dan menikmati jajanan pasar, Pak Desa kembali bercerita dan menanyakan fokus penelitian saya. Awalnya, Pak Desa menyarankan saya untuk tinggal di rumahnya saja. Menurutnya, kajian politik yang akan saya teliti sangat tepat jika dilakukan di Desa Tambangan. Sebab, menurutnya, kontestasi politik di Tambangan relatif lebih sengit dibandingkan desa lain di Kecamatan Kajang. Selain itu pula, hampir semua caleg yang ada di daerah pemilihan (Dapil I) berdomisili di Tambangan. Sehingga, akan memudahkan saya untuk mewawancarai para caleg tersebut. Kendati begitu, saran Pak Desa saya tampik dengan halus. Meski Tambangan sangat menarik untuk dijadikan lokus penelitian, saya lebih memilih Desa Tana Toa sebagai lokus utama. Alasannya, komunitas adat Kajang terpusat di Desa Tana Toa. Sementara di Desa Tambangan, struktur masyarakat sudah mengarah kepada desa urban, hal yang kurang tepat dalam penelitian saya. Setelah meyakinkan Pak Desa, akhirnya saya diantar menuju Desa Tana Toa yang jaraknya lumayan jauh, sekira 10 km dari Desa Tambangan. Saya yakin, tinggal di Desa Tana Toa akan banyak membantu saya untuk memahami masyarakat Kajang dan kehidupan desa sehari-hari.

Dalam komunitas adat ada tekanan kebutuhan untuk menengahi tema yang saya usung: budaya, politik dan arus modernitas, ketimbang mencari di desa lain di Kecamatan Kajang yang relatif lebih urban. Saya menginsyafi bahwa kompleksitas yang inheren itu sendiri menawarkan keuntungan-keuntungan tertentu. Dalam sebuah lingkungan semacam itu di mana wacana, ideologi, dan kontestasi kepentingan kekuasaan yang dibawa oleh pelbagai pihak, bercampur dengan nilai-nilai adat (acap kali bertentangan satu sama lain) segera dan secara langsung terasakan. Maka, kebutuhan untuk merasakan dan mengintegrasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari adalah lebih urgen.

SISTEM POLITIK DAN STRUKTUR KEKUASAAN ADAT KAJANG

Dalam konteks sistem politik, komunitas adat Kajang di Tana Toa dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa dan mereka sangat patuh padanya. Kalau Tana Toa berarti tanah yang tertua, maka Ammatoa berarti bapak atau pemimpin tertua. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Sebabnya proses pemilihan Ammatoa tidak gampang. Adalah sesuatu yang tabu di Tana Toa bila seseorang bercita-cita jadi Ammatoa. Pasalnya, Ammatoa bukan dipilih oleh rakyat, tetapi seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Tu Rie’A’ ra’na.

Yusuf Akib, peneliti antropologi, dalam buku Potret Manusia Kajang (2003) menuliskan bahwa fungsi dan peran Ammatoa telah bergeser dari pemimpin pemerintahan (dalam skala komunitas) menjadi sekadar pemimpin acara ritual keagamaan. Itu terjadi sejak era pascakemerdekaan, yang diperkuat pada 2-3 dekade terakhir. Alhasil, peran-peran majelis adat untuk membantu Ammatoa mengurusi berbagai bidang pemerintahan skala komunitasnya jadi kerdil. Peran para pembantu Ammatoa yang lazim disebut kolehai menjadi tumpul. Kendati begitu, Ammatoa masih berperan dalam mekanisme politik tradisional yang berlaku di Kajang.

Selain sebagai pemimpin adat, Ammatoa bertugas sebagai penegak hukum sebagaimana dipesankan dalam pasang ri Kajang. Komunitas adat Kajang menerapkan ketentuan-ketentuan adat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Ketentuan adat yang diberlakukan di wilayah adat Ammatoa Kajang diberlakukan kepada seluruh komponen komunitas, tanpa kecuali. Ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur yang disampaikan secara turun-temurun. Ketentuan adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku (lebba) yang diterapkan kepada setiap orang yang telah melakukan pelanggaran. Dalam hal ini diberlakukan sikap tegas (gattang), dalam arti konsekuen dengan aturan dan pelaksanaannya tanpa ada dispensasi, sebagaimana disebutkan dalam pasang yang berbunyi: ‘Anre na‘kulle nipinra-pinra punna anu lebba‘ Artinya : Jika sudah menjadi ketentuan, tidak bisa diubah lagi.

Menurut mitologi orang Kajang, ketika manusia belum banyak menghuni bumi, sebutan Ammatoa belum dikenal. Yang ada ialah Sanro atau Sanro Lohe (dukun yang sakti). Sanro Lohe bukan hanya sekadar sebagai dukun yang dapat mengobati penyakit, melainkan juga tokoh pimpinan dalam upacara ritual keagamaan sekaligus sebagai pemimpin kelompok. Selepas manusia kian ramai dan kebutuhan semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, istilah Amma mulai dikenal. Struktur organisasi pun dibentuk dengan pembagian tugas dan fungsi masing-masing. Pembagian kekuasaan ini termaktub dalam pasang ri Kajang: Amma mana’ ada’ (Amma melahirkan adat) dan Amma mana’ karaeng (Amma melahirkan pemerintahan).

Ammatoa didampingi dua orang Anrong (ibu) masing-masing Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina dan para pemangku adat. Anrongta ri Pangi bertugas melantik Ammatoa. Selain itu, dalam sistem politik tradisional yang berlaku di Kajang, Ammatoa juga dibantu oleh yang disebut sebagai Ada’ Lima Karaeng Tallu. Ada’ Lima (ri Loheya dan ri Kaseseya) adalah pembantu Ammatoa yang khusus bertugas mengurusi adat (ada’ pallabakki cidong). Di antaranya, mereka bergelar Galla Puto yang bertugas sebagai juru bicara Ammatoa, dan Galla Lombo’ yang bertugas untuk urusan pemerintahan luar dan dalam kawasan (selalu dijabat oleh Kepala Desa Tana Toa). Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah ritual keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan. Setiap pemangku adat memunyai tugas dan kewenangan berbeda-beda. Sementara Karaeng Tallu bertugas membantu dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan (ada’ tanayya). Karaeng Tallu merupakan tri tunggal dalam pemerintahan, dan dikenal dengan “tallu karaeng mingka se’reji”. Yang berarti bahwa apabila salah satu di antaranya telah hadir dalam upacara adat, maka Karaeng Tallu sudah dianggap hadir.

Dalam perkembangannya, kendati Ammatoa adalah orang tertinggi dalam struktur pemerintahan Tana Toa, keberadaan pemerintah di luar kawasan adat tetap diakui. Bahkan karena dianggap lebih berpendidikan, pemerintah di luar Tana Toa juga sangat dihormati. Pemerintah dalam hal ini adalah camat, bupati, dan seterusnya. Bukti penghormatan ini terlihat dalam upacara adat atau sebuah pertemuan di mana pejabat pemerintah mendapat kappara dengan jumlah piring lebih banyak dari Ammatoa. Kappara adalah baki yang berisi sejumlah piring dengan beragam makanan. Dengan kappara ini pula kedudukan seseorang akan terlihat karena semakin besar sebuah kappara atau makin banyak piringnya, maka makin tinggi kedudukannya.

Bila seorang Ammatoa meninggal (a’linrung), majelis adat menunjuk pejabat sementara yang memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda dengan Ammatoa. Jabatan sementara dijabat selama tiga tahun. Selepas masa tersebut, tepat pada malam bulan purnama (bangngi kentarang) dilaksanakan appa’runtu pa’nganro, yaitu upacara ritual anyuru’ borong, memohon petunjuk Tu Rie’ A’ra’na untuk memilih Ammatoa yang baru. Para calon Ammatoa ini biasanya harus tahu betul adat istiadat di Tana Toa. Selain itu mereka harus bisa menjelaskan asal-usul manusia secara rinci di Tana Toa sejak yang pertama. Ini tentu saja bukan hal mudah dilakukan dan diyakini masyarakat memang hanya orang tertentu yang bisa melakukannya. Pasalnya, di Tana Toa, tabu membicarakan asal-usul manusia bahkan tentang keturunan seseorang.

Dikisahkan Pak Sekdes Tana Toa, setiap kali penobatan Ammatoa dilakukan, seekor ayam jantan dilepas. “Kalau sudah tiba saatnya, atau sudah tiga tahun, para calon dikumpulkan dan ayam yang sudah dilepas saat penobatan terdahulu, “didatangkan” lagi. Di mana ayam itu bertengger maka, dialah yang jadi Ammatoa. Biasanya setelah ayam bertengger wajah orang tersebut langsung berubah-ubah dan sangat bercahaya. Setelah itu ayamnya langsung mati,” jelas Pak Sekdes.

DUALISME AMMATOA DAN MEMUDARNYA ADAT

Hari itu, Sabtu siang 18 Agustus 2007, belasan warga komunitas adat Kajang, dipimpin salah seorang anak kandung Puto Palasa dan tokoh pemuda Kajang, mendatangi rumah jabatan Wakil Bupati Bulukumba. Kedatangan mereka untuk mengadukan anggota kelompok Puto Bekkong yang memanen sawah adat, yang terdapat dalam kawasan adat Kajang di Desa Tambangan, Kecamatan Kajang. Padahal, dalam musyawarah antara Puto Palasa dan Puto Bekkong yang dihadiri seluruh pemangku adat Kajang dan difasilitasi oleh Bupati Bulukumba serta unsur muspida, April 2007 silam, diputuskan bahwa untuk sementara waktu pengelolaan dan penggunaan harta adat, termasuk sawah itu, dalam penguasaan pemerintah kecamatan.

Menurut warga yang mengadu, apa yang dilakukan anggota kelompok Puto Bekkong melanggar kesepakatan hasil musyawarah. Hal itu menimbulkan kemarahan warga Kajang dari kelompok Puto Palasa. “Kami datang menemui wakil bupati untuk meminta saran dan solusi, karena ingin menyelesaikan masalah ini secara baik-baik,” ujar tokoh pemuda Kajang itu, seperti dikatakan Kabag Kesbang Bulukumba, usai mendampingi Wakil Bupati menerima keluhan warga tersebut. Menurut Kabag Kesbang, masalah itu telah diselesaikan pada 20 Agustus 2007, melalui rapat tripika Kecamatan Kajang. Wakil Bupati memerintahkan Camat Kajang untuk memfasilitasi pertemuan tripika dan mencari solusi.

Perseteruan antara Puto Palasa dan Puto Bekkong sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Dalam prosesi pemilihan Ammatoa, keduanya sama-sama mengaku sebagai Ammatoa yang mendapat restu. Keduanya sama-sama memiliki pendukung. Dualisme kepemimpinan inilah yang menimbulkan perseteruan warga, termasuk pengelolaan harta adat. Selama perseteruan ini, beberapa kali terjadi insiden yang nyaris menimbulkan bentrok di antara kedua kelompok. April 2007, pemerintah setempat dipimpin Bupati Bulukumba, memfasilitasi pertemuan Puto Palasa dan Puto Bekkong serta seluruh pemangku adat Kajang untuk menyelesaikan dualisme kepemimpinan. Salah satu keputusan dalam pertemuan itu adalah pengelolaan dan penggunaan harta adat untuk sementara dikuasai pemerintah kecamatan hingga ada keputusan pasti. Dalam pertemuan itu, Puto Bekkong sudah mengalah dan mengakui Puto Palasa sebagai Ammatoa. Mayoritas pemangku adat juga sudah mengakui Puto Palasa. Tetapi, masih ada juga pemangku adat yang belum mau mengakui Puto Palasa.

Persengketaan sawah itu hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya dualisme Ammatoa. Warga komunitas dan para pemangku adat kerap merasa gamang dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan adat. Sebab, seperti yang telah saya uraikan pada bagian awal tulisan ini, Ammatoa sebagai orang yang dipandang sebagai pemimpin dan hakim dalam memutuskan perkara yang berhubungan dengan adat, dijabat oleh dua orang yang berbeda, Puto Palasa dan Puto Bekkong.

Menurut Akib (2003), sejak komunitas adat Kajang berdiri, Ammatoa sudah dijabat oleh 13 orang. Ammatoa terakhir dijabat oleh Puto Nyonyo, ayah kandung Puto Palasa. Meninggalnya Ammatoa tidak serta-merta dilakukan pemilihan Ammatoa yang baru. Untuk sementara, berdasarkan kesepakatan para pemangku adat, “caretaker” Ammatoa disandang oleh Puto Palasa. Selama tiga tahun masa tenggat persiapan pelantikan Ammatoa yang baru, Puto Palasa melaksanakan tugas dan fungsi keseharian Ammatoa. Pertanyaannya, mengapa sampai muncul dua Ammatoa? Padahal, sejak awal mula kehidupan di Kajang, tidak pernah ada kasus munculnya dualisme Ammatoa. Faktor apa yang menjadi pemicunya? Pertanyaan itu menggelayut dalam pikiran saya. Niat awal untuk memotret fenomena politik identitas, sesuai dengan ancangan penelitian saya, berubah ketika saya mengetahui realitas itu. Awalnya, saya sangat kesulitan untuk menggali informasi tentang dualisme itu. Hampir semua orang bungkam ketika saya memulai untuk membincangkannya. Saya tidak tahu, apakah para informan saya itu takut mengemukakan fakta sebenarnya, merasa bosan membahasnya karena terlalu sering dibincangkan, atau mereka sengaja menutup cerita yang sebenarnya karena dianggap sebagai sebuah aib tentang komunitas mereka. Bahkan, Galla Lombo’, Kepala Desa Tana Toa, tempat saya tinggal selama di Kajang, diam seribu bahasa ketika saya ajak berdiskusi tentang dualisme itu. Selama itu, saya tidak mendapatkan informasi yang berarti tentang dualisme Ammatoa. Akhirnya, saya memutuskan untuk keluar sejenak dari Tana Toa (Bersambung)

Wah, Kekayaan Hakim Ibrahim Rp 1,8 Miliar

Kamis, 22 April 2010 15:15 WIB
Hakim Ibrahim

Jakarta, (tvOne)

Hakim Tinggi Tata Usaha Negara Ibrahim, yang kini menjadi tersangka penerima suap dari pengacara Adner Sirait, memiliki kekayaan sekitar Rp 1,846 miliar. Berdasarkan laporan kekayaan di KPK tanggal 24 Desember 2008, Ibrahim memiliki total kekayaan sebesar Rp1,846 miliar dan dikurangi utang Rp86,410 juta.

Pada laporan kekayaan, pria kelahiran Maros, 7 Februari 1957 ini diketahui memiliki aset berupa rumah dan tanah di Jakarta Timur dan Samarinda. Tercatat, di Jakarta Timur, Ibrahim memiliki tanah dan bangunan 200 meter persegi (m2) dan 140 m2 yang kedua-duanya diperoleh dari hasil sendiri senilai Rp603,2 juta. Ditambah tanah seluas 400 m2 di Samarinda yang diperoleh pada 1999 seharga Rp15 juta.

Dia juga memiliki tambak udang Windu seluas 40 hektar seharga Rp300 juta yang dibeli tahun 1995. Dua tahun kemudian dia membeli lagi tambak sejenis seluas 45 hektar senilai Rp350 juta.

Ibrahim juga memiliki logam mulia senilai Rp44 juta. Ditambah giro setara kas sebanyak Rp174,861 juta. Namun dalam laporan kekayaan tersebut, dia memiliki kewajiban utang sebesar Rp86,410 juta. Diantaranya, pinjaman uang sebesar Rp50,410 juta dan pinjaman barang Rp36 juta. (VIVAnews)

Rabu, 21 April 2010

sEPERTI APA ANDA MENGUKIR SEJARAH?

Seperti Apa Anda Mengukir Sejarah?

Ditulis oleh sahabat Anne Ahira kepada Saya
"The difference between a successful
person and others is in a lack of will"
~ Vince Lombardi, Football Coach

Anda, kebanyakan manusia cukup puas
hanya dengan...

Lahir - Hidup - dan lalu meninggal.

Hingga akhirnya yang tertinggal hanya
tiga baris di batu nisannya :

Si X, lahir tanggal sekian, dan meninggal
tanggal sekian!

Inginkah Anda menjalani hidup apa
adanya seperti itu?

Seperti apa Anda mengukir sejarah?

Ada 3 hal yang bisa membedakan Anda
dengan kebanyakan orang dalam mengukir
sejarah, yaitu...

Kemauan, Keilmuan dan Kesempatan.
1. Kemauan

Kemauan menjadi kata kunci yang paling
penting dalam menentukan sejarah hidup
Anda.

Anda mau menjadi apa? Seperti apa? dan
di mana? Tentunya hanya Anda yang
paling mengetahuinya!

Cobalah catat semuanya. Baik itu
melalui memori, diary, atau melalui
selembar kertas sekali pun! Anda pasti
punya kemauan!

Jangan pernah katakan Anda tidak punya
kemauan. Hidup itu terlalu pendek untuk
disia-siakan.
2. Keilmuan

Percaya, segala sesuatu itu pasti ada
ilmunya! Jika Anda punya kemauan dan
memiliki ilmunya, maka segala usaha
akan tercapai dengan lebih baik.

Itu sebabnya Anda harus mau belajar
dan belajar. Anda bisa belajar dimana
saja, kapan saja, dan dengan siapa
saja.

Ingat, tidak pernah ada kata terlambat
untuk belajar, mengenal, memahami, dan
mengamalkan sesuatu hal yang bermanfaat
bagi kehidupan Anda, begitu juga bagi
orang lain.

Dan satu lagi....
3. Kesempatan

Jika kemauan ada, keilmuan ada, maka
tinggal kesempatanlah yang memutuskan
apakah Anda bisa mengukir sejarah
dengan baik atau tidak.

Kesempatan ini bisa datang dari mana
saja, tergantung kecekatan Anda dalam
memanfaatkan setiap peluang yang ada.

Kita tahu, seringkali kesempatan itu
hadir, tapi kita tidak mampu
memanfaatkannya dengan benar, karena
keilmuannya kurang, meski keinginan
kita itu sebenarnya sudah besar.

Jika ini terjadi, tidak jarang orang
menyesal dan kadang menjadi berfikir
bahwa nasib selalu tidak berpihak
padanya.

Sebenarnya tidak demikian Anda! Dia
hanya tidak tahu bagaimana cara
menyatukan 3K! Yaitu...

Kemauan, Keilmuan dan Kesempatan!

Nah, sekarang Anda tahu, apa yang
harus dilakukan untuk bisa mengukir
sejarah dengan baik dalam hidup Anda!

Padukan antara kemauan, keilmuan dan
kesempatan. Jika kemauan sudah ada,
keilmuan sudah ada, maka kesempatan itu
sebenarnya bisa dicari dan diupayakan!

Dan percaya... ketika ketiga unsur ini
berpadu dalam hidup Anda, maka sejarah
kebesaran tentang Anda telah dimulai. :-)

Selamat mencoba!

SARAF


SARAF SADAR  &  SARAF OTOMATIS

Saraf sadar – bisa di perintah
Saraf otomotis – tdk bisa diperintah. Namun dalam keadaan tertentu melalui latihan dapat dikuasai oleh diri.
Orang bisa melakukan sesuatu tanpa ia sadari karena saraf otomatis memerintah dan menguasai  saraf sadar. Kadang kita menemukan seseorang yang melakukan pembunuhan tanpa ia sadari dirinya karena saraf sadar yang melakukan gerak untuk membunuh diperintah oleh saraf otomatisnya. Demikian pula seseorang yang sementara tidur dapat berjalan menuju ke suatu tempat tanpa ia sadari karena saraf otomatis memerintah saraf sadar untuk melakukan hal tersebut. Hal ini biasanya terjadi karena sebelum tertidur sudah ada dalam alam pikirannya untuk beberapa saat yang akan datang akan menuju ke suatu tempat, namun sebelumnya ia tertidur tanpa sadar. Pada saat dalam keadaan tidur, alam pikirannya diawal untuk menuju ke suatu tempat yang dimaksud masih tertanam karena ia dalam keadaan tertidur tanpa ia sengaja untuk tidur.
Saraf otomatis tidak dapat diperintah, namun dalam keadaan tertentu ia dapat dikuasai oleh diri. Penguasaan atas saraf otomatis dapat dilakukan melalui latihan yang kontinyu yang hanya orang-orang tertentu dapat melkukannya. Hal ini dapat ditemukan pada diri waliullah, para petapa yang dapat menahan nafsu tanpa makan berhari-hari. Fenomena ini terjadi karena saraf otomatis dalam dirinya yakni pencernaan yang bergerak terus bekerja telah dikuasainya. Semua manusia dapat melakukan hal ini – sekali lagi dengan LATIHAN yang serius. Ia dapat digerakkan bukan karena “jampi-jampi” atau “baca-baca”, tapi dengan latihan. Siapapun dapat melakukan hal ini karena potensi ini ada pada diri semua orang. Hanya karena ketidaktahuan kita akan potensi yang diberikan TUHAN, hal ini tak dapat digali oleh kebanyakan orang.  Bahkan dalam keadaan tertentu, sesorang yang telah menguasai saraf otomatis ini (HERMAN).